Selasa, 28 Desember 2010


Malam itu, tepatnya tanggal 17 desember 2010. Kelas kami berpesta, merayakan hari terakhir camping uan sekaligus menutup semester satu. Pesta dimulai pukul empat di inul vista. Kemudian santap malam di super penyet. Setelah itu menguji nyali di Lawang Sewu. Dan sebagai penutup kami sudah memesan dua lapangan futsal selama satu jam di Stadium futsal centre. Rencana kami sudah matang apalagi dengan didukung budget 1,3 juta rupiah dari wali kelas kami Pak Kuncoro. Semua tampak antusias menyambut pesta malam ini. Empat destinasi dalam satu malam memang baru pernah kami rayakan. Biasanya hanya ada satu agenda yaitu di antara futsal atau karaoke. Mungkin karena saking stressnya kami memikirkan masa kuliah yang akan segera tiba, ide senang senang ini muncul sebagai penyegar pikiran. Terus terang banyak dari kami yang belum tahu betul akan ke mana kami akan meneruskan pendidikan.



Berangkatlah kami ke inul vista. Room yang biasa kami pesan ternyata sudah direservasi oleh seseorang yang tak lain adalah idola kelas kami, Bondan Prakoso. Maka terpaksa kami menggunakan room yang lain. Kami menari dan bernyanyi begitu dahsyatnya, satu jam berlalu begitu cepat. Berlanjutlah kami ke super penyet sekaligus menjalankan ibadah solat maghrib. Setelah kenyang kami langsung ke Lawang Sewu dan di sinilah inti ceritanya. Turunlah semua menuju tempat pembelian tiket. Rombongan kami di bagi menjadi tiga agar pemandu benar benar maksimal dalam membimbing tur kami.

Lawang sewu sudah berdiri hampir satu abad dan telah menjadi saksi masa pemerintahan Belanda, Jepang dan akhirnya Indonesia. Gedung ini dahulu dipergunakan sebagai gedung kereta api. Namun ketika Jepang datang, gedung ini beralih fungsi sebagai markas militer yang brutal. Konon akibat kebrutalan inilah banyak arwah korban perang yang masih bergentayangan di sini. Menurut pemandu kami, arwah arwah itu belum selesai urusan duniawinya maka dari itu mereka tidak akan pergi sampai dendam kesumat mereka tertebus. Rombonganku terdiri dari aku, Anggono, Adit, Bagas, Huda dan Rizky. Semua tampak antusias dan sangat penasaran dengan cerita cerita mas pemandu kecuali diriku. Tidak ada yang masuk akal di dalam sudut pandangku.

Sudah sepuluh menit kami berjalan dan belum nampak apapun yang mengerikan. Huda tiba tiba saja menanyakan di mana letak semua misteri misteri itu? Mas pemandu dengan santai menyuruh kami untuk sabar karena sebentar lagi kami akan sampai pada sebuah lorong yang biasa dijadikan tempat uji nyali para pengunjung. “Silahkan nanti dua atau tiga orang berjalan dalam lorong itu, yang lain bisa mengamati dari mulut lorong. Hampir bisa dipastikan kan ada tamabahn orang yang berjalan” terang mas pemandu.

Sampailah kami di lorong tersebut. Lumayan panjang, sekitar tiga puluh meter menurut perkiraanku. “Silahkan mas yang berani langsung saja” tawar masnya. Semua ragu setelah melihat langsung betapa gelapnya lorong itu. Hampir lima menit berlalu dan beum satu pun dari kami yang mau. Aku akhirnya mencalonkan diri dengan syarat dua pendamping yang tidak boleh berlari jika ketakutan. Tak ada satupun yang mau meskipun telah ku paksa. Tiba tiba mas pemandu menunjukan sesuatu. Tepat di pojok kiri di ujung lorong tampak sesosok manusia yang sedang berdiri. Semua penasaran dan mencoba mengamati. Memang benar ada suatu bayangan hitam di pojok sana. Namun mataku tak bisa menyatakan itu benar maka di kala yang lain telah percaya, hanya diriku yang masih bertanya mana?

Tak lama kemudian rombongan belakang kami tiba. Tanpa ragu ragu Mirza menawarkan diri. Bersama Hendra mereka berdua masuk ke dalam lorong yang gelap itu. Tetapi belum sampai lima meter Hendra membalikkan badan, menyerah ketakutan. Kembalilah kami berunding saling menunjuk siapa yang akan masuk. Akhirnya Aku Mirza dan Aga lah yang mau. Sambil menggandeng tangan masing masing, kami telusuri langkah demi langkah lorong yang mengerikan itu. Awalnya kami canggung namun setelah sampai di tengah langkah kami mulai lancar. Kami bertiga bertanya tanya apa gerangan yang teman teman kami lihat jauh di mulut lorong sana.

Di ujung lorong Aku Mirza dan Aga berhenti sejenak. Di situ, tepat di pojok kiri, mas pemandu tadi menunjuk sosok hitam dari mulut lorong tempat kami berangkat. Namun tak ada apapun di situ, kami bertiga bahkan meluangkan beberapa menit berdiri di ujung lorong mencari cari sosok itu. Karena memang tidak ada apa apa, kami berbalik kembali menuju ke mulut lorong. Tampaklah teman teman kami menunggu, Mirza melambaikan tangan mendeklarasikan keberhasilan kami menaklukan lorong misteri itu. Ada yang aneh ketika kami berjalan kembali. Langkahku terasa terseok seok seperti ada yang menggantung pada lututku. Aku tak ambil pusing dan terus berjalan sampai pada mulut lorong.

Teman teman langsung meluncurkan berbagai pertanyaan mulai dari apa yang kami lihat sampai apa yang kami rasakan. Mereka kemudian bercerita bahwa selama kami berjalan, banyak sosok kecil yang disinyalir sebagai tuyul tuyul membuntuti kami. Begitu pun ketika kami berjalan kembali. Aga yang tadinya biasa saja sontak terkejut mendengar pernyataan teman teman. Aku menceritakan teman teman bahwa ketika kembali, langkahku terasa agak berat. Mas pemandu yang berada di sampingku memberitahuku bahwa aku telah berjalan di tangga gaib sehingga langkahku tidak seimbang. Huda dan Hendra kemudian heboh saling bercerita bahwa sangat mengerikan menyaksikan kami bertiga di dalam lorong sana.

Di tengah tengah perbincangan teman teman, diriku menawarkan kesempatan kedua bagi teman yang mau. Aku belum benar benar percaya pada semua perkataan tadi. Tak satu pun merespon, mereka sudah cukup puas dengan hasil pengamatan mereka. Mas pemandu datang menghampiriku kemudian menanyakan agama. Setelah ku jawab bahwa aku orang Islam mas pemandu segera mengajakku masuk untuk membuktikan. Sepertinya mas nya sangat geram dengan tindakku yang tak mau percaya dari tadi. Bersiulah mas pemandu memanggil manggil makhluk gaib sambil berjalan. Aku yang berada di belakang pemandu tadi mencoba mempercepat langkah agar tak ketinggalan. Ketika sampai di tengah perasaanku berubah tak enak. Bulu kuduku berdiri dan tanpa diberi tahu aku segera menyaut tangan mas pemandu.

Suasana sangat berbeda dibandingkan ketika aku bersama Mirza dan Aga. Sambil bersiul mas pemandu menunjukanku akan suatu bayangan. Awalnya aku kira hanyalah bayangan hitam hasil pemantulan cahaya dari kota. Setelah lama ku pandang maka benarlah, bayangan itu menyerupai sosok berjubah hitam yang memandangku. Semakin ku pandang semakin jelaslah bentuknya. Aku takut dan berpaling. Kemudian mas pemandu menunjuk ke arah langit langit, aku tak melihatnya dan bertanya di mana? Mas pemandu segera bersiul kembali mengisyaratkan teman gaibnya untuk menampakkan diri. Seketika sosok itu menjadi jelas, hitam terbang dan memandangku. Jantungku berdecak begitu kencang teganglah semua persendian.

Mas pemandu mulai cekikikan melihat tingkahku. “Ko merinding mas, katanya pengen lihat tadi” katanya meledek. Aku yang benar benar ketakutan hanya diam sambil mencoba bertanya apa sosok yang terbang tadi. Di sela sela aku lirik kembali sosok jubah hitam yang ternyata masih setia memandangku dari depan. Mas pemandu kemudian menunjuk ke sebelah kiriku. Ya tepat di sebelah kiriku menjulang tinggi bayangan besar. Awalnya seperti tadi aku kira hanyalah bayangan cahaya kota belaka. Setelah ke tengok lagi tak ada lubang apapun yang mengizinkan cahaya dari luar masuk. Dan di detik itu aku benar benar tegang. Belum pernah sedekat itu aku bertatapan dengan makhluk halus yang di sebut setan atau dedemit. Sosok besar itu seperti pocong, karena aku tahu jika ku pandang maka sosoknya akan tampak jelas maka aku putuskan diam. Mas pemandu makin terkekeh merasakan badanku bergetar. Dalam batinnya puas memberi pelajaran pengunjung yang kurang ajar ini.

Aku berbalik kembali ke mulut lorong menemui teman teman. Sambil menahan rasa tegang ku ceritakan semua sosok yang ada di dalam sana. Kali ini dengan mantap tanpa ragu ragu aku nyatakan bahwa semuanya tadi adalah benar bukan mitos ataupun gosip belaka. Mas pemandu benar benar memberi pelajaran padaku bahwa jangan sombong di Lawang Sewu. Kami semua melanjutkan tur ke bawah tanah. Tak semua ikut masuk karena kebanyakan dari kami sudah pernah melakukan. Setelah selesai kami melanjutkan pesta di Stadium Futsal centre. Berakhirlah pesta kami pukul sebelas malam. Malam yang sangat mengesankan.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar