Pagi-pagi adzan
berkumandang sebelum para ayam jantan bangun. Hanya diriku dan seorang kawan
bernama Januar terbangun di kamar kami. Anggota kamar lain sepertinya belum mau
menyelesaikan mimpi-mimpi mereka. Gelapnya hari dan merdunya alunan sepasang
kipas angin masih mengeratkan selimut kawan-kawan. Para pembina juga belum
terdengar langkah kakinya. Nampaknya asrama baru akan benar-benar bangun setengah
jam kemudian.
Mata ini masih
berusaha keras membuka kedua tutupnya. Sementara tangan kanan dan kaki kananku baru mulai bisa bergerak karena sedikit lumpuh kehilangan aliran darah.
Itulah resiko tidur miring beralaskan dua anggota tubuh tadi. Meskipun nyaman,
rasa semutan harus jadi bayaran.
Di dalam gelap
aku dan Januar melangkah menghampiri lemari kami yang saling bersebelahan. Karena
masih gelap, kami berjalan meraba raba benda yang ada di sekitar. Sebenarnya
ada sedikit cahaya yang masuk dari lubang yang terdapat pada pintu masuk. Namun
pantulan sinar dari lubang tersebut belum cukup terang untuk mendukung kerja
mata kantuk kami.
Lubang itu biasa
digunakan para pembina untuk mengawasi kami dari luar. Biasanya malam hari
sebelum kami tidur, para pembina akan mendatangi satu per satu kamar tanpa
sepengetahuan kami. Lalu dari lubang-lubang itu mata mereka akan singgah,
menyelidiki apabila ada anggota kamar yang belum mengumpulkan handphone.
Di antara
kegelapan tadi, kakiku secara tidak sengaja menyandung kaki Januar. Alhasil ia
terselip sedikit dan hampir terjatuh. Untung saja ia segera menggapai
lemarinya. Kejadian itu menghasilkan beberapa bunyian yang nyaris membangunkan
teman-teman. Beberapa dari mereka sempat berkeluh “Opo to kui………..”, “Hoaaahhmm…”.
Tetapi tak lama kemudian mereka terlelap kembali.
“Sorry tun, gak
liat” Aku meminta maaf lalu melanjutkan urusanku.
*(Januar lebih
akrab dengan panggilan kartun)
Setelah sampai
pada lemari, segera kuambil alat mandi dan bergegas keluar dari kamar yang
gelap itu. Kedua mata ini segera terbuka mendapati lampu yang menyala dari atas
langit-langit koridor. Ketika hendak membelokan diri ke arah kamar mandi, Mirza
menyapa sambil berlari lari kecil di hadapan cermin yang tergantung pada
dinding luar kamar kami.
“Selamat pagi
saudara” sapanya dengan suara melengking dan senyum badut khasnya
“Mir… Lapo we?”
tanyaku sedikit heran dengan tingkahnya
“Jogdipa”
katanya
“Jogdipa???”
tanyaku kembali
Tak lama
kemudian muncul Ariza keluar dari kamar yang berada di seberang kamar kami.
“Tang…?” tanyaku
menoleh *(kami memanggilnya kentang)
“Selamat pagi
saudara. Ayo kita jogdipa” katanya menirukan gaya mirza.
Sekarang terdapat
dua orang sedang berlari-lari kecil di hadapan mata kantukku. Karena tidak
paham dengan maksud mereka, kugaruklah kepala ini.
“Jogdipa cok,
jogging di pagi hari, bahahaha” tawa Mirza menjawab.
Mereka berdua
saling tos kemudian pergi menuruni tangga berlari. Ada ada saja ulah mereka di pagi
gelap ini.
Perjalanan untuk mandi dilanjutkan. Mengambil handuk di ruang penjemuran lalu masuk kamar
mandi. Kamar kami dan kamar mandi berada di lantai tiga atau lantai paling atas
gedung asrama. Perlu diketahui, langit-langit ruangan di lantai tiga berjarak
lebih tinggi dari lantai lainnya. Hal ini berdampak pada ukuran lubang
sirkulasi udara kamar mandi. Terdapat lubang ventilasi yang lebih besar di
kamar mandi lantai tiga dibandingkan kamar mandi lantai lain.
Dingin angin pagi
segera menyambut langkah awalku ke kamar mandi. Dinginnya sedikit menyiutkan
niatku mandi namun segera rasa itu pergi setelah melihat panjangnya antrian
gayung. Jika tidak mandi sekarang maka diriku harus menunggu sampai jam enam
pagi nanti. Padahal setelah itu masih ada jadwal sarapan pagi sebelum akhirnya
pelajaran dimulai.
Di semesta kami
memiliki budaya antri mandi yang unik. Malam hari setelah jadwal belajar
bersama selesai, para siswa akan bergegas meletakkan gayung mereka di depan
pintu bilik kamar mandi. Sistem antrian ini terbukti efektif karena selama
penerapannya tidak ada yang berani curang melangkahi.
Lantai tiga asrama
di huni oleh kurang lebih 70 siswa dan hanya terdapat sembilan bilik kamar
mandi. Itu artinya setiap bilik akan menjadi tempat mandi delapan orang. Sholat
subuh berjamaah baru akan selesai pada pukul 5.00. Jika setiap siswa dari
delapan orang perkiraan tadi menghabiskan sepuluh menit mandi, maka antrian baru akan selesai sekitar pukul 6.15. Sekarang jam menunjukan pukul 4.30 pagi.
Dan belum ada siapa pun yang masuk ke kamar mandi.
Dalam proses
mengantri gayung, seseorang hanya boleh mendahului antrian apabila pemilik
gayung di depan gayungnya tidak melihat aksi tersebut. Hal ini sangat jarang terjadi
ketika semua siswa sudah bangun. Mereka yang nekad nyerobot akan dipermalukan
bersama di kamar mandi. Namun kasusku dan beberapa kawan di sini sedikit
berbeda. Karena belum banyak yang bangun pada pukul 4.30, kami bisa dengan
leluasa memilih bilik mana pun sebagai tempat mencuci badan. Meskipun harus
berdampingan dengan dingin angin pagi, cara ini kami pilih karena jauh lebih
menghemat waktu. Selain itu kami bisa bersantai-santai di kala yang lain sibuk
menunggu antrian mandi.
Sehabis mandi
barulah terdengar adzan berkumandang di mushola asrama kami. Mirza dan Ariza
tampak berkeringat berlari dari arah tangga menghampiri kamar mandi. Mereka
berdua juga termasuk golongan pemandi pagi sebelum antrian panjang terjadi.
Adzan subuh di asrama tidak pernah sepi sendiri. Teriakan para pembina membangunkan teman-teman
ikut menghiasai pembukaan hari.
“Ayo bangun ayo…..”
teriak Serdar abi sambil mengetuk pintu
“Selamat pagi
Gagas, Januar” sapanya kemudian
“Pagi bi” sapa
kami kembali
Karena sudah
mandi, biasanya aku sempatkan diri duduk mengamati tingkah teman-teman kamar
yang masih terpejam matanya. Lampu kamar sudah menyala, Serdar abi segera memulai membangunkan mereka satu per satu. Ada mereka yang
langsung bangun, ada pula yang bersandiwara menutupi mata. Braja dan Tryan adalah
mereka yang langsung bangun. Mereka segera melompat
turun dari ranjang dan berari ke mushola. Sementara itu Serdar abi melanjutkan
tugas membangunkannya yang belum menemui hasil.
“Anggono, Endo,
Huda. Bangun bangun” tegur Serdar abi
“hoaaaaahhhhm,
iya bi siiip” jawab Endo. Anggono dan Huda masih asik dalam mimpi mereka, tak
menghiraukan nyala lampu dan teguran Serdar abi.
“Shhht, Irfan,
Aswin, Hendra…. Ayo bangun” lanjut Serdar abi
“Oke bi sebentar
lagi” timpal Hendra
“Ayo ayo ayo,
bangun teman teman…..”
“Iya bi sebentar,
hoaaaaahmm” Jawab Irfan
“Mambu syuu…”
saut Aswin mengejek.
Irfan adalah
orang yang paling sering diejek di kamar kami. Oleh karena itu selepas Aswin
mengejek, beberapa teman-teman melanjutkan menyerbu.
“He eh dung
mambu cok…” saut Hendra
“Hoeeeekkk” kata
Redhy
“Hidung,
mambuuu!” saut Huda
“Mambuuu” kata
Anggono
“Terima kasih Aswin”
kata Serdar abi
Ejekan Aswin pada
Irfan tadi justru lebih efektif membangunkan teman-teman yang lain.
“Irfan cepat
bangun, gosok gigi” tambah Serdar abi
“Wah abi ikut
ikutan nih….” Jawab Irfan
“Bahahahahahhaha”
semua tertawa melihat kejadian itu
Beberapa menit
kemudian komat berkumandang. Pada saat itulah semua baru benar-benar bangun
mengambil wudlu lalu sholat berjamaah. Semua kejadian tadi menjadi bagian rutin
peristiwa pagi di asrama. Kenangan yang tak terlupa selama tiga
tahun tinggal bersama di asrama.
Irfan masih tidur |
pagi hari memang penuh sensasi
BalasHapus