Sabtu, 10 Juni 2017


Siapa yang tidak merasa simpati pada kawan yang punya prestasi namun keluarganya tidak sanggup membiayainya bersekolah. Beruntunglah mereka yang lahir dari keluarga mampu. Beruntung pula mereka yang tidak mampu lalu mendapat beasiswa atau santunan. Selama enam tahun menimba ilmu di Turki, saya banyak menjumpai teman-teman yang berasal dari keluarga pas-pasan. Mereka lalu mendapatkan beasiswa dari sebuah yayasan di sini. Namun nasib yayasan tersebut berakhir tragis pada tahun 2016. Mereka dipaksa tutup karena diduga ikut serta dalam usaha kudeta Negara Turki. Nasib teman-teman ini pun menjadi pertanyaan. Pilihan mereka saat itu hanya dua, pulang ke Indonesia dan menyarah, atau bertahan sampai ada bantuan dari pihak lain datang.

Situasi ini untungnya tidak berlangsung lama. Hanya dua bulan pasca kejadian ditutupnya yayasan itu, pemerintah Indonesia bertindak tanggap dengan memberikan bantuan pada para mahasiswa yang menerima nasib malang di Turki. Tak tanggung-tanggung, bantuan ini meliputi uang sekolah, uang saku dan juga uang akomodasi selama satu semester. Wajah muram mahasiswa yang terputus beasiswanya kembali ceria. Mereka bahagia karena kesempatan menyelesaikan pendidikan di negeri seribu menara ini belum sirna. Sebenarnya ada sekitar 500 orang mahasiwa yang punya afiliasi dengan yayasan terduga itu. Namun karena dana yang ada hanya diperuntukan bagi mereka yang kurang mampu, maka diadaan pendataan supaya hanya yang benar-benar kurang mampu saja yang mendapatkan bantuan tersebut.

Setelah proses pendataan ketat, akhirnya sekitar 250 mahasiswa menerima bantuan ini. Meskipun dapat dikatakan sukses menyelesaikan masalah, ada beberapa hal yang menjadi ganjalan. Usut punya usut, dari sekian banyak mahasiswa yang menerima dana ini, ternyata ada beberapa di antara mereka yang terindikasi berasal dari keluarga mampu secara finansial. Tentu saja hal ini dianggap wajar, karena parameter seleksi data yang ada, disiapkan dalam jangka waktu yang pendek. Sebagai mahasiwa yang ikut memantau proses seleksi ini, saya juga menganggap maklum. Sebagai bentuk tanggung jawab, pihak penyebar dana bantuan itu menyatakan komitmen jika semester yang akan datang ketika bantuan dating lagi, akan diadakan pendataan yang lebih merinci.

Meski sengketa bantuan “salah sasaran” sudah mencapai titik damai. Ternyata ada oknum penerima beasiswa yang berulah. Salah tiga dari beberapa orang mampu penerima bantuan ini, memutuskan untuk jalan-jalan keluar negeri. Dan destinasi mereka tidak main-main, negara-negara Eropa barat yang terkenal mahal. Parameter seleksi penerima dana bantuan yang kurang akurat dapat dimaafkan karena waktu yang terbatas. Namun kelakuan beberapa oknum ini tidak bisa dimaafkan dan telah membuat keruh susasana. Hal ini bertambah parah karena mereka mempublikasikan perjalanan itu melalui unggahan-unggahan foto di berbagai media sosial. Potret kebahagiaan mereka yang dilatar belakangi pemandangan kota antik ala Eropa barat tersebar luas di jaringan internet.

Kelakuan ini membuat orang heran akan tingkat kepekaan mereka terhadap asal-usul dana bantuan tersebut. Karena jika mengingat bahwa dana itu berasal dari pendapatan pajak negara, maka mereka sebenarnya bertanggung jawab pada ratusan juta pembayar pajak ini.  Bayangkan apa yang akan dikatakan masyarakat jika uang hasil dari jerih payah lintas golongan rakyat Indonesia digunakan untuk jalan-jalan ke Eropa barat. Golongan ini meliputi rakyat yang mempunyai penghasilan lima jutaan per hari sampai mereka yang punya gaji ratusan juta. Tentu ini masih belum parah jika dibandingkan dengan kelakuan anggota DPR yang sesuka hati melakukan studi banding ke luar negeri dengan fasilitas kelas satu menggunakan uang rakyat. Namun sikap foya-foya yang dilakukan oknum penerima dana bantuan ini yang tanpa memikirkan asal muasal uang itu adalah awal ideal kebiasaan korupsi kelas anggota DPR. Kalau sikap ini dibiarkan tanpa kritik keras, ia akan menjadi kebiasaan yang dianggap benar.

Jika ketidakbenaran aksi mereka jalan-jalan masih dipertanyakan, mari kita diskusikan lebih lanjut di sini. Pertama: jalan-jalan adalah bentuk kebutuhan yang bersifat tersier. Yaitu seseorang akan melakukannya jika telah memenuhi kebutuhan dasar dan sekunder seperti sandang, pangan, papan dan biaya sekolah. Kemampuan finansial seseorang diukur dari bagaimana mereka mampu memenuhi berbagai hierarki kebutuhan ini. Orang tidak mampu adalah mereka yang bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Orang yang kurang mampu ada di hierarki berikutnya yaitu mereka yang telah memenuhi kebutuhan dasar, namun belum bisa memenuhi kebutuhan sekunder seperti sekolah, kendaraan dan kesehatan. Hierarki ini berlanjut terus, berjalan seiring kemampuan ekonomi seseorang. Semakin mampu, maka ia akan bisa mencukupi kebutuhan dasar, sekunder, tersier dan seterusnya. Kembali pada pembahasan utama topik tulisan ini yaitu dana bantuan yang diberikan pemerintah RI pada sejumlah mahasiswa di Turki. Dana ini sebenarnya ditujukan pada mahasiswa yang kurang mampu. Dengan kata lain, dana itu diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan sekunder. Jadi jika uang ini digunakan untuk keperluan tersier seperti jalan-jalan, maka telah terjadi kesalahan penggunaan. Apalagi jika jalan-jalan ke Eropa barat.

Tentu akan muncul sebuah argumen pembelaan, bahwa kita tidak pernah tahu apakah yang terpakai itu adalah uang dana bantuan, ataukah uang dari keluarga sendiri. Alasan ini memang benar adanya, namun seorang mahasiswa yang “kuliah di luar negeri” harusnya bisa memikirkan etika dalam menggunakan dana ini. Jika keluarga para oknum ini memang mampu memberi uang ekstra untuk jalan-jalan keluar negeri “eropa barat”, lalu kenapa mereka berani mendefinisikan diri sendiri sebagai kalangan kurang mampu yang layak mendapatkan dana bantuan pemerintah RI? Bukankah ini sebuah tindakan di luar batas? Parameter yang disusun oleh panitia penyebar beasiswa boleh jadi kurang akurat, namun kelakuan mereka yang berasal dari kalangan mampu untuk mengambil dana bantuan adalah kurang ajar. Apalagi sampai hati menggunakannya untuk jalan-jalan, siapapun berhak menyematkan nama-nama buruk untuk mereka.

Kasus ini tidak serta merta menyimpulkan bahwa banyak mahasiswa yang tergolong mampu, berani mengambil dana bantuan. Buktinya ada sekitar lima orang yang awalnya masuk ke dalam daftar mahasiswa penerima dana bantuan, yang memutuskan mengundurkan diri dengan alasan mereka merasa berasal dari keluarga masih mampu. Tindakan penuh kehormatan ini patut diberi apresiasi di tengah munculnya kasus penyelewengan dana oleh beberapa oknum.


Bisa jadi benar, bahwa oknum yang disebutkan di tulisan ini sebenarnya jalan-jalan menggunakan dana sendiri. Namun keberadaan nama mereka dalam daftar penerima dana bantuan, dan waktu liburan ke “Eropa Barat” yang mereka habiskan hanya berselang beberapa waktu setelah dana bantuan itu cair memberikan impresi lain pada kita yang mengamati dari sekitar. Semoga kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih peka terhadap masalah penggunaan dana pemerintah, sejak masih menjadi mahasiswa.
Categories:

1 komentar:

  1. itu oknum mahasiswa yang jalan jalan ke Eropa Barat menggunakan uang bantuan yg diamsudkan untuk yg tidak mampu..bener bener tidak peka..

    BalasHapus