Minggu, 03 Oktober 2010


“Kiri Pak” sahutku kepada pak supir angkot. Angkot menepi dan aku pun turun dari pintu selebar 120 cm x 50 cm di sebelah kiri angkot dan memberikan uang selebaran seribu kepada pak Supir. Kemudian aku melanjutkan perjalanan rutin pagiku sejauh tiga ratus kilometer menuju sekolahku SMP N 1 Purwokerto. Melewati teduhnya jalan Merdeka aku berjalan dengan kepala sedikit menunduk melihat trotoar yang bersih namun terkadang kujumpai sehelai sampah yang di buang oleh orang orang. Aku berjalan terus melewati pasar yang tidak begitu ramai kemudian sampailah di perempatan Palma. Seorang pria yang berada di perempatan itu seperti biasa berjalan terseret seret ke tengah perempatan saat lampu merah. Pria itu telah bertahun tahun berada di situ sejak aku kelas tujuh hingga sekarang kelas sembilan tanpa bisa bicara, meminta minta kepada setiap mobil yang dijumpainya di lampu merah itu.


Selang 50 meter kemudian sampailah aku di sekolahku, tempat belajar, bermain, berteman selama lebih dari dua tahun terakhir. Bu Polwan seperti biasa bertugas di depan gerbang sekolah membantu anak anak yang datang dari seberang jalan. Beliau dibantu oleh beberapa anggota PKS (Patroli Keamanan Sekolah). Letak sekolah kami memang berada tepat di jalan Jendral Sudirman, salah satu jalan teramai di Purwokerto. Tanpa bantuan Bu Polwan dan anggota PKS menyebrang jalan bagaikan menyebrang lautan dengan resiko tenggelam di tengah tengah. Gerbang sekolah dijaga oleh Pak Satpam yang ramah menyapa. Sekitar pukul 06.30, Pak Joko akan berdiri di depan gerbang mengecek siswa yang menggunakan pakaian atau atribut yang tak semestinya. Aku yang datang awal biasanya tak kena inspeksi kecil ini.
Berjalan terus memasuki komplek SMP 1 melewati tempat parkiran sepeda yang penuh dengan berbagai merk. Mereka tertata sangat tak rapi mengahadap dinding timur sekolah. Kemudian sampai di tengah halaman dalam sebelum akhirnya sampai di kelasku yang terletak di pojok utara, bersebelahan dengan lab IPA. Kelasku berukuran lebih kecil dari kelas kelas lain karena jumlah siswanya lebih sedikit. Jika kelas lain terdiri dari 40 sampai 45 siswa, penghuni kelasku hanya berjumlah 25 orang. Namun kelasku memang kelas khusus, selain jumlah siswa yang sedikit kami memiliki dua AC yang tak dimiliki kelas lain dan jam pelajaran yang berbeda dengan kelas lain.

Pagi itu belum banyak yang datang, biasanya aku datang nomer tiga atau empat setelah Abner atau Andi. Kemudian disusul pasangan Piza dan Reza yang datang berdua. Mereka telah lama berpacaran dan seperti pasangan lain kadang mereka terlihat sangat romantis namun tak jarang pula mereka bertengkar bagai anak anak yang berebut mainan. Semakin siang semakin banyak yang berdatangan. Jika ketika pertama kali masuk tadi suasana kelas sepi bagai kamar mayat, pukul 06.40 kelas berubah ramai seramai warung bakso Pak Jito. Gerombolan Ghany dan kawan kawan yang terdiri dari Rio, Said, Randi, Erras, Prakas, Willy, Ririh dan Alfian biasanya datang pada puku 06.50 berkonvoi menunjukan supremasi sebagai kelas sembilan yang dominan. Namun mereka tetap menapak bumi tak bertindak sesuka layaknya penguasa di sekolah lain yang tega memeras adik-adik kelas.

Pukul 07.00 bel berbunyi dan semua siswa berbaris di depan kelas menunggu kedatangan guru jam pertama. Kami masuk kelas dan memulai pelajaran, denah kelas kami yang terdiri dari tiga barisan tak berubah banyak dari hari ke hari. Barisan paling kiri diisi gerombolan Ghany cs termasuk aku, Reza, Fafa dan kadang juga Awi. Baris tengah diisi siswi putri yaitu Ocha, Yulia, Rosi, Delima, Asri, Mega, Zelika, Piza, Melodia dan Arin yang berjumlah hanya sepertiga dari kelas kami dan baris yang paling kanan diisi gerombolan anak yang pendiam seperti Andi, Abner, Agung, Hanu, Oky, Gandi ditambah beberapa gerombolan Ghany cs yang tak cukup untuk duduk di barisan kiri. Bisa dikatakan sangat jarang kami mengikuti pelajaran dengan hikmat karena selalu saja ada yang berbuat. Begitulah kelas kami, ketika kebosanan mencapai puncak, kami yang duduk di pojok belakang kiri biasanya bermain kartu secara sembunyi sembunyi. Meskipun kadang kami tertangkap dan kartu kami di sita kami tetap saja membeli kartu lagi dan bermain saat pelajaran.

Sekitar jam sembilan istirahat pertama selama 15 menit dimulai. Kami biasa nongkrong di depan kelas sambil bermain gitar yang dibawa Randi dan Said. Sambil bernyanyi nyanyi kami menggoda pengunjung warung terbuka yang berada tepat di depan lab IPA di samping kelas kami. Ibu warung sudah sangat kenal dengan kami semua apalagi kami selalu menjadi pembeli yang baik dan selalu membayar apa yang kami beli. Kami juga mengamati lingkungan sekitar melihat tingkah tingkah teman dari kelas lain yang kadang aneh dilihat. Baru baru ini anak anak dari 9C membuat sekumpulan parkour yang bermain setiap istirahat. Mereka jadi tontonan baru bagi kami, kami selalu mengawasi mereka waspada akan kemungkinan kudeta yang akan mereka lakukan kepada Ghany cs.

Siswa putri kelas kami tak begitu eksis mereka lebih sering diam di kelas. Kalau dilihat dari kecantikan bisa dibilang Ocha lah pemenangnya. Dia yang waktu itu masih berstatus berpacaran memang bisa dikatakan menjadi primadona kelas kami dengan postur kecil bersuara cempreng. Tokoh yang paling disegani jelas Ghany dan mungkin yang paling sering dipukuli adalah Abner. Mengingat sikapnya yang agak mengarah kewanitaan dan sering beradu mulut kepada sejumlah gang Ghany, dia menjadi sasaran empuk untuk dipukuli. Zelika mendapat predikat yang terdiam, mungkin bisa dibuat survei bahwa zelika hanya mengeluarkan sekitar 10 kata per jam. Sangat sedikit untuk kalangan siswa SMP yang lagi seneng senengnya ngobrol.

Kami memang berbeda dari kelas lain yang mengalami pengacakan di tahun kedua. Kami sekelas tak pernah berubah dan selalu bersama sama. Ini menjadikan kelebihan tersendiri karena kami begitu dekat satu sama lain. Meskipun tak jarang terjadi keributan. Begitulah kehidupan kelas 9F setiap harinya di SMP 1 Purwokerto. Belajar tanpa beban dan selalu menganggap sebuah hari sebagai party. Kami begitu menikmati rutinitas kami sampai akhirnya tibalah Ujian Nasional yang menandakan perjalanan hidup kami di SMP 1 akan selesai.

Menjelang UN, setiap sorenya diadakan tambahan belajar sampai pukul 15.00. Seluruh kelas sembilan dijejali berlusin lusin soal prediksi UN. Kami semua dihantui rasa cemas karena tahun kemarin ada dua siswa yang tak lulus UN. Ini memang merupakan penurunan mengingat sejarah panjang SMP tertua di kota Purwokerto ini selalu menjadi nomer satu di kabupaten dengan kelulusan seratus persen. Kelas kami mendapat perhatian tersendiri karena dianggap nilainya paling rendah. Tak jarang guru guru menceramahi kami saat pelajaran mengingatkan akan betapa malunya SMP 1 bila sampai ada yang tak lulus.

Tak terasa kami memasuki minggu UN. Semua tegang mengingat semua ancaman dan cerita tentang bagaimana ngerinya Ujian yang dilaksanakan serempak se-Indonesia itu. Hari pertama semua berjalan lancar dan tak ada kasus kasus mengerikan seperti dikeluarkannya seorang peserta atau adanya pengawas polisi yang digosipkan akan turut mengawasi jalannya ujian. Begitu pun hari berikutnya dan sampai tibalah saat Ujian Nasional matematika. Seusai ujian banyak siswa siswa yang menangis menyesali pilihan jawaban yang salah. Saat itu Ocha juga menangis, sepertinya dia lupa membulatkan atau lupa dengan suatu jawaban. Teman-teman sekelas mencoba menenangkannya. Said dan Reza juga sepertinya menyesali beberapa jawaban mereka.

Yang sudah terjadi memang tak bisa dirubah. Kami semua hanya bisa melanjutkan Ujian sampai selesai. Seluruh angkatan kelas sembilan terlihat begitu gembira saat ujian hari terakhir usai. Meskipun belum ada pengumuman lulus, namun kami semua lega karena satu tanggungan telah kami selesaikan. Kami tinggal mengerjakan ujian ujian sekolah dan ujian praktek dan kemudian menunggu pengumuman. Kami mengadakan acara perpisahan untuk angkatan kami. Di sanalah aku dapat melihat wajah wajah sedih yang menyadari bahwa perjumpaan dengan teman teman SMP sudah benar benar usai. Satu satunya acara setalah perpisahan adalah pengumuman kelulusan. Setelah itu kami semua akan terpencar ke SMA yang berbeda beda.

Kelas sembilan F yang telah bersama selama tiga tahun juga ikut merasakan kesedihan ini. Kami tak hanya tersebar ke SMA yang berbeda beda, ada beberapa dari kami yang harus meneruskan ke luar kota. Aku dan Delima melanjutkan ke Semarang, kemudian Awi ke Jakarta, Ocha melanjutkan ke Jogja dan Melodia ke Bogor. Selain dari kami tersebar di beberapa SMA di Purwokerto seperti SMA 1, SMA 2, SMA 3, SMA 4, SMA 5 sampai SMK telkom. Seperti kata orang bahwa “Kita baru bisa menyadari betapa kehadiran sesorang itu sangat berarti ketika kita sudah berpisah”. Begitulah perasaan yang aku rasakan setelah lebih dari dua tahun lulus. Aku sangat merindukan teman teman kelasku saat SMP dan berharap bisa berkumpul lagi seperti sedia kala.

0 komentar:

Posting Komentar