Rabu, 11 Januari 2012



Jadi tulisan ini bermula dari ajakan kolaborasi Mas Bukik. Saya kebetulan tertarik dan ingin bercerita tentang kisah hidup saya yang muter-muter. Saya pernah hidup dalam dunia rokok dan minuman keras tetapi akhirnya bisa keluar juga. Sekarang saya sedang mempelajari bahasa keempat saya di Turki. Saya ingin mengajak kawan-kawan kita yang masih merokok dan mabuk-mabukan untuk percaya bahwa siapa saja bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Dan tentunya sekaligus mengingatkan yang lain agar tidak mencoba-coba. Terus terang saya belum pernah cerita sama orang tua soal ini jadi kalau mereka tahu sekalian jadi pengakuan. Saya berharap kisah saya bisa memberi manfaat. 

Nama saya Gagas Pambudi Utomo dan biasa dipanggil Gagas. Nama Gagas sendiri sebenarnya kurang memiliki dasar yang jelas karena ketika Ibu ditanya mengenai proses penamaan saya beliau hanya menjawab bahwa ide nama Gagas datang begitu saja.
Sejak lahir hingga sekarang nama panggilan saya tetap Gagas. Namun hal yang sering terjadi adalah orang keliru memanggil saya Bagas. Sampai-sampai saya harus selalu mengingatkan ketika perkenalan bahwa “Nama saya Gagas bukan Bagas, G bukan B”. Dengan peringatan itu pun tak sedikit yang tetap memanggil Bagas. Mungkin karena nama saya tidak banyak digunakan di Indonesia sehingga rasanya akan lebih mudah diingat jika menggunakan panggilan Bagas yang sudah lebih populer lebih dahulu.

Saya terlahir dari keluarga kelas menengah. Kala itu Ibu dan Ayah adalah seorang guru. Kami tinggal di rumah yang kami bangun sendiri. Waktu pertama kali dibangun rumah kami dikelilingi sawah. Kami tidak mampu untuk membangun pagar sehingga kami menggunakan rangkaian bambu untuk membatasi rumah. Ibu berangkat ke sekolah dengan menggunakan vespa tahun 80an dan Ayah pergi menggunakan suzuki shogun tahun 90an. Kami masih menggunakan kompor minyak tanah. Kami memiliki sebuah televisi berukuran 14 inchi yang kami gunakan cukup lama. Karena kondisi inilah kedua orang tua saya tidak pernah memanjakan saya berlebihan. Saya selalu dituntut untuk hidup sederhana. Bahkan setiap sehabis makan tidak boleh ada tersisa sebiji nasi pun di piring.

Idul Fitri di Istanbul

Pada tahun 1998 kehidupan keluarga kami berubah. Ayah mendapatkan beasiswa S2 dan S3 ke Australia. Sejak saat itu kami bisa membeli apa yang sebelumnya tidak bisa dibeli. Ayah begitu menghemat beasiswa sehingga kami bisa memiliki mobil pertama. Kemudian beliau membangun dinding agar hewan sawah tidak lagi masuk ke rumah. Saya selalu terharu jika melihat ke belakang perubahan kehidupan kami yang serba pas menjadi berkecukupan. Dari perjalanan bersama Ayah Ibu lah saya menyadari bahwa nasib seorang itu bisa berubah asalkan ada kemauan dan aksi nyata. 


Perjalanan kehidupan saya amat sangat berwarna. Berbagai peristiwa-peristiwa yang saya alami begitu mempengaruhi pola pikir dan karakter Gagas yang sekarang. Namun dari semua itu ada tujuh momen yang benar-benar merubah seorang Gagas menjadi pribadi yang sekarang.

Yang pertama adalah pergi ke Australia. Pada tahun 2002 Ayah memutuskan untuk membawa kami sekeluarga ke kota Sydney. Kami tinggal di sana selama 21 bulan. Selama itu pula saya menempuh pendidikan di salah satu sekolah negeri. Di sekolah itu saya benar-benar merasakan perbedaan cara pembelajaran dari yang pernah saya dapatkan di Indonesia. Jika di Indonesia saya diberi LKS dan buku cetak untuk belajar. Para siswa SD di Sydney sudah mengenal internet. Bahkan tugas-tugas anak SD sudah dalam bentuk klipping. Kami mencari semua bahan dari internet. Selama pengerjaan tugas-tugas itu saya mulai mengenal google dan yahoo. Perpindahan ini membuka mata saya pada dunia. Dari perjalanan ini pula saya mendapatkan dasar Bahasa Inggris yang masih berguna hingga saat ini. 

Menjelang tahun baru 2004

Kami datang ke kota Sydney bukan pada saat yang begitu pas. Saat itu pemerintahan John Howard memutuskan bahwa setiap orang asing diwajibkan membayar biaya sekolah. Padahal sebelumnya semua gratis. Ayah sebenarnya telah menyiapkan kondisi ini. Namun manusia hanya bisa berencana karena Tuhanlah yang menentukan segalanya.

Pada pertengahan tahun 2003 kami kekurangan uang. Alhasil saya dan adik saya Gina tidak diperbolehkan sekolah. Saya yang masih berusia 10 waktu itu ikut serta berkerja bersama orang tua. Dalam satu minggu saya membantu Ibu berkeliling kota membagikan brosur-brosur ke rumah-rumah. Ibu yang tadinya hanya kerja di sebuah restoran Padang terpaksa menambah pekerjaan sebagai penyebar brosur. Pada minggu berikutnya saya mengikuti Ayah mengirim piza. Selain berkuliah beliau juga bekerja sebagai delivery boy. Sementara saya dan orang tua pergi bekerja Gina tinggal di rumah mengurusi adik laki-laki saya yang paling kecil Ghani. Saya ingin menangis jika mengingat masa-masa itu. Dalam hidup ini kadang kita harus melakukan hal-hal di luar kebiasaan untuk bertahan. Satu bulan setelah pengusiran dari sekolah itu Ayah mendapat pinjaman dari seorang kawan. Saya dan Gina kemudian bisa kembali bersekolah seperti sebelumnya.

Yang kedua adalah sewaktu SMP saya terpilih menjadi ketua OSIS di SMP Negeri 1 Purwokerto. Pada masa ini berbagai kegiatan saya jalani bersama rekan seorganisasi. Mulai kegiatan kecil seperti upacara bendera hingga Pentas Seni yang memakan jutaan biaya. Dari kegiatan organisasi saya belajar banyak mengutamakan kepentingan bersama dan bagaimana caranya bekerja secara kelompok. Menjadi ketua bukanlah sekedar menginstruksi anggota tetapi lebih ke bagaimana seorang bisa menggerakan orang lain tanpa harus memaksa.

Momen yang ketiga adalah ketika menjadi ketua OSIS, saya juga mengikuti geng motor dan terjun ke dunia band. Remaja memang sedang giatnya mencari identitas mereka dan salah satunya melalui pembentukan geng motor dan bermain musik. Saya tergabung dalam sebuah grup musik. Berbagai pentas kami ikuti namun tak satu pun yang bisa kami menangi. Dunia band membiasakan diri saya mengikut sertakan musik sebagai elemen penting dalam hidup. Jika musik tiada hidup akan berjalan tidak seimbang.

F1ZR di tengah

Kala itu orang tua saya memberikan sebuah motor F1ZR keluaran Yamaha. Kebetulan harga motor dua tak mendadak turun dan Ayah membeli motor itu dengan harga 3,5 juta rupiah. Saya mulai merokok dan sesekali minum minuman keras. Entah apa alasannya mungkin karena kawan-kawanku juga melakukan hal yang sama. Kebiasaan ini kemudian membuat saya tak hanya berteman dengan kalangan organisasi namun juga mereka yang selama ini dipanggil anak nakal. Saya juga sempat mendapat dua julukan yaitu ketua OSIS terkeren versi geng motor dan ketua OSIS paling ancur versi siswa lain.

Yang keempat adalah ketika salah seorang senior saya yang bernama Dharma membawa saya bergabung dengan Tiens. Di perusahaan Multi Level Marketing ini saya diajari bagaimana caranya bermimpi dan memenuhi target. Pada masa kejayaannya, saya pernah mendapatkan penghasilan 800 ribu rupiah sebulan. Bisnis itu terhenti ketika orang tua saya memutuskan untuk menyekolahkan saya ke SMA Semesta di kota Semarang. Bagaimana pun juga saya mulai berani bermimpi setelah bergabung Tiens.

Yang kelima adalah ketika saya masuk SMA Semesta. Ibu memutuskan untuk  menyekolahkan saya di asrama karena kelakuan saya yang sudah mengkhawatirkan. Dunia geng motor dan Tiens begitu merubah sopan santun saya. Awalnya saya menolak untuk pindah ke asrama namun ternyata di SMA Semestalah dunia kembali terbuka. Saya berhasil berhenti merokok dan menjauhi minuman keras. Pengetahuan agama saya meningkat dan ini berdampak pada hubungan saya dengan orang tua yang kembali membaik. Kehidupan di asrama menjadikan saya lebih peka terhadap orang-orang di sekitar.

Salah satu situs peninggalan bom di Hiroshima

Yang keenam adalah ketika saya terpilih dalam program AFS ke Jepang. Selama dua minggu di Negeri Sakura saya bertemu dengan teman-teman dari berbagai Negara. Mereka semua bercerita tentang Negara mereka dan saling mendengar kisah-kisah Negara lainnya. Dari perjalanan itu saya sadar bahwa dunia bukan Indonesia saja. Kita harus terbuka dan memahami dunia jika menginginkan dunia memahami kita.

Momen terakhir adalah ketika saya melanjutkan studi di Turki. Pada bulan Juli 2011 saya berangkat dari Jakarta menuju Turki. Dengan bermodal nilai SAT saya mendaftarkan diri di tiga perguruan tinggi. Saya kebetulan diterima di jurusan Teknik Geologi METU. Dua bulan setelah memulai kuliah saya menerima pengumuman beasiswa dari Pemerintah Turki yang mengharuskan saya belajar bahasa Turki selama satu tahun. Sampai saat ini saya masih belajar bahasa Turki dan baru tahun depan bisa memulai kuliah lagi. Orang tua saya sempat meragukan keputusan saya berhenti kuliah demi mendapat beasiswa itu. Saya kemudian berhasil meyakinkan mereka bahwa keputusan saya akan banyak memberi manfaat dan saya telah siap untuk mengambil semua resiko. Dibutuhkan keyakinan untuk membuat suatu keputusan meskipun mendapat tentangan dari orang terdekat. Saat ini saya sangat menikmati pelajaran Bahasa Turki yang memudahkan saya hidup di negeri ini.

Saya tidak menyesal dengan hidup saya. Saya justru sangat bersyukur telah bisa masuk ke semua dunia. Dari berorganisasi sampai mabuk-mabukan hingga kembali ke jalan yang benar.

Keluarga adalah benteng terakhir saya. Ketika dunia membenci atau menjauhi kita, keluargalah yang masih mau mengerti.

Saya yakin semua orang yang saya temui memang sudah ditakdirkan untuk membantu saya tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Dan kenyataan bahwa saya lahir di Indonesia di mana masalah ada di mana mana justru menantang diri untuk membenahi kedaan yang ada.

Kehidupan ini hanya terjadi sekali dan akan sangat sayang jika kita melewatinya dengan biasa biasa saja. Kata seorang kawan saya ‘Berani mati itu biasa, berani hidup itu yang mantap’. Setiap masalah jika bisa kita ambil pelajaran akan menjadi pemantap hidup yang hanya satu ini.

Saya adalah sebuah batu yang sedang dipahat menjadi patung. Setiap kecacatan akan ditambal namun tetap terlihat bekasnya. Bentuk saya baru akan terlihat ketika mati nanti. Di saat itulah orang mengerti patung apa saya ini. 

Tahun 2030 nanti gedung-gedung tinggi tidak hanya akan ada di Jawa. Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi juga akan memilikinya. Saya belum rela jika keindahan bumi Papua berganti keriuhan kota.  

Jika pemuda-pemuda super sekarang berhasil membenahi Indonesia, korupsi bukan jadi tajuk rencana lagi. Kemiskinan tetap ada namun jauh lebih sedikit.

Kita harus bergerak bersama. Saya ingin mengajak teman-teman menyumbang baik uang maupun waktu demi pendidikan Indonesia. Karena pendidikanlah yang akan mengangkat martabat suatu bangsa.

Saya belum bisa membayangkan biografi karena perjuangan saya belum selesai.

Dalam kabut kita tidak bisa melihat semua

Hari terakhir tahun 2011 ditandai dengan acara silaturahmi seluruh masyarakat Indonesia di KBRI Ankara. Ketika sesi istirahat tiba saya bergegas menuju toilet. Di sana ternyata sudah ada seorang teman menanti. Akhirnya saya ikut mengantri di belakangnya karena hanya ada satu bilik. Tak lama setelah itu dua orang menyusul mengantri di belakang saya. Lama menanti dan berulang kali kami ketuk pintu, kami beranikan membuka pintu yang ternyata tak terkunci. Kami semua merasa bodoh mengetahui bilik tersebut kosong.


Baca profil Bukik Bertanya lainnya di sini
http://bukik.com/2011/12/28/bukik-bertanya-undangan-untuk-berkolaborasi/
Categories:

9 komentar:

  1. Kalau niat untuk berubah dan menjadi lebih baik sudah besar pasti gak akan ada yang bisa menggoyahnya, semoga perubahan ini tetap bertahan untuk selamanya.

    BalasHapus
  2. Terima kasih komentarnya, saya juga berharap begitu
    Salam kenal :)

    BalasHapus
  3. Terima kasih, semua kisah orang itu inspiratif makannya ada program ini :)

    BalasHapus
  4. ya, tapi kamu menuangkannya dengan baik :)

    BalasHapus
  5. salut:D seneng bisa kenal sama kamu, haha

    BalasHapus
  6. inspiratif sekali..
    saya sangat menghargai perjuangan seseorang untuk berubah walaupun sekecil apapun.

    BalasHapus
  7. ,,menggugah hati,,
    keren bgt,,
    emg hdup tu btuh prjuangan..,

    BalasHapus
  8. Sudah sepuluh tahun berlalu, sepertinya perlu jilid II nih ;)

    BalasHapus