Senin, 12 Desember 2011



Pagi-pagi sekali Mehmet abi masuk ke kamarku. Membangunkanku dan kawan kamarku Adil. Rupanya pagi ini kami akan sholat di sebuah masjid di atas bukit sana. Biasanya kami baru bangun pukul enam lebih seperempat karena waktu sholat subuh baru berakhir pukul tujuh kurang sepuluh. Namun pagi ini pukul lima tiga puluh semua telah bangun. Selimut hangat
itu berat kulepaskan, bantal pun masih rekat mengunci kepala. Butuh beberapa menit sebelum akhirnya badanku benar-benar lepas dari dua benda tadi. Mengambil wudhu lalu menebalkan baju. Aku tak mungkin keluar dalam kain tipis di suhu nol derajat celsius.

Mulutku mengasap sekeluarnya dari apartemen. Putih pekat sepekat asap tembakau para perokok. Sekelilingku genangan-genangan kecil sisa hujan kemarin sore. Bentuk mereka serupa cair serupa es. Dingin malam ini belum cukup mengeraskan mereka. Jalanan masih sepi, hanya dua tiga mobil berlaluan. Jam menunjukan pukul enam kurang sepuluh. Gelap berangin layaknya pagi pagi sebelumnya. Tak lama sepeninggalan kami dari rumah adzan subuh berkumandang. Mobil yang menjemput kami telah siap dengan pintu terbuka. Segera kami pergi menuju bukit yang terletak sekitar lima kilometer dari apartemen kami.

Sholat kemudian pulang kembali untuk sarapan. Aku kaget dengan sarapan ini karena biasanya kami baru menyantap makan pertama pukul sepuluh pagi. Namun kali ini tepat setelah sholat subuh kami makan. Dua kawanku sibuk menyiapkan kentang telor dadar dan beberapa selai. Di pojok meja dapur sudah menumpuk roti-roti segar. Tawaran bantuanku mereka tolak.
               
“Sağ ol Gagas, otur sen!” pinta mereka.

“Tamam ben gazete hazırlayım, kolay gelsin!” jawabku seraya mengambil sebuah koran bekas.

Empat lembar koran aku letakkan di tengah ruang tamu. Beberapa menit kemudian semua hidangan lengkap tersaji di atas lembaran. Gelas-gelas teh melengkapi sarapan spesial hari ini. Semua berkumpul lalu memulai santapan. Kawanku memotong roti-roti seukuran tangan manusia itu kecil-kecil. Gerakannya menimbulkan bunyian kriuh yang terkesan gurih. Aku yang bertugas membagikan  potongan roti-roti tersebut merasakan hangatnya. Sedikit-sedikit aku tekan mereka dan timbulah bunyi kriuh serupa. Oh betapa gurihnya menikmati roti-roti yang baru turun dari pemanggangan. Kami berdoa lalu memulai sarapan secara bersamaan.

“Itadakimas!” ucapku.

“Ne konuşuyorsun?” Tanya mereka memandangku kebingungan.

“Pardon, hiç bir şey değil” jawabku.

Rupanya peristiwa dua tahun itu masih begitu membekas. Apalagi bulan ini telah memasuki bulan Desember. Sambil mengunyah pikiranku terbang kembali ke negeri sakura. Tepat di bulan ini dua tahun yang lalu aku bertemu kawan-kawan baru dari berbagai tempat baik dari dalam maupun luar negeri. Kami menjelajahi negeri itu selama dua minggu lama. Aku juga menikmati kehidupan di hotel mewah tanpa membayar se sen uang pun. Dan yang paling berkesan mungkin adalah menyaksikan salju yang pertama dalam hidupku. Betapa aku begitu kampungan ketika salju tiba. Berlarian di jalanan lalu mencoba mengenggam kapas kapas es. Bodohnya lagi aku coba memakan mereka. Di tengah imajinasi nostalgiaku tiba tiba saja ada yang berbicara. Kesadaranku tidak dalam seratus persen saat itu. Pendengaranku sedikit samar namun penglihatanku jelas. Kawanku itu berbicara tepat padaku. Seketikanya barulah aku benar-benar terbangun dari bayang-bayangku.

“Gagas bak! Dışarı’da kar yağıyor” ucap seorang kawanku.

“Gercekten mi?” tanyaku sedikit ragu.

Aku menoleh kea rah jendela dan ternyata benar katanya. Hari ini tepatnya Sembilan Desember 2011 salju telah datang ke Turki. Mereka berkoloni dalam jumah yang besar. Turun menghujam semua yang ada di bumi sini. Masa mereka bersembunyi di bagian utara telah habis. Mereka harus kembali menghujani Ankara sampai Februari nanti. Aku tersenyum lalu bergegas menuju jendela. Kubuka lalu ku ulurkan kedua tanganku menggapai mereka. Bentuk mereka sama persis ketika kulihat dua tahun lalu. Atau mungkin mereka masih bersaudara dekat.

“Apakah kalian mengetahui tentang yuki di timur sana?” tanyaku

Tidak ada jawaban, mereka hanya terdiam tepat di telapak tanganku. Lalu aku coba menanyakan mereka lagi. Mungkin saja mereka hanya bisa berbahasa turki.

“Yuki, bir Japonyalı tanıyor musunuz?” tanyaku lagi.

Sayang sekali mereka pergi mencair sebelum sempat menjawab. Tak apalah, mungkin mereka lelah setelah berjalan jauh dari utara sana. Selamat datang salju-salju, senang rasanya menemui kalian lagi. Jendela tadi aku tutup kembali. Mulut dan tanganku kembali sibuk menyantap roti roti bersama selai selai. Sesekali kupalingkan kepalaku ke arah jendela memandangi mereka yang masih asik menghujani bumi.


Categories:

2 komentar:

  1. wau... bagus bro... :) jadi pengen bikin ginian... btw pernah pergi ke jepang beneran...? dalam rangka apa?

    BalasHapus
  2. Makasih lih, bikin aja kapan lagi coba?
    ke jepang AFS short program,

    BalasHapus