Kamis, 17 Juli 2014

Aku pernah bermain dengan usilnya sampai kawanku enggan menemuiku lagi.
Waktu itu kami sedang bermain petak umpet siang hari, permainan itu begitu menghibur
sehingga kami memutuskan untuk melanjutkannya hingga sore menjelang senja.
Sayangnya kami begitu ketagihan hingga malam tiba pun kami tetap bermain.

Tentu saja permainan kami diselingi istirahat sholat dan makan. Jarak rumah kami berdekatan, oleh karena itulah tak menjadi masalah bagi kami untuk berkumpul kembali selepas makan, atau sehabis sholat.
Ketika malam tiba permainan menjadi makin seru karena gelap. Gelap membantu yang bersembunyi,
mereka menjadi begitu leluasa menghindar dari si malang penjaga pos penangkapan.

Memasuki malam gelap, energi kami berkurang namun keusilan justru datang. Sekongkol dalm persembuyian hingga saling menakuti terjadi di antara kami. Lebih dari itu, aku menjadi yang terusil dengan ide ide ingin menakuti yang lain. Tibalah saat seorang begitu menarik hati untuk diusili. Maka terlaksanalah rencana menakuti, dari semak, lalu serangan sampai muncul jeritan.

Rencana itu berhasil, dan mangsaku terjatuh terkaget-kaget oleh kemunculanku dari semak.
Sayangnya dia menangis dan mulai mengutukiku. Yang lain hanya bisa diam, beberapa berkomentar. Kebanyakan dari mereka menyalahkanku.
Padahal niatku hanya bermain, namun ternyata tak semua mengerti, termasuk dia.

Permainan kami semua bubar karena tangisnya, kini ia pergi berlari menuju rumah.
Yang lain masih di situ, mencoba meneruskan lagi.
Namun ketika pergi seorang, maka semangat lainnya menghilang.

Sehari berlalu, ia belum mau muncul, dua hari hingga seminggu pun masih sama.
Dia betul betul tak suka dengan laku jailku.
Kemudian beberapa bulan berlalu, dan masih marahnya padaku.

Kata kawanku ia tak marah, hanya enggan bermain lagi denganku.
Begitulah akhirnya, jailku menjadi bencinya yang tak hilang hingga berbulan lama.
Barulah, setelah entah berapa aku lupa, ia memaafkan.
Namun tetap saja, lakunya tak sama lagi dengan yang lalu.

Kini kami terjebak dalam sebuah ketanggungan.
Yang tertanggungkan sebenarnya dia, karena sungguh berpuluh maafku melayang sudah.
Ketanggungannya sungguh tak enak dilihat, apalagi didengar.
Seperti pertemanan yang diambang kehabisan.

Kawan, berhati-hatilah saat bercanda..................................................
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar