Jumat, 17 Desember 2010

Irfan memasuki ruang dua belas yang gelap. Dia datang paling awal malam itu seperti malam malam sebelumnya. Setelah sholat maghrib berjamaah di asrama, Irfan segera bersiap siap mengemas set bukunya dan bergegas ke ruang etud. Etud atau belajar malam dimulai pukul 18.45 namun ia telah terbiasa masuk lima belas menit lebih awal. Selepas menyalakan lampu, Irfan melangkah menuju tombol switch AC. "Tiiiiiit", begitulah bunyinya diikuti terbukanya katup-katup peniup udara. Diletakkan tas coklat di atas bangku tepat di samping botol minumnya. Satu per satu buku dikeluarkan. Dalam kondisi ini Irfan tak bisa diganggu. Saking fokusnya, Irfan tak pernah sedikit pun mengeluh jika ada seekor nyamuk nakal yang hinggap menggigit.


18.45 bel etud berbunyi, kawanan siswa nampak mulai berjalan bergerombol manyangking tas masing masing. Sebagian besar menutup kedua kaki mereka mengunakan sarung dan yang lainnya nyaman memakai celana training panjang. Hanya segelintir siswa bandel yang berani mengenakan celana di atas lutut. Mereka sudah tebal dengan omelan pembina yang setiap malam keliling memantau kegiatan belajar malam siswa. Djomi, Hendra, Bagas dan Ariza masuk ke ruang 12. Mereka adalah geng sarung yang tak pernah mengganti sarung saat etud, sudah tiga bulan sarung mereka tak dicuci dan jangan ditanya soal baunya. Sambil mengobrol tentang sepak bola, mereka duduk di pojok kanan belakang kelas. Cukup jauh dari tempat duduk Irfan yang berada di pojok kiri depan kelas. Menyusul di belakang mereka adalah Anggono dan Adit. Segera mereka tuju dua bangku kosong nomer dua dari belakang. Tak lama kemudian satu per satu siswa yang lain masuk dan lengkaplah mereka.

Pembina yang berjaga di tiap malamnya berganti ganti sesuai keinginan direktur asrama. Tak ada siswa yang tahu persis bagaimana Pak Yavuz merotasi pembina. Geng sarung selalu heboh di awal etud menanti siapa yang akan menjadi menjaga kelas. Malam itu kelas 12 a sedang sial, Anar abi yang tak begitu galak namun sangat cerewet jika ada yang ribut, tersenyum memasuki kelas kami. “Good evening guys” sapanya dengan logat Azerbaijan yang sangat kental. Sesekali membasahi bibir keringnya yang sedikit pecah pecah. Beliau sudah beberapa bulan menetap di Indonesia namun belum bisa menyesuaikan dengan iklim lembab khatulistiwa. Aneh memang karena biasanya bibir pecah pecah terjadi bukan di daerah tropis. “Wah payah ni yang jaga anar abi” saut Djomi dengan lantang. Anar abi yang tak begitu mengerti bahasa Indonesia hanya tersenyum melihat Djomi , menoleh ke yang lain seraya mengatakan “Ayo belajar, Jangan berisik”. Dua kata itu selalu beliau gunakan di kelas saat etud. Sangat monoton tanpa ada variasi sedikit pun.

Etud di mulai dan kelas mulai diam belajar kecuali geng sarung. Sebenarnya Anggono dan Adit tidak pula belajar. Mereka tidur nyenyak berbantalkan tas mereka masing-masing sehingga tak mengganggu yang lain. Geng sarung tak henti-hentinya mengobrol dan seperti biasa , Anar abi menegur memukul meja menyuruh agar tenang. Bila dihitung, mungkin sudah yang ke dua puluh kalinya Anar abi berteriak namun geng sarung tadi tak mendengarkan. Mereka tetap sibuk mengobrol sana sini. Reaksi datang justru dari teman-teman terutama Irfan. Ia merasa terganggu bukan lantarang geng sarung yang berisik, namun bunyi pukulan meja dan teriakan Anar abi lah yang membuatnya jengkel.

Geng sarung yang mulanya berniat untuk tak menghiraukan Anar abi akhirnya terbawa luapan emosi. Bagas memberi pesan berantai yang menyuruh agar teman-teman ribut semua. Awalnya hanya sedikit yang setuju, namun ketika pesan sampai di Irfan semua berubah pikiran. Apalagi teguran Anar abi semakin menjadi jadi. Dengan pengaruhnya Irfan menyatakan pro terhadap rencana busuk pengusiran Anar abi. Dia menekankan bahwa satu satunya cara agar kita bisa tenang belajar adalah dengan mengusir Anar abi. Caranya dengan membuatnya frustasi dan putus asa perlahan.

Suara suara aneh mulai menghiasi kerumunan kelas yang lalu lalang tak beraturan berjalan dari satu bangku ke bangku lain dengan alasan bertanya solusi soal. Anar abi menghampiri satu per satu bangku namun tak ada yang berhasil. Kelas semakin ramai sampai pada titik di mana tak satu pun dari kami yang belajar. Anar abi yang gerah akhirnya kalah menyerah. Beliau meninggalkna kelas sambil bersumpah akan mengadukan kejadian ini ke direktur asrama.

Tak satupun dari kami yang peduli. Semua bersorak-sorai amat gembira melihat Anar abi pergi. “Hore, hore...”. Kami kemudian menghabiskan waktu etud yang tinggal menyisakan 20 menit dengan tenang dan damai. Kaum belajar lanjut belajar, geng sarung kembali mengobrol dan tentu saja Anggono dan Adit terkapar di atas tas mereka lagi. Etud berakhir bahagia meskipun akhirnya kami kena marah direktur asrama.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar