Sore malas di kamar 301 berjalan seperti hari hari
sekolah lain. Petidur siang di alam mimpi, para pemain dota yang berserakan di
lantai dan musisi gadungan yang terbaring di atas ranjang ranjang biru.
Panorama kamar kami semakin indah dengan gundukan cucian serta gantungan baju
pada pilar pilar dipan. Ujian-ujian sebentar lagi berlangsung, baik itu
nasional, lokal maupun internasional. Namun kami sudah mulai muak dengan soal
soal dari buku tes. Sebenarnya tidak banyak yang kami kerjakan hanya saja kami
butuh alasan agar bisa bersantai.
Jadi begitulah sore ini, santai. Kebetulan Liga
Semesta sedang dalam jeda karena lapangan yang sudah berubah menjadi ladang basah. Tiada rumput hijau tersisa, hampir seluruhnya terselimut pekat
coklat. Untuk itu para siswa membiarkan sehari dua hari jeda agar rumput-rumput itu membersihkan diri mereka sendiri. Cukup masuk akal jika dipikir
tetapi ide tersebut tidak pernah benar-benar terwujud. Satu dua hari kemudian
tetap saja lapangan kebanggaan di depan halaman sekolah itu tertutup tanah.
Kembali ke kamar, petidur siang perlahan kebangunan.
Jam menunjukan pukul empat sore, waktunya untuk ibadah sholat ashar. Jam dinding
kamar kami rusak beberapa hari yang lalu. Jarumnya berhenti berputar dan ketika
kami hendak mengganti baterenya, ia lepas dari pegangan Endo lalu membahana.
Tutup kacanya lepas dan pecah. Sebenarnya ada aturan yang berkata bahwa barang
siapa memecah sebuah kaca jam dinding maka seluruh anggota kamar harus membayar
puluhan ribu rupiah. Karena semester dua hampir berakhir peraturan tak begitu
ditegakkan lagi. Alhasil kami tetap aman saja dengan jam pecah tadi. Jadi jam
yang mengingatkan kami akan waktu sholat kala itu adalah jam handphone si
Irfan.
Irfan bangun dari mimpi siangnya lalu disusul oleh
Aswin dan Braja. Diriku masih terpaku pada alunan instrumental grup band Dream
Theater. Biasanya Aswin akan berkomentar “Lagu sing ono lirike to ndes”. Siang
ini dia tidak sempat karena langsung pulas sehabis kelas. Yang terakhir
bangun sore itu adalah Anggono.
“Sholat yok ndes” Ajak Braja pada yang lain.
Kamar diam dan hanya ada lirik lirik terjadi antara
kami yang mendengar.
“Sholat yok cok” Ajan Irfan kali ini.
Barulah kami menanggapi. Braja memang sering kami
kerjai, namun sebenarnya ia adalah kawan yang baik. Hanya saja ide ide yang ia
sampaikan sering tidak sejalan dengan yang lain.
“Yo yo” Jawab Hendra tetap sibuk dengan mouse dan
laptop toshibanya. Ia hanya ingin memuaskan ajakan Irfan tanpa harus
melakukannya. Di sampingnya ada Huda yang sama sama sedang main dota.
Meninggalkan Hendra dan Huda kami keluar kamar menuju
mushola yang hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari kamar kami. Sebenarnya
ada sholat jamaah jam tiga tadi dan adzan pun jelas terdengar karena alat
pengeras suara diletakkan di lorong depan pintu kamar kami. Sebagai kakak senior
seharusnya kami mencontohkan adik adik kelas dengan baik.
“Halah sing penting ki berjamaah, telat syitik rakpo”
saut Redhy seolah mengerti dengan isi kepala ini.
Keluar pintu kami mampir ke kamar seberang lorong untuk
mengajak mereka yang belum sholat. Dari kamar itu kami mendapat dua jamaah.
Mereka adalah Nonos dan Mirzandi. Rombongan lalu melanjutkan perjalanan sepuluh
meter ke arah mushola. Sesampainya di sana kami bertemu dua kawan lain yaitu
Ariza dan Djomi. Mereka bergegas lari ke kamar mengambil sarung kemudian
menyusul kami di mushola. Satu per satu selesai wudhu dan sampailah kami pada
ritual memilih imam. Ritual ini selalu seru karena melibatkan sedikit
keberuntungan. Sore itu kami menyeleksi imam melalui berbagai tes.
“Yang duduk terakhir jadi imam” kata Mirza
Semua duduk dan tak ada yang tertinggal. Belum sempat
mengambil nafas salah satu dari kami segera berkata.
“Yang paling depan imam” pinta Djomi
Segera semua mundur perlahan. Namun semua kemudian
mundur, maka terpaksa kami berlari ke arah tembok belakang mushola. Lagi lagi taka
da yang terseleksi menjadi imam. Kemudian,
“Yang paling belakang imam” tegurku
Lagi lagi kami berlarian berlomba meraih tembok depan
mushola. Tak ada yang tertinggal dan seleksi imam terus berlanjut.
“Yang ga pegang Nonos jadi imam”
Semua bergegas menggenggam kepala Nonos. Permainan
semakin tak masuk akal namun sampai pada titik ini sang imam belum juga
terseleksi.
“Ojo ngene lah rak adil” Saut Anggono
“Yowes, yang jongkok terakhir imam” teriak Ariza
Semua langsung pada posisi jongkok dan untuk kesekian
kalinya imam belum juga terseleksi.
“Wes wes, aku aja sini yang jadi imam” kata Aswin menjadi pahlawan.
“Wedyan, Aswin imam ndes” kata Braja. Semua terdiam
dan hanya tatap mata yang terjadi di antara kami.
Irfan membaca komat dan mulailah ibadah sholat asar
kami. Semua berjalan khusyuk sampai rakaat terakhir. Ketika kami sedang duduk
tahiyat akhir tiba tiba saja Aswin menengok ke belakang.
“Ndes aku lali wudhu ndes” katanya lirih menyesali
kebodohannya.
Berbagai reaksi muncul dari semburan kata kasar
hingga luapan tawa.
“Ola pekok”
“Kriting Cacat”
“Mental”
“Wakakakaka”
“Win win, iso ngono lho”
“Ass…….”
“Ngene iki imam”
“Idiot”
“Very clever”
“Ola pinter imame”
“Bahahahahaa”
“Bhihihihi” tawa Braja bergemuruh, kami tiba
tiba diam dan kondisi kembali normal. Untukng saja ia bersuara, kalau tidak
mungkin saja luapan emosi kami baru berakhir ketika waktu maghrib tiba. Kami semua kembali pada posisi
masing masing namun kali ini Nonos lah yang menjadi imam. Selamat Nos kamulah
imam hari ini.
Aswin adalah orang aneh yang berdiri paling kanan |
0 komentar:
Posting Komentar