Nama saya Gagas Pambudi Utomo dan biasa dipanggil Gagas. Nama Gagas sendiri sebenarnya kurang memiliki dasar yang jelas karena ketika Ibu ditanya mengenai proses penamaan saya beliau hanya menjawab bahwa ide nama Gagas datang begitu saja.
Sejak lahir hingga sekarang nama panggilan saya tetap Gagas. Namun hal yang sering terjadi adalah orang keliru memanggil saya Bagas. Sampai-sampai saya harus selalu mengingatkan ketika perkenalan bahwa “Nama saya Gagas bukan Bagas, G bukan B”. Dengan peringatan itu pun tak sedikit yang tetap memanggil Bagas. Mungkin karena nama saya tidak banyak digunakan di Indonesia sehingga rasanya akan lebih mudah diingat jika menggunakan panggilan Bagas yang sudah lebih populer lebih dahulu.
Saya
terlahir dari keluarga kelas menengah. Kala itu Ibu dan Ayah adalah seorang
guru. Kami tinggal di rumah yang kami bangun sendiri. Waktu pertama kali
dibangun rumah kami dikelilingi sawah. Kami tidak mampu untuk membangun pagar
sehingga kami menggunakan rangkaian bambu untuk membatasi rumah. Ibu berangkat
ke sekolah dengan menggunakan vespa tahun 80an dan Ayah pergi menggunakan suzuki
shogun tahun 90an. Kami masih menggunakan kompor minyak tanah. Kami memiliki
sebuah televisi berukuran 14 inchi yang kami gunakan cukup lama. Karena kondisi
inilah kedua orang tua saya tidak pernah memanjakan saya berlebihan. Saya
selalu dituntut untuk hidup sederhana. Bahkan setiap sehabis makan tidak boleh
ada tersisa sebiji nasi pun di piring.
Idul Fitri di Istanbul |
Perjalanan
kehidupan saya amat sangat berwarna. Berbagai peristiwa-peristiwa yang saya
alami begitu mempengaruhi pola pikir dan karakter Gagas yang sekarang. Namun dari
semua itu ada tujuh momen yang benar-benar merubah seorang Gagas menjadi
pribadi yang sekarang.
Yang
pertama adalah pergi ke Australia. Pada tahun 2002 Ayah memutuskan untuk
membawa kami sekeluarga ke kota Sydney. Kami tinggal di sana selama 21 bulan.
Selama itu pula saya menempuh pendidikan di salah satu sekolah negeri. Di
sekolah itu saya benar-benar merasakan perbedaan cara pembelajaran dari yang
pernah saya dapatkan di Indonesia. Jika di Indonesia saya diberi LKS dan buku
cetak untuk belajar. Para siswa SD di Sydney sudah mengenal internet. Bahkan
tugas-tugas anak SD sudah dalam bentuk klipping. Kami mencari semua bahan dari
internet. Selama pengerjaan tugas-tugas itu saya mulai mengenal google dan yahoo. Perpindahan ini membuka mata saya pada dunia. Dari
perjalanan ini pula saya mendapatkan dasar Bahasa Inggris yang masih berguna
hingga saat ini.
Kami
datang ke kota Sydney bukan pada saat yang begitu pas. Saat itu pemerintahan
John Howard memutuskan bahwa setiap orang asing diwajibkan membayar biaya
sekolah. Padahal sebelumnya semua gratis. Ayah sebenarnya telah menyiapkan
kondisi ini. Namun manusia hanya bisa berencana karena Tuhanlah yang menentukan
segalanya.
Pada pertengahan
tahun 2003 kami kekurangan uang. Alhasil saya dan adik saya Gina tidak
diperbolehkan sekolah. Saya yang masih berusia 10 waktu itu ikut serta berkerja
bersama orang tua. Dalam satu minggu saya membantu Ibu berkeliling kota
membagikan brosur-brosur ke rumah-rumah. Ibu yang tadinya hanya kerja di sebuah restoran Padang terpaksa menambah pekerjaan sebagai penyebar brosur. Pada minggu berikutnya saya mengikuti
Ayah mengirim piza. Selain berkuliah beliau juga bekerja sebagai delivery boy. Sementara saya dan orang
tua pergi bekerja Gina tinggal di rumah mengurusi adik laki-laki saya yang
paling kecil Ghani. Saya ingin menangis jika mengingat masa-masa itu. Dalam
hidup ini kadang kita harus melakukan hal-hal di luar kebiasaan untuk bertahan.
Satu bulan setelah pengusiran dari sekolah itu Ayah mendapat pinjaman dari
seorang kawan. Saya dan Gina kemudian bisa kembali bersekolah seperti
sebelumnya.
Yang kedua
adalah sewaktu SMP saya terpilih menjadi ketua OSIS di SMP Negeri 1 Purwokerto.
Pada masa ini berbagai kegiatan saya jalani bersama rekan seorganisasi. Mulai kegiatan
kecil seperti upacara bendera hingga Pentas Seni yang memakan jutaan biaya.
Dari kegiatan organisasi saya belajar banyak mengutamakan kepentingan bersama
dan bagaimana caranya bekerja secara kelompok. Menjadi ketua bukanlah sekedar
menginstruksi anggota tetapi lebih ke bagaimana seorang bisa menggerakan orang
lain tanpa harus memaksa.
Momen yang
ketiga adalah ketika menjadi ketua OSIS, saya juga mengikuti geng motor dan
terjun ke dunia band. Remaja memang sedang giatnya mencari identitas mereka dan
salah satunya melalui pembentukan geng motor dan bermain musik. Saya tergabung
dalam sebuah grup musik. Berbagai pentas kami ikuti namun tak satu pun yang
bisa kami menangi. Dunia band membiasakan diri saya mengikut sertakan musik
sebagai elemen penting dalam hidup. Jika musik tiada hidup akan berjalan tidak
seimbang.
F1ZR di tengah |
Kala itu
orang tua saya memberikan sebuah motor F1ZR
keluaran Yamaha. Kebetulan harga motor dua tak mendadak turun dan Ayah
membeli motor itu dengan harga 3,5 juta rupiah. Saya mulai merokok dan sesekali
minum minuman keras. Entah apa alasannya mungkin karena kawan-kawanku juga
melakukan hal yang sama. Kebiasaan ini kemudian membuat saya tak hanya berteman
dengan kalangan organisasi namun juga mereka yang selama ini dipanggil anak
nakal. Saya juga sempat mendapat dua julukan yaitu ketua OSIS terkeren versi geng motor dan ketua OSIS paling ancur versi siswa lain.
Yang
keempat adalah ketika salah seorang senior saya yang bernama Dharma membawa
saya bergabung dengan Tiens. Di perusahaan Multi Level Marketing ini saya
diajari bagaimana caranya bermimpi dan memenuhi target. Pada masa kejayaannya,
saya pernah mendapatkan penghasilan 800 ribu rupiah sebulan. Bisnis itu
terhenti ketika orang tua saya memutuskan untuk menyekolahkan saya ke SMA
Semesta di kota Semarang. Bagaimana pun juga saya mulai berani bermimpi setelah
bergabung Tiens.
Yang
kelima adalah ketika saya masuk SMA Semesta. Ibu memutuskan untuk menyekolahkan saya di asrama karena kelakuan
saya yang sudah mengkhawatirkan. Dunia geng motor dan Tiens begitu merubah
sopan santun saya. Awalnya saya menolak untuk pindah ke asrama namun ternyata
di SMA Semestalah dunia kembali terbuka. Saya berhasil berhenti merokok dan
menjauhi minuman keras. Pengetahuan agama saya meningkat dan ini berdampak pada
hubungan saya dengan orang tua yang kembali membaik. Kehidupan di asrama
menjadikan saya lebih peka terhadap orang-orang di sekitar.
Salah satu situs peninggalan bom di Hiroshima |
Yang
keenam adalah ketika saya terpilih dalam program AFS ke Jepang. Selama dua
minggu di Negeri Sakura saya bertemu dengan teman-teman dari berbagai Negara. Mereka
semua bercerita tentang Negara mereka dan saling mendengar kisah-kisah Negara
lainnya. Dari perjalanan itu saya sadar bahwa dunia bukan Indonesia saja. Kita
harus terbuka dan memahami dunia jika menginginkan dunia memahami kita.
Momen
terakhir adalah ketika saya melanjutkan studi di Turki. Pada bulan Juli 2011
saya berangkat dari Jakarta menuju Turki. Dengan bermodal nilai SAT saya mendaftarkan diri di tiga perguruan
tinggi. Saya kebetulan diterima di jurusan Teknik Geologi METU. Dua bulan
setelah memulai kuliah saya menerima pengumuman beasiswa dari Pemerintah Turki
yang mengharuskan saya belajar bahasa Turki selama satu tahun. Sampai saat ini
saya masih belajar bahasa Turki dan baru tahun depan bisa memulai kuliah lagi.
Orang tua saya sempat meragukan keputusan saya berhenti kuliah demi mendapat
beasiswa itu. Saya kemudian berhasil meyakinkan mereka bahwa keputusan saya
akan banyak memberi manfaat dan saya telah siap untuk mengambil semua resiko.
Dibutuhkan keyakinan untuk membuat suatu keputusan meskipun mendapat tentangan
dari orang terdekat. Saat ini saya sangat menikmati pelajaran Bahasa Turki yang
memudahkan saya hidup di negeri ini.
Saya tidak
menyesal dengan hidup saya. Saya justru sangat bersyukur telah bisa masuk ke
semua dunia. Dari berorganisasi sampai mabuk-mabukan hingga kembali ke jalan
yang benar.
Keluarga
adalah benteng terakhir saya. Ketika dunia membenci atau menjauhi kita,
keluargalah yang masih mau mengerti.
Saya yakin
semua orang yang saya temui memang sudah ditakdirkan untuk membantu saya tumbuh
menjadi pribadi yang lebih baik.
Dan
kenyataan bahwa saya lahir di Indonesia di mana masalah ada di mana mana justru
menantang diri untuk membenahi kedaan yang ada.
Kehidupan
ini hanya terjadi sekali dan akan sangat sayang jika kita melewatinya dengan
biasa biasa saja. Kata seorang kawan saya ‘Berani mati itu biasa, berani hidup
itu yang mantap’. Setiap masalah jika bisa kita ambil pelajaran akan menjadi
pemantap hidup yang hanya satu ini.
Saya
adalah sebuah batu yang sedang dipahat menjadi patung. Setiap kecacatan akan ditambal
namun tetap terlihat bekasnya. Bentuk saya baru akan terlihat ketika mati nanti.
Di saat itulah orang mengerti patung apa saya ini.
Tahun 2030
nanti gedung-gedung tinggi tidak hanya akan ada di Jawa. Sumatra, Kalimantan
dan Sulawesi juga akan memilikinya. Saya belum rela jika keindahan bumi Papua
berganti keriuhan kota.
Jika
pemuda-pemuda super sekarang berhasil membenahi Indonesia, korupsi bukan jadi
tajuk rencana lagi. Kemiskinan tetap ada namun jauh lebih sedikit.
Kita harus
bergerak bersama. Saya ingin mengajak teman-teman menyumbang baik uang maupun
waktu demi pendidikan Indonesia. Karena pendidikanlah yang akan mengangkat
martabat suatu bangsa.
Saya belum
bisa membayangkan biografi karena perjuangan saya belum selesai.
Hari
terakhir tahun 2011 ditandai dengan acara silaturahmi seluruh masyarakat
Indonesia di KBRI Ankara. Ketika sesi istirahat tiba saya bergegas menuju
toilet. Di sana ternyata sudah ada seorang teman menanti. Akhirnya saya ikut
mengantri di belakangnya karena hanya ada satu bilik. Tak lama setelah itu dua orang
menyusul mengantri di belakang saya. Lama menanti dan berulang kali kami ketuk
pintu, kami beranikan membuka pintu yang ternyata tak terkunci. Kami semua merasa
bodoh mengetahui bilik tersebut kosong.
Baca profil Bukik Bertanya lainnya di sini
http://bukik.com/2011/12/28/bukik-bertanya-undangan-untuk-berkolaborasi/
Kalau niat untuk berubah dan menjadi lebih baik sudah besar pasti gak akan ada yang bisa menggoyahnya, semoga perubahan ini tetap bertahan untuk selamanya.
BalasHapusTerima kasih komentarnya, saya juga berharap begitu
BalasHapusSalam kenal :)
inspiratif ;)
BalasHapusTerima kasih, semua kisah orang itu inspiratif makannya ada program ini :)
BalasHapusya, tapi kamu menuangkannya dengan baik :)
BalasHapussalut:D seneng bisa kenal sama kamu, haha
BalasHapusinspiratif sekali..
BalasHapussaya sangat menghargai perjuangan seseorang untuk berubah walaupun sekecil apapun.
,,menggugah hati,,
BalasHapuskeren bgt,,
emg hdup tu btuh prjuangan..,
Sudah sepuluh tahun berlalu, sepertinya perlu jilid II nih ;)
BalasHapus