Sabtu, 05 Februari 2011

Pagi itu aku dibangunkan oleh panggilan sholat subuh dari masjid. Hari masih gelap namun dapat kudengar suara ayam ayam jago saling berkokok membangunkan seluruh kampung. Tubuhku masih terbaring lemas di atas kasur. Ku raba kepalaku dan dapat kurasakan kulit halus. Kepalaku kosong, rambut rambut putihku telah pergi. Mahkota yang selama ini menjadi kebanggaan kini hilang tak sudi lagi menghuni.


Lalu kualihkan perhatianku ke samping kananku yang ternyata sudah kosong. Istriku telah bangun lebih awal seperti biasanya. Ia pasti sedang sibuk di dapur sekarang. Menanak nasi kemudian menghaluskannya menjadi bubur. Bubur paling enak sedunia yang kini menjadi santapan utamaku. Pasca kunjungan pak dokter tiga bulan yang lalu, hidupku memang berubah. Menu utama nasi telah diganti bubur. Tak cuma itu, makanan sampinganku juga dijaga sangat ketat oleh istriku. Sedih memang melihat semua keterbatas itu. Namun aku cukup senang, karena akhir akhir ini anak cucu dan sanak sauadara sering datang. Jikalau dahulu mereka hanya mengunjungi kala lebaran. Sekarang hampir setiap minggu mereka datang.

Tubuhku masih terbaring lemas di atas kasur. Ku pandangi jam dinding yang tergantung pincang di atas pintu. Jam itu sudah lima tahun berada di tempat itu. Aku masih ingat betul ketika adik iparku menghadiahkannya sebagai kado lebaran. Kala itu ia baru saja pulang dari Australia membawa gelar doktornya. Bangga benar diriku punya ipar seperti dirinya. Semoga keluarganya selalu diberkati Tuhan Yang Maha Esa.

Jam dinding itu menunjukan pukul 04.30. Aku masih terbaring di atas kasur, menanti istriku untuk membangunkanku dan membimbingku sholat. Sudah satu bulan ini kaki kakiku mogok kerja. Sama seperti rambut rambut putihku, mereka tak sudi lagi mendampingiku.

Tak lama setelah itu istriku masuk ke dalam kamar. Sambil tersenyum lebar ia membawakanku secangkir air putih. Amat bahagia rasanya melihat sosoknya. Wanita yang telah setia selama ini menemaniku, melewati semua aral rintangan kehidupan. Mulai dari hari pernikahan kami, lalu mendidik anak hingga mereka besar, dan kini memiliki cucu cucu. Pelan pelan cangkir tadi ia tanggalkan di atas tanganku. Dituntunlah pelan pelan tanganku mengangkat cangkir ke ujung mulutku.

Istriku melangkah menuju lemari baju yang menjulang setinggi dua meter di seberang kasur. Dibukanya sebentar lalu ditutupnya lagi. Tampaklah di tangan kanannya, sarung bermotif kotak kotak. Lampu kamar yang redup membuatku bingung menentukan apakah sarung tersebut hitam pekat atau biru tua. Dengan senyumnya yang khas, istriku memasangkan sarung tadi membungkus bagian bawah tubuhku. Bertindak sebagai imam, istriku membimbingku shoat subuh. Sembahyang pagi ini berjalan lancar dan khusyuk hingga salam.

Setelah itu kupanjatkan segala doa agar selamat dunia akhirat seluruh anggota keluargaku, agar diberkahi segala amal perbuatan keluargaku, dan agar sampai akhir zaman nanti tak ada seorang pun dari keluargaku yang tersesat.

Di sela doaku, sesekali dapat kudengar suara isakan lirih dari istriku. Sepertinya ia menangis, sepertinya pula ia sedih, sedih akan kepergianku tiga bulan lagi, sedih untuk menerima kenyataan bahwa tiga bulan lagi ia akan sendiri. Aku memang telah divonis dokter. Hatiku yang sakit ini hanya dapat bertahan hidup selama enam buan sejak pengecekan. Dan sekarang tibalah tiga bulan terakhir, tiga bulan dari akhir masa hidupku di dunia.

Istriku mengisak lagi. Kali ini tak hanya isakan melainkan tangis yang panjang. Hatiku ikut bergetar, tak tega melihat sosok itu menangis pilu. Namun tak bisalah aku berbuat atau berkata apapun. Aku hanya dapat berdoa semoga diberi kesabaran seluruh keluargaku, semoga kepergianku dapat memberi pelajaran bahwa setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan.

Sesungguhnua aku bahagia mengetahui tugasku sebagai seorang manusia hampir usai, sesungguhnya tak ada sedikitpun rasa sedihku terhadap kematianku, Sesungguhnya telah kunanti saat saat ini. Saat di mana maut akan menjemput. Saat di mana tiga bulan lagi aku akan lebih dekat dengan penciptaku.
Categories:

1 komentar: