Minggu, 16 Juni 2013


Pagi-pagi adzan berkumandang sebelum para ayam jantan bangun. Hanya diriku dan seorang kawan bernama Januar terbangun di kamar kami. Anggota kamar lain sepertinya belum mau menyelesaikan mimpi-mimpi mereka. Gelapnya hari dan merdunya alunan sepasang kipas angin masih mengeratkan selimut kawan-kawan. Para pembina juga belum terdengar langkah kakinya. Nampaknya asrama baru akan benar-benar bangun setengah jam kemudian.

Mata ini masih berusaha keras membuka kedua tutupnya. Sementara tangan kanan dan kaki kananku baru mulai bisa bergerak karena sedikit lumpuh kehilangan aliran darah. Itulah resiko tidur miring beralaskan dua anggota tubuh tadi. Meskipun nyaman, rasa semutan harus jadi bayaran.

Di dalam gelap aku dan Januar melangkah menghampiri lemari kami yang saling bersebelahan. Karena masih gelap, kami berjalan meraba raba benda yang ada di sekitar. Sebenarnya ada sedikit cahaya yang masuk dari lubang yang terdapat pada pintu masuk. Namun pantulan sinar dari lubang tersebut belum cukup terang untuk mendukung kerja mata kantuk kami.


Lubang itu biasa digunakan para pembina untuk mengawasi kami dari luar. Biasanya malam hari sebelum kami tidur, para pembina akan mendatangi satu per satu kamar tanpa sepengetahuan kami. Lalu dari lubang-lubang itu mata mereka akan singgah, menyelidiki apabila ada anggota kamar yang belum mengumpulkan handphone.

Di antara kegelapan tadi, kakiku secara tidak sengaja menyandung kaki Januar. Alhasil ia terselip sedikit dan hampir terjatuh. Untung saja ia segera menggapai lemarinya. Kejadian itu menghasilkan beberapa bunyian yang nyaris membangunkan teman-teman. Beberapa dari mereka sempat berkeluh “Opo to kui………..”, “Hoaaahhmm…”. Tetapi tak lama kemudian mereka terlelap kembali.

“Sorry tun, gak liat” Aku meminta maaf lalu melanjutkan urusanku.
*(Januar lebih akrab dengan panggilan kartun)

Setelah sampai pada lemari, segera kuambil alat mandi dan bergegas keluar dari kamar yang gelap itu. Kedua mata ini segera terbuka mendapati lampu yang menyala dari atas langit-langit koridor. Ketika hendak membelokan diri ke arah kamar mandi, Mirza menyapa sambil berlari lari kecil di hadapan cermin yang tergantung pada dinding luar kamar kami.

“Selamat pagi saudara” sapanya dengan suara melengking dan senyum badut khasnya

“Mir… Lapo we?” tanyaku sedikit heran dengan tingkahnya

“Jogdipa” katanya

“Jogdipa???” tanyaku kembali

Tak lama kemudian muncul Ariza keluar dari kamar yang berada di seberang kamar kami.

“Tang…?” tanyaku menoleh *(kami memanggilnya kentang)

“Selamat pagi saudara. Ayo kita jogdipa” katanya menirukan gaya mirza.

Sekarang terdapat dua orang sedang berlari-lari kecil di hadapan mata kantukku. Karena tidak paham dengan maksud mereka, kugaruklah kepala ini.

“Jogdipa cok, jogging di pagi hari, bahahaha” tawa Mirza menjawab.

Mereka berdua saling tos kemudian pergi menuruni tangga berlari. Ada ada saja ulah mereka di pagi gelap ini.

Perjalanan untuk mandi dilanjutkan. Mengambil handuk di ruang penjemuran lalu masuk kamar mandi. Kamar kami dan kamar mandi berada di lantai tiga atau lantai paling atas gedung asrama. Perlu diketahui, langit-langit ruangan di lantai tiga berjarak lebih tinggi dari lantai lainnya. Hal ini berdampak pada ukuran lubang sirkulasi udara kamar mandi. Terdapat lubang ventilasi yang lebih besar di kamar mandi lantai tiga dibandingkan kamar mandi lantai lain.

Dingin angin pagi segera menyambut langkah awalku ke kamar mandi. Dinginnya sedikit menyiutkan niatku mandi namun segera rasa itu pergi setelah melihat panjangnya antrian gayung. Jika tidak mandi sekarang maka diriku harus menunggu sampai jam enam pagi nanti. Padahal setelah itu masih ada jadwal sarapan pagi sebelum akhirnya pelajaran dimulai.

Di semesta kami memiliki budaya antri mandi yang unik. Malam hari setelah jadwal belajar bersama selesai, para siswa akan bergegas meletakkan gayung mereka di depan pintu bilik kamar mandi. Sistem antrian ini terbukti efektif karena selama penerapannya tidak ada yang berani curang melangkahi.

Lantai tiga asrama di huni oleh kurang lebih 70 siswa dan hanya terdapat sembilan bilik kamar mandi. Itu artinya setiap bilik akan menjadi tempat mandi delapan orang. Sholat subuh berjamaah baru akan selesai pada pukul 5.00. Jika setiap siswa dari delapan orang perkiraan tadi menghabiskan sepuluh menit mandi, maka antrian baru akan selesai sekitar pukul 6.15. Sekarang jam menunjukan pukul 4.30 pagi. Dan belum ada siapa pun yang masuk ke kamar mandi.

Dalam proses mengantri gayung, seseorang hanya boleh mendahului antrian apabila pemilik gayung di depan gayungnya tidak melihat aksi tersebut. Hal ini sangat jarang terjadi ketika semua siswa sudah bangun. Mereka yang nekad nyerobot akan dipermalukan bersama di kamar mandi. Namun kasusku dan beberapa kawan di sini sedikit berbeda. Karena belum banyak yang bangun pada pukul 4.30, kami bisa dengan leluasa memilih bilik mana pun sebagai tempat mencuci badan. Meskipun harus berdampingan dengan dingin angin pagi, cara ini kami pilih karena jauh lebih menghemat waktu. Selain itu kami bisa bersantai-santai di kala yang lain sibuk menunggu antrian mandi.

Sehabis mandi barulah terdengar adzan berkumandang di mushola asrama kami. Mirza dan Ariza tampak berkeringat berlari dari arah tangga menghampiri kamar mandi. Mereka berdua juga termasuk golongan pemandi pagi sebelum antrian panjang terjadi.

Adzan subuh di asrama tidak pernah sepi sendiri. Teriakan para pembina membangunkan teman-teman ikut menghiasai pembukaan hari.

“Ayo bangun ayo…..” teriak Serdar abi sambil mengetuk pintu

“Selamat pagi Gagas, Januar” sapanya kemudian

“Pagi bi” sapa kami kembali

Karena sudah mandi, biasanya aku sempatkan diri duduk mengamati tingkah teman-teman kamar yang masih terpejam matanya. Lampu kamar sudah menyala, Serdar abi segera memulai membangunkan mereka satu per satu. Ada mereka yang langsung bangun, ada pula yang bersandiwara menutupi mata. Braja dan Tryan adalah mereka yang langsung bangun. Mereka segera melompat turun dari ranjang dan berari ke mushola. Sementara itu Serdar abi melanjutkan tugas membangunkannya yang belum menemui hasil.

“Anggono, Endo, Huda. Bangun bangun” tegur Serdar abi

“hoaaaaahhhhm, iya bi siiip” jawab Endo. Anggono dan Huda masih asik dalam mimpi mereka, tak menghiraukan nyala lampu dan teguran Serdar abi.

“Shhht, Irfan, Aswin, Hendra…. Ayo bangun” lanjut Serdar abi

“Oke bi sebentar lagi” timpal Hendra

“Ayo ayo ayo, bangun teman teman…..”

“Iya bi sebentar, hoaaaaahmm” Jawab Irfan

“Mambu syuu…” saut Aswin mengejek.

Irfan adalah orang yang paling sering diejek di kamar kami. Oleh karena itu selepas Aswin mengejek, beberapa teman-teman melanjutkan menyerbu.

“He eh dung mambu cok…” saut Hendra

“Hoeeeekkk” kata Redhy

“Hidung, mambuuu!” saut Huda

“Mambuuu” kata Anggono

“Terima kasih Aswin” kata Serdar abi

Ejekan Aswin pada Irfan tadi justru lebih efektif membangunkan teman-teman yang lain.

“Irfan cepat bangun, gosok gigi” tambah Serdar abi

“Wah abi ikut ikutan nih….” Jawab Irfan

“Bahahahahahhaha” semua tertawa melihat kejadian itu

Beberapa menit kemudian komat berkumandang. Pada saat itulah semua baru benar-benar bangun mengambil wudlu lalu sholat berjamaah. Semua kejadian tadi menjadi bagian rutin peristiwa pagi di asrama. Kenangan yang tak terlupa selama tiga tahun tinggal bersama di asrama.

Irfan masih tidur



Categories:

1 komentar: