Kamis, 23 Juni 2022

Becoming a mother, my wife sacrifices a lot.
She has to watch her body change, has to breast feed 24/7 for at least two years, has to postpone her career as a dentist, and has to spend most of her time at home. 

Becoming a mother, my wife is growing a lot. She's doing all the essential things for our daughter like making nutritious food, teaching her to play, telling her stories of the world, and making sure our little one is healthy.

By becoming a mother, my wife gets a little help from me. I change Maryam's diaper whenever I am home, watch over Maryam so her mother can sleep, help feed Maryam ocasionally, and buy evening snack for her to enjoy.

By becoming a mother, my wife is becoming a superwoman. She's cleaning all of Maryam's clothes and eating utensils, reading hundreds of article on children growth, watching tens of parenting videos, and still trying her best to entertain her mother.

Since becoming a mother, my wife earns a lot of respect. Relatives and in laws pay more attention on her words, friends greet her whenever she post parenting tips, I follow her order on anything related to Maryam, and most importantly, she values herself even more.

Since becoming a mother, my wife is having a roller coaster ride. She's busy raising Maryam while hoping her career to kickstart soon, managing our family budget while planning for a next roadtrip, supporting my mobile work while dreaming for a permanent residence, and keeping her faith in Allah while expressing her anger at hard times.

My wife becoming a mother, is indeed one remarkable personal transformation. And I am a proud and honored husband to have witness it firsthand.

Senin, 15 November 2021

Aku memandangi lautan bersama segenap kenangan tentangmu sahabat.
Betapa besar samudra ini, begitu berisik penuh riuh ombak. 

Garis horison hanyalah keterbatasan indera manusia memandang. 
Luasnya laut di depanku masih terhampar ribuan kilometer melampaui garis semu itu. Tak berujung, saling tersambung ke seluruh penjuru dunia.

Betapa tak berdaya manusia di hadapan lautan. 
Betapa kecil kehidupan kita di hadapan dunia ini. 
Bahkan batuan di tepi pantai lebih banyak meninggalkan jejak daripada kita, karena telah bertahan dihempas ombak jutaan tahun lamanya.

Manusia lahir dan meninggal tanpa banyak meninggalkan jejak. 
Kita hanya mampir 60 atau 70 tahun saja di dunia, lalu kembali ke liang lahat menjadi setumpuk tanah. 

Hanya piramida dan beberapa runtuhan peradaban kuno yg sanggup bertahan. 
Itu pun hanya dalam hitungan ribuan tahun. Sisanya lenyap dimakan zaman. 
Hilang ditelan alam.

Karena manusia mengerti bahwa mustahil untuk bisa bersaing dengan ketangguhan alam, nenek moyang kita mengajarkan kita untuk berkisah. 
Kita selalu mendengar kisah nabi Adam dan Nuh namun peninggalan tertua manusia hanya sebatas bangunan Piramida dan runtuhan desa catalhoyuk.

Maka dari itu, izinkanlah aku mengabadikanmu dalam kisah ini. Supaya kenangan tentangmu tetap diingat. 

Sahabatku yang telah pergi masih ingatkah pengalaman kita di depan lautan lima tahun lalu. 
Di tepi pantai Wediombo, takjub kepada megahnya pantai selatan pulau Jawa. 
Kita bertiga, aku, kamu dan faiq. Berkemah di pinggir pantai malam-malam. Walaupun tak sempat menyaksikan senja, pengalaman kemah itu akan selalu berkesan.

Setelah tiga jam lebih mencari lokasi kemah, kita tiba pukul 11 malam. Meski lelah obrolan malam itu harus tetap ada. Karena inti dari berkemah adalah berbagi kisah. Tak ada api unggun, hanya kompor kecil milik Faiq yg menemani malam kita. Menyantap mie rebus lalu dilanjutkan obrolan ringan. 

Betapa hangat malam itu, tiga orang sahabat berbagi keluh kesah, lalu saling tertawa akan masa masa SMA yg belum lama, kemudian bertukar asa akan masa depan. Aku yg masih melanjutkan studi, Faiq yg akan pergi ke kota baru, dan kau yg akan menikah. 

Terima kasih Lindi, karena meski hanya melalui beberapa event waktu SMA, dan empat pertemuan saat kuliah, persahabatan kita akan kekal dalam kisah-kisah yg akan kusampaikan pada anak cucu kita kelak, melalui garis keturunan kita masing masing. Sampai jumpa di lain kesempatan, semoga pertemuan berikutnya akan kekal

Selasa, 14 September 2021

Aku rasa setelah sekian lama kupikirkan, Putri adalah wanita terbaik yg pernah aku jumpai. Karena tak hanya cantik, pintar dan soleh, ia juga penuh dengan rasa empati. Sesuatu yg amat bernilai, namun sering terlupa oleh orang-orang. Dan aku amat beruntung bisa merencanakan kehidupan untuk bertahun-tahun ke depan bersamanya. 

Hari ini dia berulang tahun yang ke dua puluh tujuh. Ini adalah ulang tahun terakhirnya sebelum resmi menjadi ibu untuk M...... Maka aku ingin mendedikasikan tulisan ini untuk istriku tercinta. Selamat Ulang Tahun Sayang.

Saat SD pikirku wanita terbaik adalah yg paling cantik, maka tiap hari kucoba sebisa mungkin menyapa dan bercanda dengan para kembang kembang kelas.

Saat beranjak SMP pikirku bertambah tentang wanita terbaik, tak hanya cantik mereka juga seharusnya pandai entah itu menari, menyanyi, membaca, menulis atau melukis, maka perhatianku selalu mengarah pada gadis-gadis yg bisa melakukan satu atau lebih dari kemampuan-kemampuan tadi 

Kemudian saat SMA kriteria wanita terbaik ini bertambah menjadi cantik, pintar dan soleh, maka aku mencoba mendekati mereka yg cantik, pintar dan paling tidak sepemikiran denganku tentang agama

Hingga masuk kuliah, kupikir kriteria ini tak banyak membantuku dalam hal percintaan, karena tak pernah benar-benar ada yg bisa dekat, hanya beberapa kencan kemudian hilang. Atau mungkin aku sendiri tak cukup baik berada di dekat siapapun lama lama.

Sementara itu hati sepi ini tak pernah benar-benar puas ketika berada di dekat mereka yg cantik, atau pintar, apalagi yg soleh. Setiap pendekatan hanya bermuara pada saling cek kriteria antara apakah dia yg saya cari atau apakah saya yg dia cari. 

Transaksi ini selalu berakhir karena setelah beberapa pertemuan, atau setelah beberapa percakapan chat atau telepon, ada saja yg kurang dariku atau darinya. 

Entah mengapa siklus perpisahan ini berhenti ketika aku bertemu dengan Putri. Yang bermula dari membantu seorang teman di terminal, lalu berlanjut jadi kencan dan berakhir di pelaminan. 

Bagiku Putri masuk ke dalam semua kriteria yaitu cantik, pintar dan soleh. Namun di samping itu Putri adalah wanita yang amat sangat empatik. Ia mendahulukan perasaan dan kepentingan orang sebelum dirinya, bahkan hingga pada tingkat harus diingatkan bahwa terkadang ia harus mementingkan dirinya sendiri terlebih dahulu.

Tidak ada hari di mana Putri tidak menyampaikan penghargaannya atas apa apa yg telah kita lakukan untuknya. Suatu hal yg tak semua orang bisa lakukan. Karena dibutuhkan kedewasaan lebih bahwa manusia butuh bantuan orang dan bantuan yg didapat sekecil apapun layak untuk diberi penghargaan, meski hanya dalam bentuk pengakuan dan terima kasih.

Sebagai suami yg belum dewasa secara utuh, empati Putri adalah sumber energi yg amat berharga, untuk mendukung segala bentuk usaha, dan juga menyokong segala rupa mimpi. Dan sebagai calon Ibu, aku berharap empati ini akan menjadikannya lebih peka terhadap perasaan anak yg terkadang tersembunyi di balik tangis dan tawa.

Terima kasih Putri, karena sudah menjadi wanita terbaik. Semoga panjang umurmu dan bahagia hidupmu bersamaku...

Sabtu, 12 Juni 2021

Siapa yang menyangka kalau sepuluh tahun setelah lulus SMA, aku akan berada di Bandung dan menjalankan usaha kuliner khas Turki. Mungkin ini sangat jauh dari ekspektasi para kerabat karena setelah menimba ilmu geologi dari negara yang jauh, seharusnya aku sedang berada di area-area tambang di Kalimantan atau Sulawesi. Atau seharusny, aku sedang mengajar mata kuliah geokimia di ruang-ruang zoom. 

Tapi begitulah kehidupan, arusnya mengalir mengikuti celah celah batuan yang arahnya tidak menentu. Apakah ini sebuah kesalahan? ataukah aku dalam posisi merugi karena sekian tahun yang aku habiskan meneliti berbagai jenis air panas berakhir pada usaha kuliner khas Turki. 

Apakah jika aku langsung mendapatkan pekerjaan yang sesuai ilmu, hidupku akan lebih baik karena model karir yg umum berlaku, ada keterkaitan antara apa yg dipelajari dan apa yg kemudian dikerjakan? 

Aku tidak pernah tahu sampai mungkin beberapa waktu ke depan. Yang jelas pengamatan sejauh ini, nasibku tak sejalan petunjuk karir seorang geolog. Tetapi aku tak ingin ambil pusing, karena toh di antara kesibukanku mengadon pide, aku tetap bisa mempelajari berbagai data sampel air panas milik kementrian ESDM. Bahkan aku sempat menyiapkan proposal ke beberapa kabupaten dan kota mengenai cara-cara pemanfaatan sumber air panas ini selain untuk listrik.

Ya begitulah perkembangan kehidupan. Sampai saat ini, aku dan istri telah memanggang seribu pide. Mungkin beberapa ribu pide kemudian, nasib akan membawaku ke ribuan pide berikutnya, atau malah ke sumber sumber air panas yg belum diperdaya. Mungkin sampai saat itu, sebaiknya kulakukan keduanya.

Sabtu, 10 Juni 2017


Siapa yang tidak merasa simpati pada kawan yang punya prestasi namun keluarganya tidak sanggup membiayainya bersekolah. Beruntunglah mereka yang lahir dari keluarga mampu. Beruntung pula mereka yang tidak mampu lalu mendapat beasiswa atau santunan. Selama enam tahun menimba ilmu di Turki, saya banyak menjumpai teman-teman yang berasal dari keluarga pas-pasan. Mereka lalu mendapatkan beasiswa dari sebuah yayasan di sini. Namun nasib yayasan tersebut berakhir tragis pada tahun 2016. Mereka dipaksa tutup karena diduga ikut serta dalam usaha kudeta Negara Turki. Nasib teman-teman ini pun menjadi pertanyaan. Pilihan mereka saat itu hanya dua, pulang ke Indonesia dan menyarah, atau bertahan sampai ada bantuan dari pihak lain datang.

Situasi ini untungnya tidak berlangsung lama. Hanya dua bulan pasca kejadian ditutupnya yayasan itu, pemerintah Indonesia bertindak tanggap dengan memberikan bantuan pada para mahasiswa yang menerima nasib malang di Turki. Tak tanggung-tanggung, bantuan ini meliputi uang sekolah, uang saku dan juga uang akomodasi selama satu semester. Wajah muram mahasiswa yang terputus beasiswanya kembali ceria. Mereka bahagia karena kesempatan menyelesaikan pendidikan di negeri seribu menara ini belum sirna. Sebenarnya ada sekitar 500 orang mahasiwa yang punya afiliasi dengan yayasan terduga itu. Namun karena dana yang ada hanya diperuntukan bagi mereka yang kurang mampu, maka diadaan pendataan supaya hanya yang benar-benar kurang mampu saja yang mendapatkan bantuan tersebut.

Setelah proses pendataan ketat, akhirnya sekitar 250 mahasiswa menerima bantuan ini. Meskipun dapat dikatakan sukses menyelesaikan masalah, ada beberapa hal yang menjadi ganjalan. Usut punya usut, dari sekian banyak mahasiswa yang menerima dana ini, ternyata ada beberapa di antara mereka yang terindikasi berasal dari keluarga mampu secara finansial. Tentu saja hal ini dianggap wajar, karena parameter seleksi data yang ada, disiapkan dalam jangka waktu yang pendek. Sebagai mahasiwa yang ikut memantau proses seleksi ini, saya juga menganggap maklum. Sebagai bentuk tanggung jawab, pihak penyebar dana bantuan itu menyatakan komitmen jika semester yang akan datang ketika bantuan dating lagi, akan diadakan pendataan yang lebih merinci.

Meski sengketa bantuan “salah sasaran” sudah mencapai titik damai. Ternyata ada oknum penerima beasiswa yang berulah. Salah tiga dari beberapa orang mampu penerima bantuan ini, memutuskan untuk jalan-jalan keluar negeri. Dan destinasi mereka tidak main-main, negara-negara Eropa barat yang terkenal mahal. Parameter seleksi penerima dana bantuan yang kurang akurat dapat dimaafkan karena waktu yang terbatas. Namun kelakuan beberapa oknum ini tidak bisa dimaafkan dan telah membuat keruh susasana. Hal ini bertambah parah karena mereka mempublikasikan perjalanan itu melalui unggahan-unggahan foto di berbagai media sosial. Potret kebahagiaan mereka yang dilatar belakangi pemandangan kota antik ala Eropa barat tersebar luas di jaringan internet.

Kelakuan ini membuat orang heran akan tingkat kepekaan mereka terhadap asal-usul dana bantuan tersebut. Karena jika mengingat bahwa dana itu berasal dari pendapatan pajak negara, maka mereka sebenarnya bertanggung jawab pada ratusan juta pembayar pajak ini.  Bayangkan apa yang akan dikatakan masyarakat jika uang hasil dari jerih payah lintas golongan rakyat Indonesia digunakan untuk jalan-jalan ke Eropa barat. Golongan ini meliputi rakyat yang mempunyai penghasilan lima jutaan per hari sampai mereka yang punya gaji ratusan juta. Tentu ini masih belum parah jika dibandingkan dengan kelakuan anggota DPR yang sesuka hati melakukan studi banding ke luar negeri dengan fasilitas kelas satu menggunakan uang rakyat. Namun sikap foya-foya yang dilakukan oknum penerima dana bantuan ini yang tanpa memikirkan asal muasal uang itu adalah awal ideal kebiasaan korupsi kelas anggota DPR. Kalau sikap ini dibiarkan tanpa kritik keras, ia akan menjadi kebiasaan yang dianggap benar.

Jika ketidakbenaran aksi mereka jalan-jalan masih dipertanyakan, mari kita diskusikan lebih lanjut di sini. Pertama: jalan-jalan adalah bentuk kebutuhan yang bersifat tersier. Yaitu seseorang akan melakukannya jika telah memenuhi kebutuhan dasar dan sekunder seperti sandang, pangan, papan dan biaya sekolah. Kemampuan finansial seseorang diukur dari bagaimana mereka mampu memenuhi berbagai hierarki kebutuhan ini. Orang tidak mampu adalah mereka yang bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Orang yang kurang mampu ada di hierarki berikutnya yaitu mereka yang telah memenuhi kebutuhan dasar, namun belum bisa memenuhi kebutuhan sekunder seperti sekolah, kendaraan dan kesehatan. Hierarki ini berlanjut terus, berjalan seiring kemampuan ekonomi seseorang. Semakin mampu, maka ia akan bisa mencukupi kebutuhan dasar, sekunder, tersier dan seterusnya. Kembali pada pembahasan utama topik tulisan ini yaitu dana bantuan yang diberikan pemerintah RI pada sejumlah mahasiswa di Turki. Dana ini sebenarnya ditujukan pada mahasiswa yang kurang mampu. Dengan kata lain, dana itu diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan sekunder. Jadi jika uang ini digunakan untuk keperluan tersier seperti jalan-jalan, maka telah terjadi kesalahan penggunaan. Apalagi jika jalan-jalan ke Eropa barat.

Tentu akan muncul sebuah argumen pembelaan, bahwa kita tidak pernah tahu apakah yang terpakai itu adalah uang dana bantuan, ataukah uang dari keluarga sendiri. Alasan ini memang benar adanya, namun seorang mahasiswa yang “kuliah di luar negeri” harusnya bisa memikirkan etika dalam menggunakan dana ini. Jika keluarga para oknum ini memang mampu memberi uang ekstra untuk jalan-jalan keluar negeri “eropa barat”, lalu kenapa mereka berani mendefinisikan diri sendiri sebagai kalangan kurang mampu yang layak mendapatkan dana bantuan pemerintah RI? Bukankah ini sebuah tindakan di luar batas? Parameter yang disusun oleh panitia penyebar beasiswa boleh jadi kurang akurat, namun kelakuan mereka yang berasal dari kalangan mampu untuk mengambil dana bantuan adalah kurang ajar. Apalagi sampai hati menggunakannya untuk jalan-jalan, siapapun berhak menyematkan nama-nama buruk untuk mereka.

Kasus ini tidak serta merta menyimpulkan bahwa banyak mahasiswa yang tergolong mampu, berani mengambil dana bantuan. Buktinya ada sekitar lima orang yang awalnya masuk ke dalam daftar mahasiswa penerima dana bantuan, yang memutuskan mengundurkan diri dengan alasan mereka merasa berasal dari keluarga masih mampu. Tindakan penuh kehormatan ini patut diberi apresiasi di tengah munculnya kasus penyelewengan dana oleh beberapa oknum.


Bisa jadi benar, bahwa oknum yang disebutkan di tulisan ini sebenarnya jalan-jalan menggunakan dana sendiri. Namun keberadaan nama mereka dalam daftar penerima dana bantuan, dan waktu liburan ke “Eropa Barat” yang mereka habiskan hanya berselang beberapa waktu setelah dana bantuan itu cair memberikan impresi lain pada kita yang mengamati dari sekitar. Semoga kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih peka terhadap masalah penggunaan dana pemerintah, sejak masih menjadi mahasiswa.

Rabu, 15 Juni 2016


Imajinasi kebebasan setelah aku tumbuh dewasa tidak seseru kebebasan yang aku tahu dahulu. Ketika masih kecil, aku sering membayangkan kebebasan adalah bisa terbang ke angkasa atau bisa berlari seharian di alam liar. Sekarang pikiranku mentok di bagaimana bisa senang-senang di waktu luang atau bisa berbicara seenaknya tanpa merusak perdamaian. 

Kebebasan yang aku damba dahulu sebenarnya egois karena hanya ada aku sendiri di sana. Ia tidak pernah memikirkan keterlibatan orang lain yang mungkin bisa terbang bersamaku. Selain itu ia juga ceroboh karena harimau alam liar yang bisa memangsaku tak pernah diikutsertakan. Namun bagaimana pun juga, imajinasi itu tetap baik hati karena mau membawaku ke mana saja. Dan imajinasi itu juga penuh perlindungan karena ia tidak mengijinkanku membayangkan mala bahaya yang bisa menimpa. 

Tetapi kemudian kita dimasukan ke sekolah untuk belajar menjadi manusia yang baik dan tidak ceroboh. Tujuannya agar kita bisa hidup lebih lama dan tidak mati konyol karena mencoba terbang atau berlarian sendirian di tengah hutan. Misi pertama sekolah adalah mengusir imajinasi kebebasan liarku pergi. Aku diajarkan bahwa gravitasi bisa menjatuhkan makhluk apapun yang tak bersayap. Lalu aku juga diberitahu bahwa selain ada harimau, ada ratusan kuntilanak berkeliaran di dalam alam liar sana. Nyaliku menciut, menghimpit imajinasi kebebasan kecilku pelan pelan sebelum akhirnya terusir pergi.

Misi kedua sekolah adalah menawarkan konsep baru tentang kebebasan. Aku diajarkan bahwa waktu tidak bisa ditukar dan akan habis pada suatu hari. Jika tak belajar dan bekerja, maka sia sialah waktu hidup seorang manusia, Lalu aku juga diberitahu bahwa selain diriku sendiri, ada jutaan budaya dan pemikiran orang lain yang harus aku pikirkan. Jadi jika semua manusia berpikir seenaknya maka hancurlah perdamaian dunia. 

Begitulah kemudian imajinasi kebebasan yang awalnya adalah ingin terbang, menjadi sekedar keinginan untuk punya waktu luang. Imajinasi untuk berlarian di alam liar, menjadi sekedar keinginan untuk bisa berbicara seenaknya tanpa harus merusak perdamaian.


Senin, 25 April 2016


Tiga tahun setelah upacara kelulusan SMA, aku, Faiq dan Lindi masih rajin ngobrol dalam percakapan digital. Kami hanya bisa bertemu langsung setahun sekali karena keberadaan kampus kami bertiga yang terpisah samudra. Faiq dan Lindi sebenarnya sama-sama kuliah di UNDIP, jadi mereka masih bisa bertemu di Semarang. Hanya diriku saja yang jauh merantau ke Turki. Waktu itu aku sedang berada di tanah air dan sedang dalam perjalanan ke Semarang. Lawatanku tak akan berlangsung lama, hanya dua malam saja. Ibu tidak rela anak sulungnya lama-lama bermain di luar kota Purwokerto.

Karena jarang pergi ke Semarang, aku sangat berharap akan ada sambutan ramai dari teman-teman SMA yang ada di sana. Dengan harapan tinggi melalui grup angkatan, mereka semua kusapa.

"Guys kumpul yuk, aku ke Semarang sore ini" ketikku di grup angkatan

Sembari menunggu tanggapan dari grup, jemariku segera mencari nama Faiq

Gagas: ik jemput di alfamart jam 6 sore.

Faiq: alfamart Purwokerto?

Gagas: janc******k!!!

Faiq: alfamart mana nyet?
.....................................

Bus yang kunaiki menurunkanku dengan sopan tepat di depan alfamart terminal Banyumanik Semarang atas. Waktu menunjukan pukul 6.15 sore, senja sudah turun mengantar matahari pulang. Terminal tampak ramai dipadati ratusan pegawai yang berusaha pulang. Lampu jalanan dan warung-warung satu per satu menyala. Meski redup, sinar mereka sudah cukup menerangi tempat pemberhentian angkutan umum itu.

Dari kejauhan nampak sesosok pemuda di atas jok motor yang sudah hampir setahun tak kujumpai. Dia terlihat sedang menelpon seseorang, dan tepat saat itu juga teleponku berbunyi. Aku sengaja mendiamkan untuk memberi kejutan.

"Heh janc****k!" Seruku menepuk punggungnya.

Tanpa disangka sosok itu membalikan badan dan memberi jawaban. Tubuhku terlempar jauh menerima kepalannya. Sambil membenarkan diri mencoba berdiri, aku tersadar kalau telepon genggam yang masih erat di tanganku masih menyala menunjukan tanda telepon masuk dan nama Faiq. Sial!

"Yang bener mas kalau manggil-manggil! Jancuk bathukmu!"

"Maaf mas saya kira anu..."

"Gak tau saya siapa sampeyan!!!"

"Ngapurane lah ya mas, sori banget!"

"Gas...!" panggil seseorang dengan sepeda motor lain dari jauh.

Aku segera berpaling dari mas di atas motor itu dan bergegas
Menghampiri Faiq yang asli.

"Heh celeng, punya hape tuh diliat! ada telepon diangkat! Kamu kira aku dukun bisa nyari kamu di terminal gelap-gelap gini?"

"Lah percuma kalau aku angkat ntar kamu tutup"

"Eh kurang ajar ya, aku wis rajin beli pulsa sekarang, banyak yang harus dihubungi"

"Yo semoga ada yang cepet mau"

"Celeng...!"

Faiq segera membawaku menyusuri keramaian jalan provinsi yang mengiris daerah Semarang atas jadi dua. Kanan kawasan mahasiswa dan kiri pemukiman warga. Tujuan kami pertama adalah warung nasi kucing. Kami belum makan malam, dan ingin menghemat untuk kegiatan esok. Setelah selesai makan, kami beranjak ke kosan Faiq. Dari sana kami akan menghubungi kawan SMA yang lain.
.............................

"Gas gak ada yang bisa kalau kamu ajak naik ginung sekarang. Cuma Lindi aja."

"Lah kan udah dikabarin dari tadi siang pas aku masih di bus. Ini udah jam 8 malam"

"Kamu tadi cuma ngajak kumpul, bukan naik gunung!"

"Lindi mau naik ke gunung Ungaran?"

"Iya dia mau, tapi masa cuma bertiga?

"Malah seru cuk, cuma bertiga menaklukan gunung Ungaran, biar yang gak mau ikut pada rugi sendiri..."

"Menaklukan ndasmu, itu cuma gunung pendek."

"Iyoo mas pendaki yang sudah menaklukan gunung Arjuna"

"Dasar celeng, makannya yang masuk akal kalau ngajak-ngajak. Kan kalau gini kita gak jadi kumpul rame!"

"Yo... besok pas turun gunung kita kumpul sama yang lain"

Tak lama kemudian Lindi datang dengan mobil suzuki splashnya.

"Gagas....! Ih parah, lama banget kita gak ketemu, udah setahun!"

"Baru setahun liiiin.." jawabku dengan nafas sesak

Lindi memelukku sangat erat. Dia sangat ekspresif sejak SMA dulu. Perasaan apapun, entah amarah maupun rindu selalu keluar dari gerak tubuhnya. Ia tak sungkan untuk berteriak marah-marah jika emosinya tersulut. Seingatku, ia pernah memarahi satpam asrama SMA karena terlalu bertele-tele menanyakan dari mana saja ia sampai larut malam. Pak satpam yang tadinya menyelidiki lalu keok tak kuat meladeni teriakan Lindi.

Kami kemudian berkemas-kemas dan berangkat ke gunung Ungaran jam 10 malam. Tujuan pertama adalah pos pendakian di lereng selatan gunung Ungaran. Suzuki splash milik Lindi melaju mantap mengarungi tanjakan lereng gunung Ungaran. Malam itu Lindi mempercayakan kemudi padaku. Ia lelah karena sudah seharian mengemudi. Lindi adalah supir yang mahir dengan koleksi jam terbang tinggi. Mobil itu sendiri sudah dua tahun berada dibawah komandonya. Selama itu, baru dua kali dia menabrak. Satu di dalam garasinya, dua di pekarangan pondok pesantren milik tantenya.
...........................

Setelah selesai urusan administrasi dengan pihak pengelola taman nasional, kami berkumpul untuk berdoa dan menentukan ketua rombongan. Faiq mendapat kehormatan malam itu. Selama 7 jam mendaki nanti, ia akan berada di depan memimpin rombongan. Kami berangkat dari titik 1100 mdpl, dan akan berjalan menuju ke puncak yang berada pada kisaran ketinggian 2050 mdpl. Kami mulai pendakian pada pukul 11 malam dan diperkirakan akan sampai subuh nanti.

Udara dingin malam itu sempat mengecilkan nyali kami. Namun setelah satu jam berjalan, badan kami mulai berkeringat. Panas yang timbul berhasil mengusir kedinginan yang ada. Di dua jam pertama, kami berjalan menyusuri deretan pepohonan tinggi yang gelap. Kami hanya dibantu oleh tiga buah senter kepala dan tongkat. Di sebelah kanan adalah jurang dalam dan di sisi lain adalah pepohonan lebat.

Selama dua jam yang gelap itu, hanya terdengar suara angin dan derap langkah kami. Kondisi ini sudah cukup membahagiakan, karena jika ada suara lain kami pasti akan segera memutar arah pendakian. Di antara kesunyian itu, sebuah percakapan kecil terjadi di antara kami.

"Gelap, sepi! Eh Lin, kalau jatuh ke kanan gimana ya?"

"Diem gas, aku pukul pake tongkat nih!aneh-aneh aja sih" ancam Lindi kesal

"Ya ya. Ngomong-ngomong ada setan gak ya di ...."

"Diem nyet, jangan keterlaluan di alam!" Teriak Faiq penuh penekanan.

"Njih mas pendaki gunung Arjuna.. eh ada suara! Sssssst, diem sebentar semua.. coba kalian denger!" Desakku

Kami semua berhenti sejenak, mengamati sekitar. Tidak ada bunyi selain teriakan jangkrik yang bersautan. Tak lama setelah diam, tongkat Lindi terbang mengarah ke tanganku.

"Aduh, sakit Lindi!"

"Gaaaaaaas!!! Bauuuuk!!!"

"Bajinguk, bocah ngentutan." Teriak Faiq.

"Hehe, tak kira suara apa tadi"
.................

Setelah dua jam berada di hutan gelap, kami memasuki kawasan kebun teh yang relatif lebih terang. Di sini, langit memamerkan ratusan bintang. Melengkapi kemeriahan langit, bulan turut datang di atas sana. Jam menunjukan pukul 01.30. Sudah dua setengah jam sejak mengawali pendakian. Kami mengambil istirahat sejenak sambil menikmati suguhan alam yang jarang terjadi.

"Makasih ya gaes udah mau aku ajak ke sini"

"Sama sama Gas, aku juga seneng bisa ndaki beneran" jawab Lindi.

Faiq hanya diam, ia tidak terbiasa dengan percakapan melankolis yang aku buka. Tapi dalam diamnya, matanya terbuka melihat langit. Mungkin ia teringat akan seorang gadis yang pernah hadir di hatinya dulu.

"Udah ik, masih ada yang lain" sautku.

"Diem celeng, ini aku sedang mencoba menikmati langit! Ini bagian paling indah dari pendakian"

"Injih, mas pendaki gunung Arjuna"

Tangan Faiq segera bergerak mencari batu kerikil untuk dilempar. Gerakannya penuh perhitungan. Benda kecil itu dalam hitungan detik sampai mengenai kepalaku.

"Ah KDRT nih kalian, tadi dipukul tongkat sekarang kerikil" kataku

"Nih satu lagi...!"

"Eh ampun ampun ik"

"Hahaha, udah Gas. Faiq jangan diganggu kalau lagi galau" kata Lindi.

"Iya iya lin, kamu masih kuat kan jalan?"

"Hmmmm, sebenernya aku punya penyakit gas."

"APA? Kenapa gak bilang dari tadi. Penyakit apa?" saut Faiq yang juga mewakili pikiranku.

"Aku kalau dingin cepet pengin ke belakang"

"LINDII! aku kira penyakit serius." Jawab Faiq lega

"Iya ini serius Faiq..."

Hahaha
..........................

Jam menunjukan pukul 5.30 dan kami akhirnya sampai di puncak. Matahari muncul menyambut kedatangan kami di atas. Sinar jingga menerpa kami dan puluhan pendaki lain yang tiba sebelumnya. Kota Semarang nampak kecil dari kejauhan. Hamparan bangunan terlihat luas, menutupi hijau alam sekitar. Jalan setapak yang kami tempuh semalaman tampak kecil membentuk garis tidak beraturan. Melengkapi pemandangan itu berjejer awan putih beterbangan. Mereka bergerak pelan ke utara menuju kota Semarang.

Kami bertiga duduk terdiam menahan sakit kaki. Tujuh jam berjalan tanpa benar-benar berhenti memaksa kami untuk diam cukup lama di sana. Meski lelah, pemandangan indah dan kebersamaan itu lunas mengganjar semua keletihan.

"Gaes, kita harus lakuin ini lagi suatu hari nanti"

"Siiiiip deh, yuk kita foto dulu..."

Kamis, 14 April 2016


Kehidupan di negeri kami banyak berputar pada sepeda motor dan asap emisi. Siang adalah waktu mengais rezeki dan malam hanyalah keheningan sekejap yang akan diselimuti siang lagi.

Alam hijau yang ada terlalu suci untuk dihuni, sehingga kami enggan datang mendekati. Surga hijau yang amat luas itu hanya jadi tempat rekreasi musiman dan tak bisa kami ikut sertakan dalam hati.

Sering kali kami mendengar berita terbakarnya hutan yang menyebabkan kebencian negara sekitar. Para tetangga tidak habis pikir dengan kelakuan kami yang membakar ribuan pohon hanya untuk dibuat menjadi meja dan kursi. Mereka kesal karena kami tidak bersyukur dengan limpahan sumber kehidupan dari hutan yang ada. Sedangkan negeri mereka selalu gersang tanpa sedikit kerindangan.

Duhai kalian ketahuilah, kami tidak pernah dekat dengan hijau yang rimbun itu. Karena sesungguhnya kehidupan di negeri kami lebih banyak berputar di sepeda motor dan asap emisi. Siang adalah waktu mengais rezeki dan malam hanyalah keheningan sekejap yang akan diselimuti siang lagi.

Sore hari itu jalanan kota padat ratusan pengemudi sepeda motor. Para penunggangnya lelah mengais rezeki siang tadi. Nafas mereka sesak menghirup asap emisi kendaraan. Tak ada waktu berpesta karena masa depan anak harus jelas terencana. Tak hanya pendidikan, anak-anak sekarang butuh berbagai perangkat elektronik dan tunggangan berkendara.

Lampu merah menghentikan laju para pengemudi sepeda motor. Pemberhentian itu menambah beban yang ada karena ia merampas waktu mereka untuk  bercengkerama dengan keluarga. Tak ada lagi dongeng wayang atau bahkan waktu makan malam bersama. Semua lelah begitu tiba di rumah. Mereka harus tidur karena malam hanya datang sebentar.

Kehidupan di negeri kami terus berputar pada sepeda motor dan asap emisi. Siang adalah waktu mengais rezeki dan malam hanyalah keheningan sekejap yang akan diselimuti siang berikutnya.

Esok hari satu dari ratusan sepeda motor tadi berubah menjadi mobil. Dan esok sore itu, jalanan kota digenangi ratusan sepeda motor dan sebuah mobil. Para pengemudi masih sibuk menyiapkan masa depan anak-anak mereka.

Kamis, 02 Juli 2015

Di zaman sekarang, semua peristiwa berlangsung begitu cepat dan padat. Tak jarang dari kita yang menganggap 24 jam tidak cukup untuk dijadikan satu hari. Hasilnya, orang menjadi terburu-buru untuk mengejar jam masuk kantor, mengejar deadline tugas atau mengejar jatuh tempo lainnya.

Waktu 24 jam yang biasanya luang harus ditukar dengan kesibukan sehari-hari. Hasilnya waktu luang hanya tersisa sedikit bahkan habis. Tak ada lagi jatah untuk lingkungan sekitar. Tidak ada lagi waktu untuk menyapa satpam kompleks atau memberi senyum pada orang lewat. Bahkan jarang sekali yg mau sekedar menyebrangkan seorang nenek di pinggir jalan.

Apakah waktu benar-benar menyusut atau kita yg tak sadar akan apa yg terjadi?

Tahun 1977 Psikolog bernama John Darley dan Dan Batson melakukan tes pada sejumlah mahasiswa. Dalam tes tersebut para mahasiswa diharuskan untuk melakukan pidato di ruang dekan yg terletak di gedung sebelah ruang kuliah mereka.

Ketika waktu pidato tiba, mereka yg telah tiba di gedung dekan dibagi menjadi 2 kelompok:
1) Mereka yg diberitahu kalau mereka telat dan harus segera menuju ruang dekan untuk pidato
2) Mereka yg diberitahu kalau masih ada waktu banyak sebelum giliran mereka tiba.

Sebagai tambahan dalam tes ini, John Darley dan Dan Batson menugaskan seorang relawan untuk berdiri dan pura-pura batuk  di lorong menuju ruang dekan di mana pidato akan berlangsung. Dan apa yg terjadi?

Dua informasi yg disampaikan sebelum pidato tadi punya pengaruh besar. 90% dari mereka yg diberitahu telat tidak menggubris orang batuk itu. Mereka berlari langsung menuju ruang dekan. Sebaliknya mereka yang diberitahu bahwa masih ada banyak waktu, berhenti dan membantu.

Fenomena ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Robert V Levine pada tahun 2003. Ia berkunjung ke beberapa kota di berbagai negara. Di sana ia mengamati kecepatan transaksi di bank, kecepatan rata2 orang berjalan, serta kepedulian pada sekitar. Ia mendapati bahwa:

1) Kota maju yg sibuk seperti New York dan Tokyo, kehidupannya berlangsung terburu-buru. Warganya nampak mengejar sesuatu dan cenderung tidak peduli dengan orang lain. Mereka tidak banyak membantu orang kesusahan di jalan atau bahkan untuk mengambilkan topi yg jatuh.

2)Kota yg tidak begitu maju seperti Mexico City, penduduknya sedikit lebih santai dan mereka lebih peka menyebrangkan nenek2 atau sekedar mengambil barang yg tidak sengaja terjatuh.

Dua penelitian ini sangat menarik untuk diamati. Di tes pertama para mahasiswa sebenernya punya waktu yg sama hanya informasi yg membuat mereka bersikap berbeda. Di tes kedua, warga di berbagai kota itu juga punya waktu sama 24 jam dalam sehari. Tetapi karena perbedaan kemajuan, sikap mereka jadi beda.

Waktu tidak benar benar-benar menyusut, hanya saja kita diberitahu oleh lingkungan sekitar bahwa kita akan telat dan harus bergegas. Mungkin saja mereka sebenarnya sedang mengetes kita.

Tidak sepadan jika kepedulian pada sekitar harus diabaikan karena keterbatasan waktu. Padahal waktu tidak pernah bertambah atau pun menyusut.

Sempatkan menyapa sekitar. Tidak perlu satpam kompleks, mungkin orang tua kita yang jauh di rumah, adik kita atau sahabat kita.