Tampilkan postingan dengan label KISAH RANTAU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KISAH RANTAU. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Juni 2022

Becoming a mother, my wife sacrifices a lot.
She has to watch her body change, has to breast feed 24/7 for at least two years, has to postpone her career as a dentist, and has to spend most of her time at home. 

Becoming a mother, my wife is growing a lot. She's doing all the essential things for our daughter like making nutritious food, teaching her to play, telling her stories of the world, and making sure our little one is healthy.

By becoming a mother, my wife gets a little help from me. I change Maryam's diaper whenever I am home, watch over Maryam so her mother can sleep, help feed Maryam ocasionally, and buy evening snack for her to enjoy.

By becoming a mother, my wife is becoming a superwoman. She's cleaning all of Maryam's clothes and eating utensils, reading hundreds of article on children growth, watching tens of parenting videos, and still trying her best to entertain her mother.

Since becoming a mother, my wife earns a lot of respect. Relatives and in laws pay more attention on her words, friends greet her whenever she post parenting tips, I follow her order on anything related to Maryam, and most importantly, she values herself even more.

Since becoming a mother, my wife is having a roller coaster ride. She's busy raising Maryam while hoping her career to kickstart soon, managing our family budget while planning for a next roadtrip, supporting my mobile work while dreaming for a permanent residence, and keeping her faith in Allah while expressing her anger at hard times.

My wife becoming a mother, is indeed one remarkable personal transformation. And I am a proud and honored husband to have witness it firsthand.

Senin, 15 November 2021

Aku memandangi lautan bersama segenap kenangan tentangmu sahabat.
Betapa besar samudra ini, begitu berisik penuh riuh ombak. 

Garis horison hanyalah keterbatasan indera manusia memandang. 
Luasnya laut di depanku masih terhampar ribuan kilometer melampaui garis semu itu. Tak berujung, saling tersambung ke seluruh penjuru dunia.

Betapa tak berdaya manusia di hadapan lautan. 
Betapa kecil kehidupan kita di hadapan dunia ini. 
Bahkan batuan di tepi pantai lebih banyak meninggalkan jejak daripada kita, karena telah bertahan dihempas ombak jutaan tahun lamanya.

Manusia lahir dan meninggal tanpa banyak meninggalkan jejak. 
Kita hanya mampir 60 atau 70 tahun saja di dunia, lalu kembali ke liang lahat menjadi setumpuk tanah. 

Hanya piramida dan beberapa runtuhan peradaban kuno yg sanggup bertahan. 
Itu pun hanya dalam hitungan ribuan tahun. Sisanya lenyap dimakan zaman. 
Hilang ditelan alam.

Karena manusia mengerti bahwa mustahil untuk bisa bersaing dengan ketangguhan alam, nenek moyang kita mengajarkan kita untuk berkisah. 
Kita selalu mendengar kisah nabi Adam dan Nuh namun peninggalan tertua manusia hanya sebatas bangunan Piramida dan runtuhan desa catalhoyuk.

Maka dari itu, izinkanlah aku mengabadikanmu dalam kisah ini. Supaya kenangan tentangmu tetap diingat. 

Sahabatku yang telah pergi masih ingatkah pengalaman kita di depan lautan lima tahun lalu. 
Di tepi pantai Wediombo, takjub kepada megahnya pantai selatan pulau Jawa. 
Kita bertiga, aku, kamu dan faiq. Berkemah di pinggir pantai malam-malam. Walaupun tak sempat menyaksikan senja, pengalaman kemah itu akan selalu berkesan.

Setelah tiga jam lebih mencari lokasi kemah, kita tiba pukul 11 malam. Meski lelah obrolan malam itu harus tetap ada. Karena inti dari berkemah adalah berbagi kisah. Tak ada api unggun, hanya kompor kecil milik Faiq yg menemani malam kita. Menyantap mie rebus lalu dilanjutkan obrolan ringan. 

Betapa hangat malam itu, tiga orang sahabat berbagi keluh kesah, lalu saling tertawa akan masa masa SMA yg belum lama, kemudian bertukar asa akan masa depan. Aku yg masih melanjutkan studi, Faiq yg akan pergi ke kota baru, dan kau yg akan menikah. 

Terima kasih Lindi, karena meski hanya melalui beberapa event waktu SMA, dan empat pertemuan saat kuliah, persahabatan kita akan kekal dalam kisah-kisah yg akan kusampaikan pada anak cucu kita kelak, melalui garis keturunan kita masing masing. Sampai jumpa di lain kesempatan, semoga pertemuan berikutnya akan kekal

Sabtu, 12 Juni 2021

Siapa yang menyangka kalau sepuluh tahun setelah lulus SMA, aku akan berada di Bandung dan menjalankan usaha kuliner khas Turki. Mungkin ini sangat jauh dari ekspektasi para kerabat karena setelah menimba ilmu geologi dari negara yang jauh, seharusnya aku sedang berada di area-area tambang di Kalimantan atau Sulawesi. Atau seharusny, aku sedang mengajar mata kuliah geokimia di ruang-ruang zoom. 

Tapi begitulah kehidupan, arusnya mengalir mengikuti celah celah batuan yang arahnya tidak menentu. Apakah ini sebuah kesalahan? ataukah aku dalam posisi merugi karena sekian tahun yang aku habiskan meneliti berbagai jenis air panas berakhir pada usaha kuliner khas Turki. 

Apakah jika aku langsung mendapatkan pekerjaan yang sesuai ilmu, hidupku akan lebih baik karena model karir yg umum berlaku, ada keterkaitan antara apa yg dipelajari dan apa yg kemudian dikerjakan? 

Aku tidak pernah tahu sampai mungkin beberapa waktu ke depan. Yang jelas pengamatan sejauh ini, nasibku tak sejalan petunjuk karir seorang geolog. Tetapi aku tak ingin ambil pusing, karena toh di antara kesibukanku mengadon pide, aku tetap bisa mempelajari berbagai data sampel air panas milik kementrian ESDM. Bahkan aku sempat menyiapkan proposal ke beberapa kabupaten dan kota mengenai cara-cara pemanfaatan sumber air panas ini selain untuk listrik.

Ya begitulah perkembangan kehidupan. Sampai saat ini, aku dan istri telah memanggang seribu pide. Mungkin beberapa ribu pide kemudian, nasib akan membawaku ke ribuan pide berikutnya, atau malah ke sumber sumber air panas yg belum diperdaya. Mungkin sampai saat itu, sebaiknya kulakukan keduanya.

Sabtu, 10 Juni 2017


Siapa yang tidak merasa simpati pada kawan yang punya prestasi namun keluarganya tidak sanggup membiayainya bersekolah. Beruntunglah mereka yang lahir dari keluarga mampu. Beruntung pula mereka yang tidak mampu lalu mendapat beasiswa atau santunan. Selama enam tahun menimba ilmu di Turki, saya banyak menjumpai teman-teman yang berasal dari keluarga pas-pasan. Mereka lalu mendapatkan beasiswa dari sebuah yayasan di sini. Namun nasib yayasan tersebut berakhir tragis pada tahun 2016. Mereka dipaksa tutup karena diduga ikut serta dalam usaha kudeta Negara Turki. Nasib teman-teman ini pun menjadi pertanyaan. Pilihan mereka saat itu hanya dua, pulang ke Indonesia dan menyarah, atau bertahan sampai ada bantuan dari pihak lain datang.

Situasi ini untungnya tidak berlangsung lama. Hanya dua bulan pasca kejadian ditutupnya yayasan itu, pemerintah Indonesia bertindak tanggap dengan memberikan bantuan pada para mahasiswa yang menerima nasib malang di Turki. Tak tanggung-tanggung, bantuan ini meliputi uang sekolah, uang saku dan juga uang akomodasi selama satu semester. Wajah muram mahasiswa yang terputus beasiswanya kembali ceria. Mereka bahagia karena kesempatan menyelesaikan pendidikan di negeri seribu menara ini belum sirna. Sebenarnya ada sekitar 500 orang mahasiwa yang punya afiliasi dengan yayasan terduga itu. Namun karena dana yang ada hanya diperuntukan bagi mereka yang kurang mampu, maka diadaan pendataan supaya hanya yang benar-benar kurang mampu saja yang mendapatkan bantuan tersebut.

Setelah proses pendataan ketat, akhirnya sekitar 250 mahasiswa menerima bantuan ini. Meskipun dapat dikatakan sukses menyelesaikan masalah, ada beberapa hal yang menjadi ganjalan. Usut punya usut, dari sekian banyak mahasiswa yang menerima dana ini, ternyata ada beberapa di antara mereka yang terindikasi berasal dari keluarga mampu secara finansial. Tentu saja hal ini dianggap wajar, karena parameter seleksi data yang ada, disiapkan dalam jangka waktu yang pendek. Sebagai mahasiwa yang ikut memantau proses seleksi ini, saya juga menganggap maklum. Sebagai bentuk tanggung jawab, pihak penyebar dana bantuan itu menyatakan komitmen jika semester yang akan datang ketika bantuan dating lagi, akan diadakan pendataan yang lebih merinci.

Meski sengketa bantuan “salah sasaran” sudah mencapai titik damai. Ternyata ada oknum penerima beasiswa yang berulah. Salah tiga dari beberapa orang mampu penerima bantuan ini, memutuskan untuk jalan-jalan keluar negeri. Dan destinasi mereka tidak main-main, negara-negara Eropa barat yang terkenal mahal. Parameter seleksi penerima dana bantuan yang kurang akurat dapat dimaafkan karena waktu yang terbatas. Namun kelakuan beberapa oknum ini tidak bisa dimaafkan dan telah membuat keruh susasana. Hal ini bertambah parah karena mereka mempublikasikan perjalanan itu melalui unggahan-unggahan foto di berbagai media sosial. Potret kebahagiaan mereka yang dilatar belakangi pemandangan kota antik ala Eropa barat tersebar luas di jaringan internet.

Kelakuan ini membuat orang heran akan tingkat kepekaan mereka terhadap asal-usul dana bantuan tersebut. Karena jika mengingat bahwa dana itu berasal dari pendapatan pajak negara, maka mereka sebenarnya bertanggung jawab pada ratusan juta pembayar pajak ini.  Bayangkan apa yang akan dikatakan masyarakat jika uang hasil dari jerih payah lintas golongan rakyat Indonesia digunakan untuk jalan-jalan ke Eropa barat. Golongan ini meliputi rakyat yang mempunyai penghasilan lima jutaan per hari sampai mereka yang punya gaji ratusan juta. Tentu ini masih belum parah jika dibandingkan dengan kelakuan anggota DPR yang sesuka hati melakukan studi banding ke luar negeri dengan fasilitas kelas satu menggunakan uang rakyat. Namun sikap foya-foya yang dilakukan oknum penerima dana bantuan ini yang tanpa memikirkan asal muasal uang itu adalah awal ideal kebiasaan korupsi kelas anggota DPR. Kalau sikap ini dibiarkan tanpa kritik keras, ia akan menjadi kebiasaan yang dianggap benar.

Jika ketidakbenaran aksi mereka jalan-jalan masih dipertanyakan, mari kita diskusikan lebih lanjut di sini. Pertama: jalan-jalan adalah bentuk kebutuhan yang bersifat tersier. Yaitu seseorang akan melakukannya jika telah memenuhi kebutuhan dasar dan sekunder seperti sandang, pangan, papan dan biaya sekolah. Kemampuan finansial seseorang diukur dari bagaimana mereka mampu memenuhi berbagai hierarki kebutuhan ini. Orang tidak mampu adalah mereka yang bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Orang yang kurang mampu ada di hierarki berikutnya yaitu mereka yang telah memenuhi kebutuhan dasar, namun belum bisa memenuhi kebutuhan sekunder seperti sekolah, kendaraan dan kesehatan. Hierarki ini berlanjut terus, berjalan seiring kemampuan ekonomi seseorang. Semakin mampu, maka ia akan bisa mencukupi kebutuhan dasar, sekunder, tersier dan seterusnya. Kembali pada pembahasan utama topik tulisan ini yaitu dana bantuan yang diberikan pemerintah RI pada sejumlah mahasiswa di Turki. Dana ini sebenarnya ditujukan pada mahasiswa yang kurang mampu. Dengan kata lain, dana itu diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan sekunder. Jadi jika uang ini digunakan untuk keperluan tersier seperti jalan-jalan, maka telah terjadi kesalahan penggunaan. Apalagi jika jalan-jalan ke Eropa barat.

Tentu akan muncul sebuah argumen pembelaan, bahwa kita tidak pernah tahu apakah yang terpakai itu adalah uang dana bantuan, ataukah uang dari keluarga sendiri. Alasan ini memang benar adanya, namun seorang mahasiswa yang “kuliah di luar negeri” harusnya bisa memikirkan etika dalam menggunakan dana ini. Jika keluarga para oknum ini memang mampu memberi uang ekstra untuk jalan-jalan keluar negeri “eropa barat”, lalu kenapa mereka berani mendefinisikan diri sendiri sebagai kalangan kurang mampu yang layak mendapatkan dana bantuan pemerintah RI? Bukankah ini sebuah tindakan di luar batas? Parameter yang disusun oleh panitia penyebar beasiswa boleh jadi kurang akurat, namun kelakuan mereka yang berasal dari kalangan mampu untuk mengambil dana bantuan adalah kurang ajar. Apalagi sampai hati menggunakannya untuk jalan-jalan, siapapun berhak menyematkan nama-nama buruk untuk mereka.

Kasus ini tidak serta merta menyimpulkan bahwa banyak mahasiswa yang tergolong mampu, berani mengambil dana bantuan. Buktinya ada sekitar lima orang yang awalnya masuk ke dalam daftar mahasiswa penerima dana bantuan, yang memutuskan mengundurkan diri dengan alasan mereka merasa berasal dari keluarga masih mampu. Tindakan penuh kehormatan ini patut diberi apresiasi di tengah munculnya kasus penyelewengan dana oleh beberapa oknum.


Bisa jadi benar, bahwa oknum yang disebutkan di tulisan ini sebenarnya jalan-jalan menggunakan dana sendiri. Namun keberadaan nama mereka dalam daftar penerima dana bantuan, dan waktu liburan ke “Eropa Barat” yang mereka habiskan hanya berselang beberapa waktu setelah dana bantuan itu cair memberikan impresi lain pada kita yang mengamati dari sekitar. Semoga kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih peka terhadap masalah penggunaan dana pemerintah, sejak masih menjadi mahasiswa.

Rabu, 15 Juni 2016


Imajinasi kebebasan setelah aku tumbuh dewasa tidak seseru kebebasan yang aku tahu dahulu. Ketika masih kecil, aku sering membayangkan kebebasan adalah bisa terbang ke angkasa atau bisa berlari seharian di alam liar. Sekarang pikiranku mentok di bagaimana bisa senang-senang di waktu luang atau bisa berbicara seenaknya tanpa merusak perdamaian. 

Kebebasan yang aku damba dahulu sebenarnya egois karena hanya ada aku sendiri di sana. Ia tidak pernah memikirkan keterlibatan orang lain yang mungkin bisa terbang bersamaku. Selain itu ia juga ceroboh karena harimau alam liar yang bisa memangsaku tak pernah diikutsertakan. Namun bagaimana pun juga, imajinasi itu tetap baik hati karena mau membawaku ke mana saja. Dan imajinasi itu juga penuh perlindungan karena ia tidak mengijinkanku membayangkan mala bahaya yang bisa menimpa. 

Tetapi kemudian kita dimasukan ke sekolah untuk belajar menjadi manusia yang baik dan tidak ceroboh. Tujuannya agar kita bisa hidup lebih lama dan tidak mati konyol karena mencoba terbang atau berlarian sendirian di tengah hutan. Misi pertama sekolah adalah mengusir imajinasi kebebasan liarku pergi. Aku diajarkan bahwa gravitasi bisa menjatuhkan makhluk apapun yang tak bersayap. Lalu aku juga diberitahu bahwa selain ada harimau, ada ratusan kuntilanak berkeliaran di dalam alam liar sana. Nyaliku menciut, menghimpit imajinasi kebebasan kecilku pelan pelan sebelum akhirnya terusir pergi.

Misi kedua sekolah adalah menawarkan konsep baru tentang kebebasan. Aku diajarkan bahwa waktu tidak bisa ditukar dan akan habis pada suatu hari. Jika tak belajar dan bekerja, maka sia sialah waktu hidup seorang manusia, Lalu aku juga diberitahu bahwa selain diriku sendiri, ada jutaan budaya dan pemikiran orang lain yang harus aku pikirkan. Jadi jika semua manusia berpikir seenaknya maka hancurlah perdamaian dunia. 

Begitulah kemudian imajinasi kebebasan yang awalnya adalah ingin terbang, menjadi sekedar keinginan untuk punya waktu luang. Imajinasi untuk berlarian di alam liar, menjadi sekedar keinginan untuk bisa berbicara seenaknya tanpa harus merusak perdamaian.


Senin, 25 April 2016


Tiga tahun setelah upacara kelulusan SMA, aku, Faiq dan Lindi masih rajin ngobrol dalam percakapan digital. Kami hanya bisa bertemu langsung setahun sekali karena keberadaan kampus kami bertiga yang terpisah samudra. Faiq dan Lindi sebenarnya sama-sama kuliah di UNDIP, jadi mereka masih bisa bertemu di Semarang. Hanya diriku saja yang jauh merantau ke Turki. Waktu itu aku sedang berada di tanah air dan sedang dalam perjalanan ke Semarang. Lawatanku tak akan berlangsung lama, hanya dua malam saja. Ibu tidak rela anak sulungnya lama-lama bermain di luar kota Purwokerto.

Karena jarang pergi ke Semarang, aku sangat berharap akan ada sambutan ramai dari teman-teman SMA yang ada di sana. Dengan harapan tinggi melalui grup angkatan, mereka semua kusapa.

"Guys kumpul yuk, aku ke Semarang sore ini" ketikku di grup angkatan

Sembari menunggu tanggapan dari grup, jemariku segera mencari nama Faiq

Gagas: ik jemput di alfamart jam 6 sore.

Faiq: alfamart Purwokerto?

Gagas: janc******k!!!

Faiq: alfamart mana nyet?
.....................................

Bus yang kunaiki menurunkanku dengan sopan tepat di depan alfamart terminal Banyumanik Semarang atas. Waktu menunjukan pukul 6.15 sore, senja sudah turun mengantar matahari pulang. Terminal tampak ramai dipadati ratusan pegawai yang berusaha pulang. Lampu jalanan dan warung-warung satu per satu menyala. Meski redup, sinar mereka sudah cukup menerangi tempat pemberhentian angkutan umum itu.

Dari kejauhan nampak sesosok pemuda di atas jok motor yang sudah hampir setahun tak kujumpai. Dia terlihat sedang menelpon seseorang, dan tepat saat itu juga teleponku berbunyi. Aku sengaja mendiamkan untuk memberi kejutan.

"Heh janc****k!" Seruku menepuk punggungnya.

Tanpa disangka sosok itu membalikan badan dan memberi jawaban. Tubuhku terlempar jauh menerima kepalannya. Sambil membenarkan diri mencoba berdiri, aku tersadar kalau telepon genggam yang masih erat di tanganku masih menyala menunjukan tanda telepon masuk dan nama Faiq. Sial!

"Yang bener mas kalau manggil-manggil! Jancuk bathukmu!"

"Maaf mas saya kira anu..."

"Gak tau saya siapa sampeyan!!!"

"Ngapurane lah ya mas, sori banget!"

"Gas...!" panggil seseorang dengan sepeda motor lain dari jauh.

Aku segera berpaling dari mas di atas motor itu dan bergegas
Menghampiri Faiq yang asli.

"Heh celeng, punya hape tuh diliat! ada telepon diangkat! Kamu kira aku dukun bisa nyari kamu di terminal gelap-gelap gini?"

"Lah percuma kalau aku angkat ntar kamu tutup"

"Eh kurang ajar ya, aku wis rajin beli pulsa sekarang, banyak yang harus dihubungi"

"Yo semoga ada yang cepet mau"

"Celeng...!"

Faiq segera membawaku menyusuri keramaian jalan provinsi yang mengiris daerah Semarang atas jadi dua. Kanan kawasan mahasiswa dan kiri pemukiman warga. Tujuan kami pertama adalah warung nasi kucing. Kami belum makan malam, dan ingin menghemat untuk kegiatan esok. Setelah selesai makan, kami beranjak ke kosan Faiq. Dari sana kami akan menghubungi kawan SMA yang lain.
.............................

"Gas gak ada yang bisa kalau kamu ajak naik ginung sekarang. Cuma Lindi aja."

"Lah kan udah dikabarin dari tadi siang pas aku masih di bus. Ini udah jam 8 malam"

"Kamu tadi cuma ngajak kumpul, bukan naik gunung!"

"Lindi mau naik ke gunung Ungaran?"

"Iya dia mau, tapi masa cuma bertiga?

"Malah seru cuk, cuma bertiga menaklukan gunung Ungaran, biar yang gak mau ikut pada rugi sendiri..."

"Menaklukan ndasmu, itu cuma gunung pendek."

"Iyoo mas pendaki yang sudah menaklukan gunung Arjuna"

"Dasar celeng, makannya yang masuk akal kalau ngajak-ngajak. Kan kalau gini kita gak jadi kumpul rame!"

"Yo... besok pas turun gunung kita kumpul sama yang lain"

Tak lama kemudian Lindi datang dengan mobil suzuki splashnya.

"Gagas....! Ih parah, lama banget kita gak ketemu, udah setahun!"

"Baru setahun liiiin.." jawabku dengan nafas sesak

Lindi memelukku sangat erat. Dia sangat ekspresif sejak SMA dulu. Perasaan apapun, entah amarah maupun rindu selalu keluar dari gerak tubuhnya. Ia tak sungkan untuk berteriak marah-marah jika emosinya tersulut. Seingatku, ia pernah memarahi satpam asrama SMA karena terlalu bertele-tele menanyakan dari mana saja ia sampai larut malam. Pak satpam yang tadinya menyelidiki lalu keok tak kuat meladeni teriakan Lindi.

Kami kemudian berkemas-kemas dan berangkat ke gunung Ungaran jam 10 malam. Tujuan pertama adalah pos pendakian di lereng selatan gunung Ungaran. Suzuki splash milik Lindi melaju mantap mengarungi tanjakan lereng gunung Ungaran. Malam itu Lindi mempercayakan kemudi padaku. Ia lelah karena sudah seharian mengemudi. Lindi adalah supir yang mahir dengan koleksi jam terbang tinggi. Mobil itu sendiri sudah dua tahun berada dibawah komandonya. Selama itu, baru dua kali dia menabrak. Satu di dalam garasinya, dua di pekarangan pondok pesantren milik tantenya.
...........................

Setelah selesai urusan administrasi dengan pihak pengelola taman nasional, kami berkumpul untuk berdoa dan menentukan ketua rombongan. Faiq mendapat kehormatan malam itu. Selama 7 jam mendaki nanti, ia akan berada di depan memimpin rombongan. Kami berangkat dari titik 1100 mdpl, dan akan berjalan menuju ke puncak yang berada pada kisaran ketinggian 2050 mdpl. Kami mulai pendakian pada pukul 11 malam dan diperkirakan akan sampai subuh nanti.

Udara dingin malam itu sempat mengecilkan nyali kami. Namun setelah satu jam berjalan, badan kami mulai berkeringat. Panas yang timbul berhasil mengusir kedinginan yang ada. Di dua jam pertama, kami berjalan menyusuri deretan pepohonan tinggi yang gelap. Kami hanya dibantu oleh tiga buah senter kepala dan tongkat. Di sebelah kanan adalah jurang dalam dan di sisi lain adalah pepohonan lebat.

Selama dua jam yang gelap itu, hanya terdengar suara angin dan derap langkah kami. Kondisi ini sudah cukup membahagiakan, karena jika ada suara lain kami pasti akan segera memutar arah pendakian. Di antara kesunyian itu, sebuah percakapan kecil terjadi di antara kami.

"Gelap, sepi! Eh Lin, kalau jatuh ke kanan gimana ya?"

"Diem gas, aku pukul pake tongkat nih!aneh-aneh aja sih" ancam Lindi kesal

"Ya ya. Ngomong-ngomong ada setan gak ya di ...."

"Diem nyet, jangan keterlaluan di alam!" Teriak Faiq penuh penekanan.

"Njih mas pendaki gunung Arjuna.. eh ada suara! Sssssst, diem sebentar semua.. coba kalian denger!" Desakku

Kami semua berhenti sejenak, mengamati sekitar. Tidak ada bunyi selain teriakan jangkrik yang bersautan. Tak lama setelah diam, tongkat Lindi terbang mengarah ke tanganku.

"Aduh, sakit Lindi!"

"Gaaaaaaas!!! Bauuuuk!!!"

"Bajinguk, bocah ngentutan." Teriak Faiq.

"Hehe, tak kira suara apa tadi"
.................

Setelah dua jam berada di hutan gelap, kami memasuki kawasan kebun teh yang relatif lebih terang. Di sini, langit memamerkan ratusan bintang. Melengkapi kemeriahan langit, bulan turut datang di atas sana. Jam menunjukan pukul 01.30. Sudah dua setengah jam sejak mengawali pendakian. Kami mengambil istirahat sejenak sambil menikmati suguhan alam yang jarang terjadi.

"Makasih ya gaes udah mau aku ajak ke sini"

"Sama sama Gas, aku juga seneng bisa ndaki beneran" jawab Lindi.

Faiq hanya diam, ia tidak terbiasa dengan percakapan melankolis yang aku buka. Tapi dalam diamnya, matanya terbuka melihat langit. Mungkin ia teringat akan seorang gadis yang pernah hadir di hatinya dulu.

"Udah ik, masih ada yang lain" sautku.

"Diem celeng, ini aku sedang mencoba menikmati langit! Ini bagian paling indah dari pendakian"

"Injih, mas pendaki gunung Arjuna"

Tangan Faiq segera bergerak mencari batu kerikil untuk dilempar. Gerakannya penuh perhitungan. Benda kecil itu dalam hitungan detik sampai mengenai kepalaku.

"Ah KDRT nih kalian, tadi dipukul tongkat sekarang kerikil" kataku

"Nih satu lagi...!"

"Eh ampun ampun ik"

"Hahaha, udah Gas. Faiq jangan diganggu kalau lagi galau" kata Lindi.

"Iya iya lin, kamu masih kuat kan jalan?"

"Hmmmm, sebenernya aku punya penyakit gas."

"APA? Kenapa gak bilang dari tadi. Penyakit apa?" saut Faiq yang juga mewakili pikiranku.

"Aku kalau dingin cepet pengin ke belakang"

"LINDII! aku kira penyakit serius." Jawab Faiq lega

"Iya ini serius Faiq..."

Hahaha
..........................

Jam menunjukan pukul 5.30 dan kami akhirnya sampai di puncak. Matahari muncul menyambut kedatangan kami di atas. Sinar jingga menerpa kami dan puluhan pendaki lain yang tiba sebelumnya. Kota Semarang nampak kecil dari kejauhan. Hamparan bangunan terlihat luas, menutupi hijau alam sekitar. Jalan setapak yang kami tempuh semalaman tampak kecil membentuk garis tidak beraturan. Melengkapi pemandangan itu berjejer awan putih beterbangan. Mereka bergerak pelan ke utara menuju kota Semarang.

Kami bertiga duduk terdiam menahan sakit kaki. Tujuh jam berjalan tanpa benar-benar berhenti memaksa kami untuk diam cukup lama di sana. Meski lelah, pemandangan indah dan kebersamaan itu lunas mengganjar semua keletihan.

"Gaes, kita harus lakuin ini lagi suatu hari nanti"

"Siiiiip deh, yuk kita foto dulu..."

Jumat, 20 Maret 2015


Bandara Lombok malam hari (dari gembolransel.com)

Gabriel dan Garcia melambaikan tangan. Mereka telah dijemput seseorang, meninggalkanku sendiri di antara kerumunan pelataran bandara. Kami baru saja berkenalan di bangku pesawat terbang tadi. Kami duduk bersebelahan sejak memulai perjalanan dari Yogyakarta. Mereka pasangan muda dari Spanyol yang sedang melancong, menikmati sebagian keindahan Indonesia. Saat masih di udara mereka bercerita tentang perjalanan mereka selama lima hari di Jakarta dan lima hari lainnya di Yogyakarta. Kata mereka Indonesia bagus dan murah, sangat cocok untuk dijadikan tujuan liburan. Selain itu orangnya ramah-ramah dan selalu sumringah ketika melihat mereka. Ini membuat liburan mereka lebih indah, karena di tempat asal sana, mereka hanyalah penduduk biasa. Tiada pernah didapat oleh mereka perhatian sedemikian rupa.

Betapa senangnya mereka, yang terbiasa hidup mahal lalu menemukan Indonesia. Ah Indonesia, negeri indah nan jauh di timur sana. Tak hanya murah, matahari pun bersinar indah tanpa lelah. Kalau orang Jepang menyebut negara mereka tempat terbitnya matahari, maka Indonesia adalah tempat nongkrongnya matahari. Sepanjang tahunnya mentari tak banyak pindah dari garis edarnya. Dipandangnya Indonesia tepat di muka, dan hanya sedikit tolehnya, yaitu pada permulaan dan pertengahan jalan edarnya.

Malam itu lambaian tangan kami mengakhiri pertemanan yang baru terjalin di pesawat tadi. Setelah ini, sangat mustahil kami kembali bersua. Alangkah bahagianya dua sejoli itu, menikmati sisa liburan mereka di pesisir pantai pulau terbarat Nusa Tenggara. Semoga Lombok bisa menutup akhir cerita indah mereka. Sebelum rutinitas mereka kembali menelan tawa, yang telah terbangun sejak di Jakarta hingga esok lusa. Kata mereka hati-hati, dan semoga kita bertemu lagi.

Senyum mereka hilang, ditelan pulau Lombok malam-malam. Inilah salah satu indah perjalanan, kita akan dihadapkan beberapa pertemanan instan. Meski tak lama, pertemanan macam ini tetap membekas. Ia kelak akan menjadi bahan cerita pada sanak famili atau pada kekasih hati. Cerita pertemanan singkat tadi akan ikut memberi warna, pada kehidupan kita yang mulai tak punya nuansa. Biarkan ia menambahkan sedikit arti, pada corak kehidupan yang kini lebih banyak diwarnai berburu harta, berjualan tahta dan hura hura.

Di antara kerumunan tadi tiada pos ojek kudapati. Pikirku, di bandara selain Sukarno-Hatta akan ada banyak tawaran ojek menanti. Rupanya aku salah asumsi, karena Lombok telah naik kelas alias go international. Tiada lagi ojek punya nyali, menawari jasa antar jemput sana sini. Yang ada hanya taksi, dengan tarif lumayan tinggi. Tak lama setelah hilang bayangan dua sejoli tadi datanglah bapak Surdi. Seorang bapak yang mulai bertanya hendak ke mana malam-malam begini.

"Saya mau ke Sembalun Pak, ingin menengok gunung Rinjani"

"Wah Sembalun jauh, tidak ada siapa pun yang ke sana, apalagi sudah jam segini"

"Baik Pak, biarkan saya menanti, siapa tahu akan ada orang lain yang mau ke Rinjani"

Satu jam setelah jawaban tadi, tiada seorang pun yang mau ke sana. Sementara itu jam telah menunjuk angka 21.40 WITA. Pak Surdi yang sedari tadi masih mengamati akhirnya datang lagi menghampiri.

"Kalau sudah jam segini, tidak ada lagi orang ke Sembalun"

Maka mulailah kami tawar-menawar. Pak Surdi terlalu tinggi menetapkan harga padahal diri ini hanya seorang mahasiswa. Meski berlangsung alot, akhirnya aku mengangguk mau karena sudah tak mungkin lagi Pak Surdi diajak negosisasi. Ia pun sudah paham, siapa yang sebenarnya lebih membutuhkan.

Segera kami berangkat ke Sembalun. Kata Pak Surdi perjalanan akan memakan waktu dua setengah jam. Ada yang aneh dengan Pak Surdi ketika duduk dalam kemudi. Ia mengemudi tidak seperti laki-laki. Kaki kananya terlalu dalam menempel pedal gas, sementara kaki kirinya terlalu kasar memindah gigi percepatan. Mengetahui ini segeralah aku minta berhenti. Saat itu di samping jalan ada warung makan remang-remang. Kami berhenti sejenak untuk bersantap gorengan ayam. Saat makan kecurigaanku menemui jawaban. Benarlah kegugupan Pak Surdi, beliau belum genap satu tahun memulai profesi ini.

"Hahaha, Bapak ini, yaudah kalau gitu biar saya saja yang mengemudi"

Tawaku bersautan, dikatakannya "iya" dan "tidak apa apa mas". Awalnya ia sedikit malu, karena seharusnya bersama ialah mobil berpacu. Namun malam itu keselamatan kami lebih penting, karena jalan ke Sembalun akan menanjak dan berkelok. Belum lagi kabut pegunungan, yang dengan mudah dapat menghilangkan penglihatan. Ini akan sangat berbahaya jika yang mengemudi belum banyak mengoleksi jam terbang.

Tak lama kami menjadi akrab bersama sedikit kepulan asap. Rupanya Pak Surdi pernah tiga tahun merantau ke negeri Jiran. Ia lebih fasih berbahasa melayu dari pada berbahasa Indonesia. Anaknya dua, satu SD satu SMA dan sangat disayangnya. Kami bertukar cerita di tengah gelap jalanan malam. Menertawai kehidupan, merindukan cerita lama dan saling bertanya pada masa depan. Ini merupakan pertemanan instan kedua sejak meninggalkan Yogyakarta sore tadi.

Pukul 00.00 sampailah kami di kawasan taman nasional Gunung Rinjani. Kami disambut lebat pepohonan dna kabut pegunungan. Sesekali monyet lompat menyeberangi muka jalanan yang nampak basah tersentuh embun. Celoteh kami berkurang, karena baik pengemudi dan penumpang kini harus mulai lebih waspada.

Medan jalan yang naik dan berliku serta kehadiran mobil dari arah berlawanan menguji kemampuan mengemudi. Pada beberapa kesempatan, aku harus menekan gas pelan-pelan karena kabut pekat. Hanya putih terlihat dan jarak pandang tertutup hampir rapat. Jika teledor sedikit saja, masuk jurang jadi taruhan. Kami beruntung karena setengah jam kemudian kami sampai di Sembalun Lawang. Indah betul malam di Sembalun Lawang dengan ramai kerumunan bintang. Aku belum pernah menemui kerumunan bintang seramai di sana. Di tambah lagi megah pantulan bulan, yang putih memancar bersinar.

Tak lama setelah gerbang desa tibalah kami di Pos Pengawasan Gunung Api Rinjani. Di sana kami disambut oleh Pak Yuli yang kebetulan bertugas malam itu. Sembari mengemas barang-barang, aku dan Pak Surdi bercakap-cakap untuk terakhir kali.

"Tidak pernah ada malam penuh bintang seperti ini di pulau Jawa Pak Surdi'

"Mungkin mas tinggal di kota"

"Ini seperti mimpi Pak Surdi, saya kira mustahil ada pemandangan seperti ini di Lombok"

"Memang bagus mas, belum banyak lampu di sini."

"Pak Surdi ikutlah menginap malam ini, berbahaya sendirian ke Mataram"

"Tidak apa mas, saya rindu anak istri"

Begitulah tutur Pak Surdi menolak tawaranku. Baginya kerumunan bintang malam itu tak lebih indah dari senyum keluarganya di Mataram. Di situ pertemananku dengan Pak Surdi berakhir. Seperti pertemanan instan sebelumya, ia tak awet dan hanya berlangung sebentar. Namun pertemanan itu tetap memberi warna, pada corak kehidupan yang mulai kehilangan nuansa.

bersambung.....................

Pemandangan malam di Sembalun Lawang, Lombok



Kamis, 18 Desember 2014

Roi dalam duduknya di kereta
Roi akan pergi ke Denizli lalu kembali dua hari kemudian. Ia hendak melihat sebuah situs terkenal yang berada di pesisir Laut Aegean. Ia amat ingin ke sana karena kata orang lokal "Jika kamu mengunjungi Turki tanpa singgah ke tempat itu, maka menyesalah dirimu ketika pulang". Tapi sayangnya kalimat ini juga berlaku ke beberapa tempat lain di Turki. Jadi intinya Roi harus pergi ke banyak tempat agar tak menyesal ketika pulang.

Roi memang melakukan perjalanan ini untuk memenuhi saran si orang lokal tadi. Tapi ia tak ingin sekedar menghilangkan sesal. Ia harus pergi dan membawa pulang sesuatu. Roi adalah seorang pengelana yang telah berkali-kali melakukan perjalanan. Sebuah perjalanan baginya tak sebatas sampai tujuan atau gambar-gambar momen yang terabadikan. Bagi Roi perjalanan haruslah memberi kesan kepada kelima indera miliknya. Selain itu, perjalanan juga harus memberinya ilmu sebagaimana buku memberi ilmu pada pembaca. Dan yang paling penting, perjalanan harus ekonomis karena Roi bagaimana pun adalah seorang pelajar.

Selasa, 01 April 2014

One evening I went out to the streets to find a barber. It had been a while since my last visit to a barber. I used to have a long hair. During those times, barber was never in my destination list. The hair was all long and natural, never to be modified. Then I got it cut. Now it had grown again. And would have to be cut again in that very evening.
So before I got to a barber, I made an unusual pre-selection. I wanted to cut my hair with a unique barber that had to both look and work different. It might not be a very big deal, but I wanted my return to the barber, memorable. Haha
Anyway, I turned my steps towards the main street. There I had my pre-selection started. You have to know that there so many barbers in Turkey. Unlike most Indonesian, hair growth here is pretty fertile, just like many other countries in Europe.
People here don't only have their hair cut, they also have their face shaved in the barber. So this bussiness are always around to meet people's demand.
After a while I started to feel hopeless cause as I walked farther, there was no sign of a barber that met my qualifiation. Thus I decided to simplify my criteria. From then on, I would get into any barber who is either bald or long haired.
Not long after my wish was granted. There was this bald guy, who came out of his shop and greeted me. I was not very sure about him but, as he was bald, I decided that he was the barber.
So I went into his shop and immediately sat in front of the mirror. We talked for a while. He was thirty eight, married with two children. He thought I was of Chinese origin. He said that my eyes were really small, similar to those who played kung fu in the movies.
His comment was really hillarious. Explaining would not correct him anyway, so I decided to enjoy his joke.
I showed him a photo, and was expecting him to immitate the style the picture had. At first he shooked his head, approving my wish. But then as he cut through, my hair was only getting shorter. It didn't turned into the model I had desired.
Then on he finished up his job. He asked me of my satisfaction with his job. I had actually wanted to complain. But what had been cut could never return back to mu head. Thus I smiled and told him that it was great.
I paid the fee and went back. The haircut wasn't really bad though. It was just not as what I had expected. While walking, I rubbed my head, trying to convinced the world.
"This is my new hair man!" haha

Jumat, 22 November 2013

Ini satu lagi penggalan cerita gila semasa SMA dulu. Kawan-kawan memang sering berbuat gila, nakal, onar, binal. Ah semua kata itu tidak cukup menggambarkan semua. Atau mungkin memang semua kawan SMA kita gila. Atau masa SMA semua manusia memang menjadi gila.

Entahlah yang jelas SMA itu masa yang sangat menyenangkan. Penuh dengan canda, kita sering tertawa sendiri bagai orang gila waktu SMA. Bisa jadi inilah penyebab kenapa kita semua gila waktu itu. Yang gila tak cuma putra, putri juga begitu. Kadang mereka lebih gila. Bayangkan saja ada suatu masa di mana mereka______. Ah sudahlah tak usah, malah membuka aib para wanita. Nanti bisa babak belur muka ini dibuat pukulan mereka.

Jadi waktu itu kami sedang berada di kawasan Bandungan. Setiap akhir semester ada acara jalan-jalan ke tempat yang kami inginkan. Ada acara tambahan yaitu membaca buku. Atau mungkin bisa jadi jalan-jalan adalah acara tambahan, dan baca bukulah acara inti. Bagaimanapun cara melihatnya kami pergi setiap akhir semester.  

Semester itu kami tak banyak uang maka dari itu kami memutuskan untuk menginap di Bandungan saja. Di sana dekat, murah dan tidak banyak menguras pikiran dalam perencanaan. Hanya satu jam perjalanan dan banyak pemilik vila yang sudah kami kenal.

Kamis, 14 November 2013


Padang tandus di luar Ankara
Terlambat ditinggal rombongan memang bukan hal yang menyenangkan. Apalagi ketika kau harus ditinggal di lingkungan yang cukup asing. Itulah yang terjadi hari minggu lalu pada diri ini. Hari itu Jurusan kami mengadakan observasi lapangan ke sebuah desa yang bernama Alje di luar Ankara. Perjalanan tersebut akan menjadi observasi lapangan pertama angkatan kami. Di sana kami akan menengok bebatuan dan penampakan alam yang ada lalu merangkumnya dalam sebuah laporan.

Beberapa hari sebelumnya dosen kami Pak Bora telah mengumumkan bahwa bus akan berangkat dari halaman bangunan Teknik Geologi Minggu pukul 09.00 pagi. Minggu pagi itu alarm sudah mantap terpasang pada pukul 07.00 pagi. Biasanya persiapan membersihkan badan serta sarapan akan memakan waktu sekitar satu jam. Jadi jika rencana berjalan lancar pukul 08.00 diri ini sudah beranjak ke kampus. Dan tepat pukul sembilan misi pra observasi lapangan terlaksana.

Sayangnya tak semua rencana berjalan seperti perkiraan. Perhitunganku mulai meleset sejak alarm pukul 07.00 berbunyi. Minggu dini hari jam di Turki mengalami pergantian untuk menyesuaikan pendeknya hari di musim dingin. Semua jam dimajukan sebanyak enam puluh menit. Hal ini menjadi keuntungan karena kami mendapat satu jam ekstra untuk tidur.

Minggu, 06 Oktober 2013

"Slurrrpppppp"

I took a small slurp from a cup of hot chocolate that I had just bought from the vending machine outside our university's library. It was 8.20 in the morning and both the library and the canteens were not yet to be opened. My body was no longer able to tolerate that morning's cold weather. I couldn't resist my crave on that hot drink. I saw no more hope in waitıng for the canteen to open. So there I was enjoying every slurp of the liquid that I managed to take by exchanging my coins.

"Slurrrrpppppp"

Winter was supposed to be nowhere near October but the weather that morning frosted me thoroughly. The frost didn't just stop by my skin, it also went some inches through my flesh, touching some parts of my bones. That frost stayed quite a while, from the moment I jumped off the bus till the moment I got my first slurp on the hıt chocolate.

"Slurrrrpppppp"

My friend had told me about how that weather would be and I was also aware of it. I covered myself better than how I did in the previous days, three layers at the top and two at the bottom. And still they had not served me as a propper cover yet. I should have worn clothes as thick as I would worn myself on winter.

"Slurrrrpppppp"

Then again it was still the beggining of October and that kind of coldness wouldn't be expected by most people. Espescially for someone coming from the warm and sunny tropical countries. We don't face much change in our daily weather. There would only be predictions of sunny, rainy and some stormy weather in our weathering forecast. How nice....

"Slurrrrpppppp"

However, as I thought more of the tropical weather back in my country, it actually brings some disadvantages. The warm weather don't just make us move slower/lazier, it also brings madness to the traffic. But again cold is not always about the good things, although we all know most developed countries do not lie inside tropical climate zone.

"Slurrrrpppppp"

Anyway, I would in all condition preffer the tropical climate upon others simply because "I WAS FREEZING THAT MOMENT". I would be wearing a t-shirt to school and I wouldn't have to continously rub my palms to warm my hands. Besides, the disadvantages I mentioned earlier are not objects to be avoided, they are just challenges that are waiting to be answered. And we as youngsters are the ones responsible for answering them. So will be able to face and answer those challenges young Indonesians...?

"Slrrrrrr..........."

"Slrrrrrr..........."

"Slll................."

"Sss................"

The last drops of my hot chocolate just went inside my mouth. I felt a little sad for some moments because my warm companion only accompanied me a few minutes. Fortunately, not long after a person opened the library door. I stood from my seat and immediately rushed in, bringing the used hot chocolate cup with me. It was such a relief entering the warm and bright main hall. Before I went to the chairs, I threw the cup inside the provided rubbish bin. Only then I took a seat and started opening my course books. What a cold morning I must have admitted.

Minggu, 16 Juni 2013


Pagi-pagi adzan berkumandang sebelum para ayam jantan bangun. Hanya diriku dan seorang kawan bernama Januar terbangun di kamar kami. Anggota kamar lain sepertinya belum mau menyelesaikan mimpi-mimpi mereka. Gelapnya hari dan merdunya alunan sepasang kipas angin masih mengeratkan selimut kawan-kawan. Para pembina juga belum terdengar langkah kakinya. Nampaknya asrama baru akan benar-benar bangun setengah jam kemudian.

Mata ini masih berusaha keras membuka kedua tutupnya. Sementara tangan kanan dan kaki kananku baru mulai bisa bergerak karena sedikit lumpuh kehilangan aliran darah. Itulah resiko tidur miring beralaskan dua anggota tubuh tadi. Meskipun nyaman, rasa semutan harus jadi bayaran.

Di dalam gelap aku dan Januar melangkah menghampiri lemari kami yang saling bersebelahan. Karena masih gelap, kami berjalan meraba raba benda yang ada di sekitar. Sebenarnya ada sedikit cahaya yang masuk dari lubang yang terdapat pada pintu masuk. Namun pantulan sinar dari lubang tersebut belum cukup terang untuk mendukung kerja mata kantuk kami.

Senin, 13 Mei 2013


 Belajar di luar negeri memang tidak mudah. Jika pun kau dibekali dengan otak yang super encer, pasti ada saja masalah di luar pelajaran menghadang. Kebetulan otakku seperti pasta yang berada di antara fase encer dan keras. Jadi untuk menghadapi pelajaran saja, otak ini sudah gugup minta ampun. Kala problem problem lain menghadang, ia kejang kejang merinding bagai orang yang kelaparan sekaligus kedinginan. Entah benar atau tidak perumpamaan tadi. Otak memang organ yang unik, susah sekali untuk dianalogikan dengan ciptaan Tuhan yang lain.

Namun di balik kesusahan dan tantangan tantangan otak itu, ada beberapa hal yang selalu saja bisa menghibur diri. Setiap orang pasti punya hal hal yang bisa mencairkan suasana hati atau sekedar memecah keheningan. Dalam kasusku ada Sagag dan anak-anak Turki yang kutemui di pinggir jalan. Sagag biasanya menghiburku dengan pikiran-pikiran anehnya tentang dunia. Sedangkan anak-anak kecil itu membuat perutku bergoyang geli dengan ulah mereka. 

Di Turki umumnya tidak ada yang tahu dan paham akan Bahasa Indonesia. Jadi ketika sedang berjalan sendiri di tengah keramaian, biasanya kusempatkan berdialog dengan bayanganku yang bernama Sagag. Jika sedang bosan terutama ketika berada di antara kerumunan manusia, Sagag datang lalu mulai bertanya tanya. 

Sagag sebenarnya telah lahir sejak jaman SMA. Dulu ia tidak banyak keluar menemuiku. Ia hanya datang malam sebelum waktu tidur. Biasanya kami bercakap-cakap untuk setengah jam lalu terlelap pulas. Semenjak sampai di Turki ia mulai rajin datang mengunjungi. Mungkin karena dulu aku lebih banyak berbicara dengan kawan kawan kamar.

                Kemudian ada anak-anak kecil yang hampir setiap hari aku temui di jalanan. Mungkin karena warna kulit sawo matang (orang sini putih putih) dan rambut panjangku, mereka selalu mengira diri ini berasal dari Jepang atau China. Ketika berpapasan keluarlah  kata kata macam “Konichiwa” “wasingsong song” “Oromogorotogo” atau suara suara macem “Ciaaaaaaa”. Tak jarang meraka memperagakan gerakan kung fu yang sungguh menggelikan. Pada awalnya diri ini sering tersinggung dengan tingkah laku mereka. Namun lambat laun perilaku mereka menjadi terlihat lucu.

Suatu hari diri ini sedang suntuk dan muak dengan bumi. Sejak pagi hingga sore tidak ada yang mengenakkan hati. Saat jalan menyusuri sebuah komplek, aku berpapasan dengan bocah bocah.

                “Hei, Cheng Weng, konichiwa” seru seorang dari lima.

                “O Cin mi lan, Japon yoksa” saut yang lain (*Itu orang Cina apa Jepang ya?)

                “Orimo, orogitoramorogo” saut satu lagi

                “hahahahhaa”

                Diriku diam menahan tawa akan tingkah konyol segerombolan tadi. Setelah kutelan luapan tawa, kedua mataku melirik dengan sedikit disipitkan. Untuk beberapa detik terjadi tatap menatap antara diriku dan gerombolan anak kecil itu. Tak lama berselang, mereka lari. Hahaha.

Senin, 11 Februari 2013



I stood behind the stage’s curtain, nervously waiting as the two MCs greet the audiences. In my hand were all the stuffs I needed to come on stage. My mind was still filled by some memorized words and a little excitement from my previous performance. This is it, the time of my life I guess. I got to meet the person who inspired me to dream big. Although I was a little disappointed when I recently found out that his real age was far from what I expected, I am still very thankful to have a chance to actually sit face to face with him. Thanks to my senior Ahmad Faris who picked me out of many more, talented students to be a moderator.

Ka El and Baim, the MCs are now reading my CV. There was one point when the audiences laughed. I didn’t bother because my eyes were still worried about what to say in front there. I kept on humming, trying to master every word that I prepared last night. I wanted to be epic, just like those in the movies.

“Mari kita panggilkan….”

Ou no, it’s my turn to come on stage. I put a lot of effort to walk firmly, collecting all my confidence together. The crowd gave applause as a custom to those coming on stage. I looked straight forward to maintain my walking rhythm. But just a few step after I accidentally gave a gaze to the crowd. I lost that rhythm, so I pace forward to quickly reach the two couches prepared for the discussion.

I laid my notes on the table and sat down. The round of applause faded leaving almost silence. I took one out of two microphones provided. While turning it on I managed to take glimpse on my notes.

“Bapak bapak, ibu ibu, rekan rekan mahasiswa…”

I threw a rhetorical question but it didn’t turn rhetoric at all. Everybody answered with laughter instead. It surprised me but I continued, withdrawing my epic expectation. Anyway I was able to pass my intro quickly even though my point wasn’t really clear. My concern that moment was to call the main guest up to stage.

“Dengan tepuk tangan yang meriah kita sambut, Andrea Hirata…”

The First Session

The audience clapped their hands with anxiety. Our operator gave a little music as Andrea Hirata was approaching the stage. I shook his hand, smiled and greeted him. This man in front of me was the writer of “Laskar Pelangi”, the phenomenal novel that had been translated into 18 different languages and sold in over 70 countries. He did not only make his village, but also made us Indonesian proud. He inspired not just thousands but millions to ignore their limits and dream big. He is indeed a big role model for us youngster, who are pursuing ourselves to build Indonesia in the coming future.

“Bang Andrea Hirata ini adalah……”

I read a little about his CV and gave the time to him to speak. He spoke for fifteen minutes, sharing his past experience as a student who then became a corporation employee before finally decided to write novels. Although he wrote his experience in his novels, the stories told that moment still amazes the audiences. After he spoke, lots of hands were raised wanting to asked questions. I didn’t know who to choose so I let Andrea Hirata select.

Four questions were answered with satisfaction. Andrea was really humble while answering. He didn’t see himself as a famous and smart person. Rather as a villager who by God’s permission reached a success point. He was neither cold nor stiff. He even answered some questions with humor.

By this time I already got used to the crowed. My eyes are now free to glance upon the crowd with no more worries.

“Oke kita sediakan 3 penanya lagi karena waktu kita terbatas…”

An hour passed and we reached the end of session one. I once again shook Andrea Hirata’s hand. We went down the stage together. Not long after people approached near him, wanting to take pictures together with him. I continued my walked to meet the other committees, thanking them for their support. The show was a great success. Hundreds came not only from Ankara, but also other cities around Turkey.

Minggu, 30 Desember 2012



Sore malas di kamar 301 berjalan seperti hari hari sekolah lain. Petidur siang di alam mimpi, para pemain dota yang berserakan di lantai dan musisi gadungan yang terbaring di atas ranjang ranjang biru. Panorama kamar kami semakin indah dengan gundukan cucian serta gantungan baju pada pilar pilar dipan. Ujian-ujian sebentar lagi berlangsung, baik itu nasional, lokal maupun internasional. Namun kami sudah mulai muak dengan soal soal dari buku tes. Sebenarnya tidak banyak yang kami kerjakan hanya saja kami butuh alasan agar bisa bersantai.

Jadi begitulah sore ini, santai. Kebetulan Liga Semesta sedang dalam jeda karena lapangan yang sudah berubah menjadi ladang basah. Tiada rumput hijau tersisa, hampir seluruhnya terselimut pekat coklat. Untuk itu para siswa membiarkan sehari dua hari jeda agar rumput-rumput itu membersihkan diri mereka sendiri. Cukup masuk akal jika dipikir tetapi ide tersebut tidak pernah benar-benar terwujud. Satu dua hari kemudian tetap saja lapangan kebanggaan di depan halaman sekolah itu tertutup tanah.

Kembali ke kamar, petidur siang perlahan kebangunan. Jam menunjukan pukul empat sore, waktunya untuk ibadah sholat ashar. Jam dinding kamar kami rusak beberapa hari yang lalu. Jarumnya berhenti berputar dan ketika kami hendak mengganti baterenya, ia lepas dari pegangan Endo lalu membahana. Tutup kacanya lepas dan pecah. Sebenarnya ada aturan yang berkata bahwa barang siapa memecah sebuah kaca jam dinding maka seluruh anggota kamar harus membayar puluhan ribu rupiah. Karena semester dua hampir berakhir peraturan tak begitu ditegakkan lagi. Alhasil kami tetap aman saja dengan jam pecah tadi. Jadi jam yang mengingatkan kami akan waktu sholat kala itu adalah jam handphone si Irfan.

Irfan bangun dari mimpi siangnya lalu disusul oleh Aswin dan Braja. Diriku masih terpaku pada alunan instrumental grup band Dream Theater. Biasanya Aswin akan berkomentar “Lagu sing ono lirike to ndes”. Siang ini dia tidak sempat karena langsung pulas sehabis kelas. Yang terakhir bangun sore itu adalah Anggono.

“Sholat yok ndes” Ajak Braja pada yang lain.

Kamar diam dan hanya ada lirik lirik terjadi antara kami yang mendengar.

“Sholat yok cok” Ajan Irfan kali ini.

Barulah kami menanggapi. Braja memang sering kami kerjai, namun sebenarnya ia adalah kawan yang baik. Hanya saja ide ide yang ia sampaikan sering tidak sejalan dengan yang lain.

“Yo yo” Jawab Hendra tetap sibuk dengan mouse dan laptop toshibanya. Ia hanya ingin memuaskan ajakan Irfan tanpa harus melakukannya. Di sampingnya ada Huda yang sama sama sedang main dota.

Meninggalkan Hendra dan Huda kami keluar kamar menuju mushola yang hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari kamar kami. Sebenarnya ada sholat jamaah jam tiga tadi dan adzan pun jelas terdengar karena alat pengeras suara diletakkan di lorong depan pintu kamar kami. Sebagai kakak senior seharusnya kami mencontohkan adik adik kelas dengan baik.

“Halah sing penting ki berjamaah, telat syitik rakpo” saut Redhy seolah mengerti dengan isi kepala ini.

Keluar pintu kami mampir ke kamar seberang lorong untuk mengajak mereka yang belum sholat. Dari kamar itu kami mendapat dua jamaah. Mereka adalah Nonos dan Mirzandi. Rombongan lalu melanjutkan perjalanan sepuluh meter ke arah mushola. Sesampainya di sana kami bertemu dua kawan lain yaitu Ariza dan Djomi. Mereka bergegas lari ke kamar mengambil sarung kemudian menyusul kami di mushola. Satu per satu selesai wudhu dan sampailah kami pada ritual memilih imam. Ritual ini selalu seru karena melibatkan sedikit keberuntungan. Sore itu kami menyeleksi imam melalui berbagai tes.

“Yang duduk terakhir jadi imam” kata Mirza

Semua duduk dan tak ada yang tertinggal. Belum sempat mengambil nafas salah satu dari kami segera berkata.

“Yang paling depan imam” pinta Djomi

Segera semua mundur perlahan. Namun semua kemudian mundur, maka terpaksa kami berlari ke arah tembok belakang mushola. Lagi lagi taka da yang terseleksi menjadi imam. Kemudian,

“Yang paling belakang imam” tegurku

Lagi lagi kami berlarian berlomba meraih tembok depan mushola. Tak ada yang tertinggal dan seleksi imam terus berlanjut.

“Yang ga pegang Nonos jadi imam”

Semua bergegas menggenggam kepala Nonos. Permainan semakin tak masuk akal namun sampai pada titik ini sang imam belum juga terseleksi.

“Ojo ngene lah rak adil” Saut Anggono

“Yowes, yang jongkok terakhir imam” teriak Ariza

Semua langsung pada posisi jongkok dan untuk kesekian kalinya imam belum juga terseleksi.

“Wes wes, aku aja sini yang jadi imam” kata Aswin menjadi pahlawan.

“Wedyan, Aswin imam ndes” kata Braja. Semua terdiam dan hanya tatap mata yang terjadi di antara kami.

Irfan membaca komat dan mulailah ibadah sholat asar kami. Semua berjalan khusyuk sampai rakaat terakhir. Ketika kami sedang duduk tahiyat akhir tiba tiba saja Aswin menengok ke belakang.

“Ndes aku lali wudhu ndes” katanya lirih menyesali kebodohannya.

Berbagai reaksi muncul dari semburan kata kasar hingga luapan tawa.

“Ola pekok”

“Kriting Cacat”

“Mental”

“Wakakakaka”

“Win win, iso ngono lho”

“Ass…….”

“Ngene iki imam”

“Idiot”

“Very clever”

“Ola pinter imame”

“Bahahahahaa” 

Kami tak mengira seseorang yang menawarkan diri menjadi imam melakukan kesalahan yang amat konyol. Konsentrasi ibadah kami buyar dan musholla berubah menjadi ruang tawa. Bukan amarah justru candaan yang lahir dari peristiwa ini.

“Bhihihihi” tawa Braja bergemuruh, kami tiba tiba diam dan kondisi kembali normal. Untukng saja ia bersuara, kalau tidak mungkin saja luapan emosi kami baru berakhir ketika waktu maghrib tiba. Kami semua kembali pada posisi masing masing namun kali ini Nonos lah yang menjadi imam. Selamat Nos kamulah imam hari ini.


Aswin adalah orang aneh yang berdiri paling kanan

Minggu, 28 Oktober 2012


Idhul Adha kemarin saya berkesempatan mengunjungi kota Hatay atau lebih sering disebut "Antakya". Hatay terletak 496km tenggara Ankara. Saya diundang ke sana oleh seorang kawan bernama Emin. Ia berasal dari desa Erzin Provinsi Hatay. Provinsi ini dulunya merupakan daerah jajahan Prancis yang kemudian bergabung dengan Republik Turki. Sejarah kota Hatay kembali ke abad abad sebelum masehi (bisa dicari di internet). Kebetulan Ayah kawanku ini berasal dari daerah perbatasan yaitu Reyhanli.Konflik Turki Suriah yang sedang hangat di media membuat saya jadi penasaran sebenarnya ada apa di sana.

Sudut kota Hatay
Idhul Adha hari pertama Saya dan Anggono berangkat ke Erzin. Kemudian hari kedua Ayah Emin membawa kami bertiga ke pusat kota Hatay. Kami berangkat dari desa Erzin pukul sepuluh pagi dan sampai sembilan puluh menit kemudian. Setelah jalan jalan mengelilingi kota kami pergi menuju daerah Reyhanli. Hati ini semakin penasaran ketika kawat-kawat perbatasan Turki Suriah mulai kelihatan. Sebelum sampai sana yang ada dibayangan adalah tank tank tentara kedua negara yang saling berhadapan. Tapi ternyata tidak, yang terlihat hanyalah padang rumput luas tak berpenghuni. Konflik terjadi lumayan jauh dari perbatasan.

Tiga anak Suriah
Long story short di sana kami bersalam-salaman bersama sanak saudara Ayah Emin. Dalam bercakap mereka lebih sering menggunakan bahasa arab. Kami bertiga hanya bisa lirik lirik ketika mereka mulai berdialog arab. Sore hari itu kami masak kebab ayam. Beberapa kali kami mendengar suara ledakan dari arah Suriah. Awalnya kami sedikit khawatir namun kemudian seorang saudara Emin berkata bahwa di sepanjang perbatasan telah dikawal oleh puluhan tank tentara Turki.

Rasa penasaran akan wajah-wajah pengungsi menemui ekspektasi ketika secara tak disangka tiga anak Suriah mampir ke rumah paman Emin yang sedang kami kunjungi. Dengan berbekal bahasa arab secuil kami bertanya tanya tentang nama, kabar dan sekolah mereka. Mereka untuk sementara tidak bisa bersekolah sampai konflik usai. Kami betiga hanya bisa berdoa semoga lekas selesai konflik di negeri itu. Kasian lah jika anak anak ini harus berhenti sekolah terus

Kamis, 19 Juli 2012

Siang di Kirikkale pada musim panas begitu menyengat. Saking panasnya sampai sampai badan tak lagi berkeringat. Bayangkan saja dari dua botol air mineral yang saya minum siang itu tak sedikit pun yang keluar. Semuanya seakan menguap diam diam. Mungkin saya berlebihan, yang jelas siang itu benar benar panas.

Hari itu saya dan beberapa kawan pergi ke Makro. Tempat yang lumayan happening di Kirikkale, kota kecil di tengah dataran Anatolia dengan 200.000 penduduknya. Makro merupakan pusat perbelanjaan terbesar kedua di kota ini. Kami baru saja menonton Buz Devri 4 ( atau Ice Age 4). Filmnya lumayan, lumayan membosankan.

Setelah menonton kami pergi ke bawah mencari es krim. Sambil menjilat kami duduk santai mengamati sekitar. Semua kami amati dari mobil berjalan hingga gadis berjalan. Seiring dengan datangnya bosan percakapan kecil bermunculan.

Selasa, 22 Mei 2012



Biri bana ‘Seni etkileyen ve sende iz bırakan olayı anlat’ deyince, hemen beynim kendimi ‘Gagas sen on dokuz yaşındasın, hala üniversite okumaya başlamadın, ne anlatsan?’ diye sorar. Yani o kadar hayatı yaşamadım ki geçirdiğim olayların etkili olup olmadığını bilemiyorum. Sadece onların unutulmaz olduğunu fark ederim. Fakat şöyle bir söz var ‘Unutulmaz olaylar büyük ihtimalle sende etkili oldu’. O yüzden size unutulmaz bir hikayemi anlatacağım.

On sene önce ben Avustralya’nın Sydney şehrinde kalıyordum. Yaklaşık yırmı bir aydır orada okuyarak kalıyordum. İlk geldiğimde ben çok az İnglizce biliyordum. ‘Good morning’, ’How are you?, ’My name is...’ veya ’I come from...’ gibi cumleler iyi ezberlemiştim. Ancak onların dışında çok konuşmazdım.

Minggu, 06 Mei 2012



The road was so full of people. It’s always really busy in Kizilay at this time of the day. My watch ticked right at seven o’clock. This massive wave of people coming out off their office really made four lanes of road plus a pair of pedestrian way far from enough. Cars' horns, people’s shouts, ambulance’s sounds, engine’s noises and exhaust’s smokes completed Kizilay’s rush-hour.

A part from it, people seems to have got used to the nightmare I am facing right now. Well that’s what I see. I’ve never lived in such a crowded place like Ankara. I’ve been to Istanbul and Jakarta but never have I stayed for a long time. After seeing this scene for almost ten months, I don’t think I would be able to handle and survive in big cities.