Kamis, 23 Juni 2022
Senin, 15 November 2021
Sabtu, 12 Juni 2021
Tapi begitulah kehidupan, arusnya mengalir mengikuti celah celah batuan yang arahnya tidak menentu. Apakah ini sebuah kesalahan? ataukah aku dalam posisi merugi karena sekian tahun yang aku habiskan meneliti berbagai jenis air panas berakhir pada usaha kuliner khas Turki.
Apakah jika aku langsung mendapatkan pekerjaan yang sesuai ilmu, hidupku akan lebih baik karena model karir yg umum berlaku, ada keterkaitan antara apa yg dipelajari dan apa yg kemudian dikerjakan?
Aku tidak pernah tahu sampai mungkin beberapa waktu ke depan. Yang jelas pengamatan sejauh ini, nasibku tak sejalan petunjuk karir seorang geolog. Tetapi aku tak ingin ambil pusing, karena toh di antara kesibukanku mengadon pide, aku tetap bisa mempelajari berbagai data sampel air panas milik kementrian ESDM. Bahkan aku sempat menyiapkan proposal ke beberapa kabupaten dan kota mengenai cara-cara pemanfaatan sumber air panas ini selain untuk listrik.
Ya begitulah perkembangan kehidupan. Sampai saat ini, aku dan istri telah memanggang seribu pide. Mungkin beberapa ribu pide kemudian, nasib akan membawaku ke ribuan pide berikutnya, atau malah ke sumber sumber air panas yg belum diperdaya. Mungkin sampai saat itu, sebaiknya kulakukan keduanya.
Sabtu, 10 Juni 2017
Siapa yang tidak merasa simpati pada kawan yang punya prestasi namun keluarganya tidak sanggup membiayainya bersekolah. Beruntunglah mereka yang lahir dari keluarga mampu. Beruntung pula mereka yang tidak mampu lalu mendapat beasiswa atau santunan. Selama enam tahun menimba ilmu di Turki, saya banyak menjumpai teman-teman yang berasal dari keluarga pas-pasan. Mereka lalu mendapatkan beasiswa dari sebuah yayasan di sini. Namun nasib yayasan tersebut berakhir tragis pada tahun 2016. Mereka dipaksa tutup karena diduga ikut serta dalam usaha kudeta Negara Turki. Nasib teman-teman ini pun menjadi pertanyaan. Pilihan mereka saat itu hanya dua, pulang ke Indonesia dan menyarah, atau bertahan sampai ada bantuan dari pihak lain datang.
Rabu, 15 Juni 2016
Imajinasi kebebasan setelah aku tumbuh dewasa tidak seseru kebebasan yang aku tahu dahulu. Ketika masih kecil, aku sering membayangkan kebebasan adalah bisa terbang ke angkasa atau bisa berlari seharian di alam liar. Sekarang pikiranku mentok di bagaimana bisa senang-senang di waktu luang atau bisa berbicara seenaknya tanpa merusak perdamaian.
Senin, 25 April 2016
Tiga tahun setelah upacara kelulusan SMA, aku, Faiq dan Lindi masih rajin ngobrol dalam percakapan digital. Kami hanya bisa bertemu langsung setahun sekali karena keberadaan kampus kami bertiga yang terpisah samudra. Faiq dan Lindi sebenarnya sama-sama kuliah di UNDIP, jadi mereka masih bisa bertemu di Semarang. Hanya diriku saja yang jauh merantau ke Turki. Waktu itu aku sedang berada di tanah air dan sedang dalam perjalanan ke Semarang. Lawatanku tak akan berlangsung lama, hanya dua malam saja. Ibu tidak rela anak sulungnya lama-lama bermain di luar kota Purwokerto.
Karena jarang pergi ke Semarang, aku sangat berharap akan ada sambutan ramai dari teman-teman SMA yang ada di sana. Dengan harapan tinggi melalui grup angkatan, mereka semua kusapa.
"Guys kumpul yuk, aku ke Semarang sore ini" ketikku di grup angkatan
Sembari menunggu tanggapan dari grup, jemariku segera mencari nama Faiq
Gagas: ik jemput di alfamart jam 6 sore.
Faiq: alfamart Purwokerto?
Gagas: janc******k!!!
Faiq: alfamart mana nyet?
.....................................
Bus yang kunaiki menurunkanku dengan sopan tepat di depan alfamart terminal Banyumanik Semarang atas. Waktu menunjukan pukul 6.15 sore, senja sudah turun mengantar matahari pulang. Terminal tampak ramai dipadati ratusan pegawai yang berusaha pulang. Lampu jalanan dan warung-warung satu per satu menyala. Meski redup, sinar mereka sudah cukup menerangi tempat pemberhentian angkutan umum itu.
Dari kejauhan nampak sesosok pemuda di atas jok motor yang sudah hampir setahun tak kujumpai. Dia terlihat sedang menelpon seseorang, dan tepat saat itu juga teleponku berbunyi. Aku sengaja mendiamkan untuk memberi kejutan.
"Heh janc****k!" Seruku menepuk punggungnya.
Tanpa disangka sosok itu membalikan badan dan memberi jawaban. Tubuhku terlempar jauh menerima kepalannya. Sambil membenarkan diri mencoba berdiri, aku tersadar kalau telepon genggam yang masih erat di tanganku masih menyala menunjukan tanda telepon masuk dan nama Faiq. Sial!
"Yang bener mas kalau manggil-manggil! Jancuk bathukmu!"
"Maaf mas saya kira anu..."
"Gak tau saya siapa sampeyan!!!"
"Ngapurane lah ya mas, sori banget!"
"Gas...!" panggil seseorang dengan sepeda motor lain dari jauh.
Aku segera berpaling dari mas di atas motor itu dan bergegas
Menghampiri Faiq yang asli.
"Heh celeng, punya hape tuh diliat! ada telepon diangkat! Kamu kira aku dukun bisa nyari kamu di terminal gelap-gelap gini?"
"Lah percuma kalau aku angkat ntar kamu tutup"
"Eh kurang ajar ya, aku wis rajin beli pulsa sekarang, banyak yang harus dihubungi"
"Yo semoga ada yang cepet mau"
"Celeng...!"
Faiq segera membawaku menyusuri keramaian jalan provinsi yang mengiris daerah Semarang atas jadi dua. Kanan kawasan mahasiswa dan kiri pemukiman warga. Tujuan kami pertama adalah warung nasi kucing. Kami belum makan malam, dan ingin menghemat untuk kegiatan esok. Setelah selesai makan, kami beranjak ke kosan Faiq. Dari sana kami akan menghubungi kawan SMA yang lain.
.............................
"Gas gak ada yang bisa kalau kamu ajak naik ginung sekarang. Cuma Lindi aja."
"Lah kan udah dikabarin dari tadi siang pas aku masih di bus. Ini udah jam 8 malam"
"Kamu tadi cuma ngajak kumpul, bukan naik gunung!"
"Lindi mau naik ke gunung Ungaran?"
"Iya dia mau, tapi masa cuma bertiga?
"Malah seru cuk, cuma bertiga menaklukan gunung Ungaran, biar yang gak mau ikut pada rugi sendiri..."
"Menaklukan ndasmu, itu cuma gunung pendek."
"Iyoo mas pendaki yang sudah menaklukan gunung Arjuna"
"Dasar celeng, makannya yang masuk akal kalau ngajak-ngajak. Kan kalau gini kita gak jadi kumpul rame!"
"Yo... besok pas turun gunung kita kumpul sama yang lain"
Tak lama kemudian Lindi datang dengan mobil suzuki splashnya.
"Gagas....! Ih parah, lama banget kita gak ketemu, udah setahun!"
"Baru setahun liiiin.." jawabku dengan nafas sesak
Lindi memelukku sangat erat. Dia sangat ekspresif sejak SMA dulu. Perasaan apapun, entah amarah maupun rindu selalu keluar dari gerak tubuhnya. Ia tak sungkan untuk berteriak marah-marah jika emosinya tersulut. Seingatku, ia pernah memarahi satpam asrama SMA karena terlalu bertele-tele menanyakan dari mana saja ia sampai larut malam. Pak satpam yang tadinya menyelidiki lalu keok tak kuat meladeni teriakan Lindi.
Kami kemudian berkemas-kemas dan berangkat ke gunung Ungaran jam 10 malam. Tujuan pertama adalah pos pendakian di lereng selatan gunung Ungaran. Suzuki splash milik Lindi melaju mantap mengarungi tanjakan lereng gunung Ungaran. Malam itu Lindi mempercayakan kemudi padaku. Ia lelah karena sudah seharian mengemudi. Lindi adalah supir yang mahir dengan koleksi jam terbang tinggi. Mobil itu sendiri sudah dua tahun berada dibawah komandonya. Selama itu, baru dua kali dia menabrak. Satu di dalam garasinya, dua di pekarangan pondok pesantren milik tantenya.
...........................
Setelah selesai urusan administrasi dengan pihak pengelola taman nasional, kami berkumpul untuk berdoa dan menentukan ketua rombongan. Faiq mendapat kehormatan malam itu. Selama 7 jam mendaki nanti, ia akan berada di depan memimpin rombongan. Kami berangkat dari titik 1100 mdpl, dan akan berjalan menuju ke puncak yang berada pada kisaran ketinggian 2050 mdpl. Kami mulai pendakian pada pukul 11 malam dan diperkirakan akan sampai subuh nanti.
Udara dingin malam itu sempat mengecilkan nyali kami. Namun setelah satu jam berjalan, badan kami mulai berkeringat. Panas yang timbul berhasil mengusir kedinginan yang ada. Di dua jam pertama, kami berjalan menyusuri deretan pepohonan tinggi yang gelap. Kami hanya dibantu oleh tiga buah senter kepala dan tongkat. Di sebelah kanan adalah jurang dalam dan di sisi lain adalah pepohonan lebat.
Selama dua jam yang gelap itu, hanya terdengar suara angin dan derap langkah kami. Kondisi ini sudah cukup membahagiakan, karena jika ada suara lain kami pasti akan segera memutar arah pendakian. Di antara kesunyian itu, sebuah percakapan kecil terjadi di antara kami.
"Gelap, sepi! Eh Lin, kalau jatuh ke kanan gimana ya?"
"Diem gas, aku pukul pake tongkat nih!aneh-aneh aja sih" ancam Lindi kesal
"Ya ya. Ngomong-ngomong ada setan gak ya di ...."
"Diem nyet, jangan keterlaluan di alam!" Teriak Faiq penuh penekanan.
"Njih mas pendaki gunung Arjuna.. eh ada suara! Sssssst, diem sebentar semua.. coba kalian denger!" Desakku
Kami semua berhenti sejenak, mengamati sekitar. Tidak ada bunyi selain teriakan jangkrik yang bersautan. Tak lama setelah diam, tongkat Lindi terbang mengarah ke tanganku.
"Aduh, sakit Lindi!"
"Gaaaaaaas!!! Bauuuuk!!!"
"Bajinguk, bocah ngentutan." Teriak Faiq.
"Hehe, tak kira suara apa tadi"
.................
Setelah dua jam berada di hutan gelap, kami memasuki kawasan kebun teh yang relatif lebih terang. Di sini, langit memamerkan ratusan bintang. Melengkapi kemeriahan langit, bulan turut datang di atas sana. Jam menunjukan pukul 01.30. Sudah dua setengah jam sejak mengawali pendakian. Kami mengambil istirahat sejenak sambil menikmati suguhan alam yang jarang terjadi.
"Makasih ya gaes udah mau aku ajak ke sini"
"Sama sama Gas, aku juga seneng bisa ndaki beneran" jawab Lindi.
Faiq hanya diam, ia tidak terbiasa dengan percakapan melankolis yang aku buka. Tapi dalam diamnya, matanya terbuka melihat langit. Mungkin ia teringat akan seorang gadis yang pernah hadir di hatinya dulu.
"Udah ik, masih ada yang lain" sautku.
"Diem celeng, ini aku sedang mencoba menikmati langit! Ini bagian paling indah dari pendakian"
"Injih, mas pendaki gunung Arjuna"
Tangan Faiq segera bergerak mencari batu kerikil untuk dilempar. Gerakannya penuh perhitungan. Benda kecil itu dalam hitungan detik sampai mengenai kepalaku.
"Ah KDRT nih kalian, tadi dipukul tongkat sekarang kerikil" kataku
"Nih satu lagi...!"
"Eh ampun ampun ik"
"Hahaha, udah Gas. Faiq jangan diganggu kalau lagi galau" kata Lindi.
"Iya iya lin, kamu masih kuat kan jalan?"
"Hmmmm, sebenernya aku punya penyakit gas."
"APA? Kenapa gak bilang dari tadi. Penyakit apa?" saut Faiq yang juga mewakili pikiranku.
"Aku kalau dingin cepet pengin ke belakang"
"LINDII! aku kira penyakit serius." Jawab Faiq lega
"Iya ini serius Faiq..."
Hahaha
..........................
Jam menunjukan pukul 5.30 dan kami akhirnya sampai di puncak. Matahari muncul menyambut kedatangan kami di atas. Sinar jingga menerpa kami dan puluhan pendaki lain yang tiba sebelumnya. Kota Semarang nampak kecil dari kejauhan. Hamparan bangunan terlihat luas, menutupi hijau alam sekitar. Jalan setapak yang kami tempuh semalaman tampak kecil membentuk garis tidak beraturan. Melengkapi pemandangan itu berjejer awan putih beterbangan. Mereka bergerak pelan ke utara menuju kota Semarang.
Kami bertiga duduk terdiam menahan sakit kaki. Tujuh jam berjalan tanpa benar-benar berhenti memaksa kami untuk diam cukup lama di sana. Meski lelah, pemandangan indah dan kebersamaan itu lunas mengganjar semua keletihan.
"Gaes, kita harus lakuin ini lagi suatu hari nanti"
"Siiiiip deh, yuk kita foto dulu..."
Jumat, 20 Maret 2015
![]() |
Bandara Lombok malam hari (dari gembolransel.com) |
Gabriel dan Garcia melambaikan tangan. Mereka telah dijemput seseorang, meninggalkanku sendiri di antara kerumunan pelataran bandara. Kami baru saja berkenalan di bangku pesawat terbang tadi. Kami duduk bersebelahan sejak memulai perjalanan dari Yogyakarta. Mereka pasangan muda dari Spanyol yang sedang melancong, menikmati sebagian keindahan Indonesia. Saat masih di udara mereka bercerita tentang perjalanan mereka selama lima hari di Jakarta dan lima hari lainnya di Yogyakarta. Kata mereka Indonesia bagus dan murah, sangat cocok untuk dijadikan tujuan liburan. Selain itu orangnya ramah-ramah dan selalu sumringah ketika melihat mereka. Ini membuat liburan mereka lebih indah, karena di tempat asal sana, mereka hanyalah penduduk biasa. Tiada pernah didapat oleh mereka perhatian sedemikian rupa.
Betapa senangnya mereka, yang terbiasa hidup mahal lalu menemukan Indonesia. Ah Indonesia, negeri indah nan jauh di timur sana. Tak hanya murah, matahari pun bersinar indah tanpa lelah. Kalau orang Jepang menyebut negara mereka tempat terbitnya matahari, maka Indonesia adalah tempat nongkrongnya matahari. Sepanjang tahunnya mentari tak banyak pindah dari garis edarnya. Dipandangnya Indonesia tepat di muka, dan hanya sedikit tolehnya, yaitu pada permulaan dan pertengahan jalan edarnya.
Malam itu lambaian tangan kami mengakhiri pertemanan yang baru terjalin di pesawat tadi. Setelah ini, sangat mustahil kami kembali bersua. Alangkah bahagianya dua sejoli itu, menikmati sisa liburan mereka di pesisir pantai pulau terbarat Nusa Tenggara. Semoga Lombok bisa menutup akhir cerita indah mereka. Sebelum rutinitas mereka kembali menelan tawa, yang telah terbangun sejak di Jakarta hingga esok lusa. Kata mereka hati-hati, dan semoga kita bertemu lagi.
Senyum mereka hilang, ditelan pulau Lombok malam-malam. Inilah salah satu indah perjalanan, kita akan dihadapkan beberapa pertemanan instan. Meski tak lama, pertemanan macam ini tetap membekas. Ia kelak akan menjadi bahan cerita pada sanak famili atau pada kekasih hati. Cerita pertemanan singkat tadi akan ikut memberi warna, pada kehidupan kita yang mulai tak punya nuansa. Biarkan ia menambahkan sedikit arti, pada corak kehidupan yang kini lebih banyak diwarnai berburu harta, berjualan tahta dan hura hura.
Di antara kerumunan tadi tiada pos ojek kudapati. Pikirku, di bandara selain Sukarno-Hatta akan ada banyak tawaran ojek menanti. Rupanya aku salah asumsi, karena Lombok telah naik kelas alias go international. Tiada lagi ojek punya nyali, menawari jasa antar jemput sana sini. Yang ada hanya taksi, dengan tarif lumayan tinggi. Tak lama setelah hilang bayangan dua sejoli tadi datanglah bapak Surdi. Seorang bapak yang mulai bertanya hendak ke mana malam-malam begini.
"Saya mau ke Sembalun Pak, ingin menengok gunung Rinjani"
"Wah Sembalun jauh, tidak ada siapa pun yang ke sana, apalagi sudah jam segini"
"Baik Pak, biarkan saya menanti, siapa tahu akan ada orang lain yang mau ke Rinjani"
Satu jam setelah jawaban tadi, tiada seorang pun yang mau ke sana. Sementara itu jam telah menunjuk angka 21.40 WITA. Pak Surdi yang sedari tadi masih mengamati akhirnya datang lagi menghampiri.
"Kalau sudah jam segini, tidak ada lagi orang ke Sembalun"
Maka mulailah kami tawar-menawar. Pak Surdi terlalu tinggi menetapkan harga padahal diri ini hanya seorang mahasiswa. Meski berlangsung alot, akhirnya aku mengangguk mau karena sudah tak mungkin lagi Pak Surdi diajak negosisasi. Ia pun sudah paham, siapa yang sebenarnya lebih membutuhkan.
Segera kami berangkat ke Sembalun. Kata Pak Surdi perjalanan akan memakan waktu dua setengah jam. Ada yang aneh dengan Pak Surdi ketika duduk dalam kemudi. Ia mengemudi tidak seperti laki-laki. Kaki kananya terlalu dalam menempel pedal gas, sementara kaki kirinya terlalu kasar memindah gigi percepatan. Mengetahui ini segeralah aku minta berhenti. Saat itu di samping jalan ada warung makan remang-remang. Kami berhenti sejenak untuk bersantap gorengan ayam. Saat makan kecurigaanku menemui jawaban. Benarlah kegugupan Pak Surdi, beliau belum genap satu tahun memulai profesi ini.
"Hahaha, Bapak ini, yaudah kalau gitu biar saya saja yang mengemudi"
Tawaku bersautan, dikatakannya "iya" dan "tidak apa apa mas". Awalnya ia sedikit malu, karena seharusnya bersama ialah mobil berpacu. Namun malam itu keselamatan kami lebih penting, karena jalan ke Sembalun akan menanjak dan berkelok. Belum lagi kabut pegunungan, yang dengan mudah dapat menghilangkan penglihatan. Ini akan sangat berbahaya jika yang mengemudi belum banyak mengoleksi jam terbang.
Tak lama kami menjadi akrab bersama sedikit kepulan asap. Rupanya Pak Surdi pernah tiga tahun merantau ke negeri Jiran. Ia lebih fasih berbahasa melayu dari pada berbahasa Indonesia. Anaknya dua, satu SD satu SMA dan sangat disayangnya. Kami bertukar cerita di tengah gelap jalanan malam. Menertawai kehidupan, merindukan cerita lama dan saling bertanya pada masa depan. Ini merupakan pertemanan instan kedua sejak meninggalkan Yogyakarta sore tadi.
Pukul 00.00 sampailah kami di kawasan taman nasional Gunung Rinjani. Kami disambut lebat pepohonan dna kabut pegunungan. Sesekali monyet lompat menyeberangi muka jalanan yang nampak basah tersentuh embun. Celoteh kami berkurang, karena baik pengemudi dan penumpang kini harus mulai lebih waspada.
Medan jalan yang naik dan berliku serta kehadiran mobil dari arah berlawanan menguji kemampuan mengemudi. Pada beberapa kesempatan, aku harus menekan gas pelan-pelan karena kabut pekat. Hanya putih terlihat dan jarak pandang tertutup hampir rapat. Jika teledor sedikit saja, masuk jurang jadi taruhan. Kami beruntung karena setengah jam kemudian kami sampai di Sembalun Lawang. Indah betul malam di Sembalun Lawang dengan ramai kerumunan bintang. Aku belum pernah menemui kerumunan bintang seramai di sana. Di tambah lagi megah pantulan bulan, yang putih memancar bersinar.
Tak lama setelah gerbang desa tibalah kami di Pos Pengawasan Gunung Api Rinjani. Di sana kami disambut oleh Pak Yuli yang kebetulan bertugas malam itu. Sembari mengemas barang-barang, aku dan Pak Surdi bercakap-cakap untuk terakhir kali.
"Tidak pernah ada malam penuh bintang seperti ini di pulau Jawa Pak Surdi'
"Mungkin mas tinggal di kota"
"Ini seperti mimpi Pak Surdi, saya kira mustahil ada pemandangan seperti ini di Lombok"
"Memang bagus mas, belum banyak lampu di sini."
"Pak Surdi ikutlah menginap malam ini, berbahaya sendirian ke Mataram"
"Tidak apa mas, saya rindu anak istri"
Begitulah tutur Pak Surdi menolak tawaranku. Baginya kerumunan bintang malam itu tak lebih indah dari senyum keluarganya di Mataram. Di situ pertemananku dengan Pak Surdi berakhir. Seperti pertemanan instan sebelumya, ia tak awet dan hanya berlangung sebentar. Namun pertemanan itu tetap memberi warna, pada corak kehidupan yang mulai kehilangan nuansa.
bersambung.....................
Pemandangan malam di Sembalun Lawang, Lombok |
Kamis, 18 Desember 2014
Roi dalam duduknya di kereta |
Roi memang melakukan perjalanan ini untuk memenuhi saran si orang lokal tadi. Tapi ia tak ingin sekedar menghilangkan sesal. Ia harus pergi dan membawa pulang sesuatu. Roi adalah seorang pengelana yang telah berkali-kali melakukan perjalanan. Sebuah perjalanan baginya tak sebatas sampai tujuan atau gambar-gambar momen yang terabadikan. Bagi Roi perjalanan haruslah memberi kesan kepada kelima indera miliknya. Selain itu, perjalanan juga harus memberinya ilmu sebagaimana buku memberi ilmu pada pembaca. Dan yang paling penting, perjalanan harus ekonomis karena Roi bagaimana pun adalah seorang pelajar.
Selasa, 01 April 2014
So before I got to a barber, I made an unusual pre-selection. I wanted to cut my hair with a unique barber that had to both look and work different. It might not be a very big deal, but I wanted my return to the barber, memorable. Haha
Anyway, I turned my steps towards the main street. There I had my pre-selection started. You have to know that there so many barbers in Turkey. Unlike most Indonesian, hair growth here is pretty fertile, just like many other countries in Europe.
People here don't only have their hair cut, they also have their face shaved in the barber. So this bussiness are always around to meet people's demand.
After a while I started to feel hopeless cause as I walked farther, there was no sign of a barber that met my qualifiation. Thus I decided to simplify my criteria. From then on, I would get into any barber who is either bald or long haired.
Not long after my wish was granted. There was this bald guy, who came out of his shop and greeted me. I was not very sure about him but, as he was bald, I decided that he was the barber.
So I went into his shop and immediately sat in front of the mirror. We talked for a while. He was thirty eight, married with two children. He thought I was of Chinese origin. He said that my eyes were really small, similar to those who played kung fu in the movies.
His comment was really hillarious. Explaining would not correct him anyway, so I decided to enjoy his joke.
I showed him a photo, and was expecting him to immitate the style the picture had. At first he shooked his head, approving my wish. But then as he cut through, my hair was only getting shorter. It didn't turned into the model I had desired.
Then on he finished up his job. He asked me of my satisfaction with his job. I had actually wanted to complain. But what had been cut could never return back to mu head. Thus I smiled and told him that it was great.
I paid the fee and went back. The haircut wasn't really bad though. It was just not as what I had expected. While walking, I rubbed my head, trying to convinced the world.
"This is my new hair man!" haha
Jumat, 22 November 2013
Kamis, 14 November 2013
![]() |
Padang tandus di luar Ankara |
Minggu, 06 Oktober 2013
I took a small slurp from a cup of hot chocolate that I had just bought from the vending machine outside our university's library. It was 8.20 in the morning and both the library and the canteens were not yet to be opened. My body was no longer able to tolerate that morning's cold weather. I couldn't resist my crave on that hot drink. I saw no more hope in waitıng for the canteen to open. So there I was enjoying every slurp of the liquid that I managed to take by exchanging my coins.
"Slurrrrpppppp"
Winter was supposed to be nowhere near October but the weather that morning frosted me thoroughly. The frost didn't just stop by my skin, it also went some inches through my flesh, touching some parts of my bones. That frost stayed quite a while, from the moment I jumped off the bus till the moment I got my first slurp on the hıt chocolate.
"Slurrrrpppppp"
My friend had told me about how that weather would be and I was also aware of it. I covered myself better than how I did in the previous days, three layers at the top and two at the bottom. And still they had not served me as a propper cover yet. I should have worn clothes as thick as I would worn myself on winter.
"Slurrrrpppppp"
Then again it was still the beggining of October and that kind of coldness wouldn't be expected by most people. Espescially for someone coming from the warm and sunny tropical countries. We don't face much change in our daily weather. There would only be predictions of sunny, rainy and some stormy weather in our weathering forecast. How nice....
"Slurrrrpppppp"
However, as I thought more of the tropical weather back in my country, it actually brings some disadvantages. The warm weather don't just make us move slower/lazier, it also brings madness to the traffic. But again cold is not always about the good things, although we all know most developed countries do not lie inside tropical climate zone.
"Slurrrrpppppp"
Anyway, I would in all condition preffer the tropical climate upon others simply because "I WAS FREEZING THAT MOMENT". I would be wearing a t-shirt to school and I wouldn't have to continously rub my palms to warm my hands. Besides, the disadvantages I mentioned earlier are not objects to be avoided, they are just challenges that are waiting to be answered. And we as youngsters are the ones responsible for answering them. So will be able to face and answer those challenges young Indonesians...?
"Slrrrrrr..........."
"Slrrrrrr..........."
"Slll................."
"Sss................"
The last drops of my hot chocolate just went inside my mouth. I felt a little sad for some moments because my warm companion only accompanied me a few minutes. Fortunately, not long after a person opened the library door. I stood from my seat and immediately rushed in, bringing the used hot chocolate cup with me. It was such a relief entering the warm and bright main hall. Before I went to the chairs, I threw the cup inside the provided rubbish bin. Only then I took a seat and started opening my course books. What a cold morning I must have admitted.
Minggu, 16 Juni 2013
Senin, 13 Mei 2013
Senin, 11 Februari 2013
![]() |
The First Session |
Minggu, 30 Desember 2012
![]() |
Aswin adalah orang aneh yang berdiri paling kanan |
Minggu, 28 Oktober 2012
Idhul Adha kemarin saya berkesempatan mengunjungi kota Hatay atau lebih sering disebut "Antakya". Hatay terletak 496km tenggara Ankara. Saya diundang ke sana oleh seorang kawan bernama Emin. Ia berasal dari desa Erzin Provinsi Hatay. Provinsi ini dulunya merupakan daerah jajahan Prancis yang kemudian bergabung dengan Republik Turki. Sejarah kota Hatay kembali ke abad abad sebelum masehi (bisa dicari di internet). Kebetulan Ayah kawanku ini berasal dari daerah perbatasan yaitu Reyhanli.Konflik Turki Suriah yang sedang hangat di media membuat saya jadi penasaran sebenarnya ada apa di sana.
Sudut kota Hatay |
Tiga anak Suriah |
Rasa penasaran akan wajah-wajah pengungsi menemui ekspektasi ketika secara tak disangka tiga anak Suriah mampir ke rumah paman Emin yang sedang kami kunjungi. Dengan berbekal bahasa arab secuil kami bertanya tanya tentang nama, kabar dan sekolah mereka. Mereka untuk sementara tidak bisa bersekolah sampai konflik usai. Kami betiga hanya bisa berdoa semoga lekas selesai konflik di negeri itu. Kasian lah jika anak anak ini harus berhenti sekolah terus
Kamis, 19 Juli 2012
Hari itu saya dan beberapa kawan pergi ke Makro. Tempat yang lumayan happening di Kirikkale, kota kecil di tengah dataran Anatolia dengan 200.000 penduduknya. Makro merupakan pusat perbelanjaan terbesar kedua di kota ini. Kami baru saja menonton Buz Devri 4 ( atau Ice Age 4). Filmnya lumayan, lumayan membosankan.
Setelah menonton kami pergi ke bawah mencari es krim. Sambil menjilat kami duduk santai mengamati sekitar. Semua kami amati dari mobil berjalan hingga gadis berjalan. Seiring dengan datangnya bosan percakapan kecil bermunculan.