Di zaman sekarang, semua peristiwa berlangsung begitu cepat dan padat. Tak jarang dari kita yang menganggap 24 jam tidak cukup untuk dijadikan satu hari. Hasilnya, orang menjadi terburu-buru untuk mengejar jam masuk kantor, mengejar deadline tugas atau mengejar jatuh tempo lainnya.
Waktu 24 jam yang biasanya luang harus ditukar dengan kesibukan sehari-hari. Hasilnya waktu luang hanya tersisa sedikit bahkan habis. Tak ada lagi jatah untuk lingkungan sekitar. Tidak ada lagi waktu untuk menyapa satpam kompleks atau memberi senyum pada orang lewat. Bahkan jarang sekali yg mau sekedar menyebrangkan seorang nenek di pinggir jalan.
Apakah waktu benar-benar menyusut atau kita yg tak sadar akan apa yg terjadi?
Tahun 1977 Psikolog bernama John Darley dan Dan Batson melakukan tes pada sejumlah mahasiswa. Dalam tes tersebut para mahasiswa diharuskan untuk melakukan pidato di ruang dekan yg terletak di gedung sebelah ruang kuliah mereka.
Ketika waktu pidato tiba, mereka yg telah tiba di gedung dekan dibagi menjadi 2 kelompok:
1) Mereka yg diberitahu kalau mereka telat dan harus segera menuju ruang dekan untuk pidato
2) Mereka yg diberitahu kalau masih ada waktu banyak sebelum giliran mereka tiba.
Sebagai tambahan dalam tes ini, John Darley dan Dan Batson menugaskan seorang relawan untuk berdiri dan pura-pura batuk di lorong menuju ruang dekan di mana pidato akan berlangsung. Dan apa yg terjadi?
Dua informasi yg disampaikan sebelum pidato tadi punya pengaruh besar. 90% dari mereka yg diberitahu telat tidak menggubris orang batuk itu. Mereka berlari langsung menuju ruang dekan. Sebaliknya mereka yang diberitahu bahwa masih ada banyak waktu, berhenti dan membantu.
Fenomena ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Robert V Levine pada tahun 2003. Ia berkunjung ke beberapa kota di berbagai negara. Di sana ia mengamati kecepatan transaksi di bank, kecepatan rata2 orang berjalan, serta kepedulian pada sekitar. Ia mendapati bahwa:
1) Kota maju yg sibuk seperti New York dan Tokyo, kehidupannya berlangsung terburu-buru. Warganya nampak mengejar sesuatu dan cenderung tidak peduli dengan orang lain. Mereka tidak banyak membantu orang kesusahan di jalan atau bahkan untuk mengambilkan topi yg jatuh.
2)Kota yg tidak begitu maju seperti Mexico City, penduduknya sedikit lebih santai dan mereka lebih peka menyebrangkan nenek2 atau sekedar mengambil barang yg tidak sengaja terjatuh.
Dua penelitian ini sangat menarik untuk diamati. Di tes pertama para mahasiswa sebenernya punya waktu yg sama hanya informasi yg membuat mereka bersikap berbeda. Di tes kedua, warga di berbagai kota itu juga punya waktu sama 24 jam dalam sehari. Tetapi karena perbedaan kemajuan, sikap mereka jadi beda.
Waktu tidak benar benar-benar menyusut, hanya saja kita diberitahu oleh lingkungan sekitar bahwa kita akan telat dan harus bergegas. Mungkin saja mereka sebenarnya sedang mengetes kita.
Tidak sepadan jika kepedulian pada sekitar harus diabaikan karena keterbatasan waktu. Padahal waktu tidak pernah bertambah atau pun menyusut.
Sempatkan menyapa sekitar. Tidak perlu satpam kompleks, mungkin orang tua kita yang jauh di rumah, adik kita atau sahabat kita.
0 komentar:
Posting Komentar