Selasa, 28 Desember 2010

Selasa 7 Desember 2010. Lagi lagi etud menjadi saksi kekonyolan antara para siswa kelas 12a dan pembina baru. Kali ini terjadi bukan pada saat etud pagi namun di siang hari. Hari ini hari libur, tepatnya memperingati tahun baru hijriah. Semesteran yang sedang berlangsung diliburkan dan baru akan kembali diteruskan besok. Pada hari itu juga tim nasional Indonesia akan bertanding melawan Thailand dalam lanjutan laga penyisihan grup piala AFF. Pertandingan akan disiarkan pada pukul 19.00. Mengingat pada saat itu pula etud malam berlangsung. Direktur asrama kami mengambil inisiatif mengganti etud malam menjadi siang agar semua siswa nantinya dapat menonton.


Etud siang di mulai pukul 15.00 hingga pukul 17.00. Para siswa bersiap-siap tak terkecuali kelas kami. Dengan wajah kumal khas liburan, kami melangkah menuju gedung sekolah. Singkat cerita, sampailah kami di ruang sepuluh. Lantai dua pojok tenggara gedung sekolah persis di samping toilet putra. Seperti biasa, kami duduk manis di bangku kami masing masing. Yang berdeda dari etud kali ini dalah Nurullah abi, pembina sementara kami tak hadir untuk mengabsen. Tak ada satu pun yang tau di mana orang itu berada.

Anak olimpiad belajar di kelilingi beberapa yang numpang tanya. Tentu saja ada yang mengobrol bersenda gurau menghabiskan dua jam waktu etud. Tak lupa juga mereka yang tidur pulas di atas meja menyanyikan lagu dengkur mereka masing masing. Semua lancar tak ada hambatan suatu apa. Kaum ngobrol yang terdiri atas Irfan, Anggono, diriku, Mirza, Huda, Djomi, Hendra dan Aga larut dalam obrolan prediksi pertandingan nanti malam.

Jam menunjukan pukul 15.45, Irfan dan Hendra mulai bosan dengan obrlan kami yang mulai tak berarah. Memanfaatkan ketidakhadiran Nurullah abi, mereka berdua bergegas menuju asrama untuk mengambil kartu remi. Sementara itu Aku, Anggono Huda dan Mirza mulai bermain domino yang kebetulan disimpan di lemari kelas. Permainan berlangsung seru, ak jarang kami tertawa terbahak bahak mengejek Mirza yang selalu kalah dengan konyol.

Di tengah keasyikan kami, tiba tiba pintu kelas terbuka, tampaklah sosok pembina yang tidak kami kenal memasuki ruang kelas kami. Tanpa berkata apapun ia menghampiri tempat kaum ngobrol duduk. Gesturnya menyuruh kami untuk diam. Satu per satu dari kami ia tatap, mengancam akan kembali jika ribut lagi. Sosok baru berarti kewenangan nol, begitulah anggapan kami. Sambil tersenyum kami menganggukan kepala seolah mengindahkan permintaan pria yang belum kami ketahui namanya. Ia pergi dan kelas kembali tenang. Aga berdiri, menyatakan deklarasi perang terhadap pembina yang tak tahu adat tadi. "Siapa dia berani gitu?". "Udah Ga kita pelan pelan aja, kalo dia dateng lagi baru kita tantang!" kata Anggono.

Kaum ngobrol lanjut main kartu, kali ini dengan sedikit tenang tanpa tertawa terbahak bahak. Belum alam ini Irfan dan Hendra telah kembali bersama kartu reminya. Di tengah permainan kami yang seru, tiba-tiba pintu yang menghubungkan ruangan kami dengan ruang sebelah bergetar. Ada yang sengaja memukul dan kami sadar orang itu tak lain adalah pembina yang tak kami kenal tadi. "Oke kita udah agak tenang dia malah nantang. Ayo perang!" teriak Aga

Dengan sedikit paksaan akhirnya kami sekelas setuju perang. Kami melanjutkan main kartu dan sekali kali tertawa dengan keras. Belum ada sepuluh menit operasi perang berlangsung, sosok pembina itu kembali lagi dengan muka garangnya. Kami tak sedikit pun gentar. Kami justru menanti kedatangannya, ingin menatap langsung. Sosok pembina tadi benar benar marah. Dia akhirnya mengambil kartu kami. Dengan sedikit tipu muslihat kami berhasil menyembunyikan beberapa sisa. Kartu yang disetor ke tangannya hanya tiga per empat dari jumlah kartu. Ketika menyerahkan kertu, Anggono sengaja menjatuhkan beberap agar pembina tadi harus membungkukan badan tingginya ke kolong meja. Kami tertawa terpingkal pingkal sesaat setelah pembina tadi pergi dan melanjutkan misi perang.

Kali ini kami lebih ekstrim, memanfaatkan kenekatan Irfan, kami suruh ia menggedor pintu yang menghubungkan ruangan kami dan ruangan pembina tadi. Tak ada reaksi dari balik pintu sana. Karena tidak ada respons, kami meluncurkan beberapa kartu sisa tadi melalui celah kecil ke ruangan sebelah. Kami bisa memastikan kartu kartu itu akan beterbangan dan memancing emosi pembina tadi. Dugaan kami benar dan pembina itu pun kembali mengomel omel dalam bahasa Inggris. Jurus andalannya pun keluar, "I am going to tell Yavus abi".

Proses perang ini berlangsung terus menerus hingga etud selesai. Kami ribut pembina datang memarahi, kami diam kemudian pembina itu kembali ke kelasnya. Kami sangat menikmati dan jika dihitung mungkin sudah dua puluh kali proses ini berlangsung. Senang dan puas meskipun bisa dibilang "kurang ajar" tingkah kami!
Categories:

2 komentar: