Ariza sedang dalam perjalanan pulang dari kuliah sore itu. Bersama kawannya Faiq menunggangi mobil hitam menelusuri padatnya lalu lintas kota Semarang. Sudah dua puluh menit mereka berada di jalanan namun mereka tak kunjung sampai, padahal kos-kosan mereka hanya berjarak sepuluh kilometer dari sekolah. Panas daerah pesisir dan bising lalu lintas bercampur jadi satu. Bunyi klakson dan suara pengamen bukan barang langka lagi di ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini. Tibalah mereka pada satu perempatan, kebetulan lampu merah menghentikan mereka untuk beberapa puluh detik.
Datanglah seorang pengemis meminta-minta. Mukanya pucat muram kusam, sekusam bagian badannya yang lain. Pakaiannya lusuh, kotor dan dekil berhiaskan sobekan-sobekan di bagian lengan dan dada. Benar-benar memancarkan hidupnya yang susah, jauh dari kecukupan. Tanpa berpikir lama Faiq segera memberi pengemis itu selembar uang seribu rupiah. Pengemis lalu berterimakasih dan berlanjut meminta-minta ke mobil lain. Sepuluh detik berselang, datang seorang pengamen menyanyikan sebuah lagu. Ia berpenampilan sama tragisnya dengan pengemis tadi, namun pengamen ini punya sesuatu yang berbeda. Ia masih punya sebuah gitar yang dapat menemaninya berdendang menghibur diri. Sekarang giliran Ariza yang memberi, dua koin pecahan lima ratus rupiah ia sodorkan pada pengamen tadi.
“Iq kasian ya mereka hidup di jalanan tiap hari, enggak sekolah, enggak ke mal. Apalagi pengamennya tuh, dia enggak bisa main di studio musik sama kita kita.”
“Ya bagaimana lagi Za, kesenjangan di kota ini emang parah. Yang kaya kaya banget, yang miskin miskin banget.”
“Gara-gara wong-wong cino yang pada tajir-tajir itu ya. Bisanya mereka cuma hang out di mal pake sandal crocs, celana pendek, rambut jabrik terus nongkrong di cafe mahal. Bikin emosi aja kalo lihat.”
“Jangan gitu Za, kan ga semua saudara kita yang etnis cina kaya gitu. Cuma sebagian aja, temen temen kita yang jawa juga banyak yang begitu. Bisanya cuma ngabisin duit orang tua.”
“Tapi beda iq kalo wong cino itu, muka mereka judes, songong, kemaki, apa ajalah pokoknya yang mencerminkan sok sokan.”
“Stop stop, ini ni yang bikin negara kita pecah. Menyalahkan etnis tertentu, yang wong jowo juga banyak yang enggak beres. Jangan bawa bawa etnis deh”
TIN TIN TIN TINNNNNN . . . . . . !
Lampu telah menyala hijau dan kerumunan kendaraan di belakang mereka mengklakson satu per satu. Mungkin karena saking panasnya udara kota Semarang, para pengendara ini menjadi tidak sabar berlama-lama di jalanan. Ariza yang berada di kemudi segera menancap gas melanjutkan perjalanan. Beberapa puluh meter kemudian mereka disalip oleh seorang pemuda penunggang ninja 250r. Pemuda itu menyalip dengan manuver bergaya pembalap moto-gp. Tekuk kanan tekuk kiri tanpa mengindahkan norma berkendara. Ariza betul betul dibuat marah dengan ulah pemuda itu. Maka dibukalah jendela depan dan satu per satu umpatan keluar dari mulut Ariza.
“Dia pikir jalannya dia! Kurang ajar bener itu motor Iq. Awas ntar kalo sampe dia ketilang, ngakak aku sepuase”
Sampailah mereka pada suatu perempatan lagi. Lampu menyala merah memaksa mereka untuk berhenti lagi. Dari pojok perempatan terlihat sebuah pos polisi. Tepat di depan pos itu seorang berseragam coklat berlapis hijau sedang sibuk berbicara kepada seorang pengendara. Faiq yang melihat pemandangan itu segera memanggil Ariza.
“ Za za ada yang ditilang. Polisi itu emang penjahat berseragam ya, bisanya cuma nilang doang”
“Iya tuh katanya penegak keadilan tapi apa buktinya? Kalo nilang orang bukannya dibawa ke sidang, eh malah minta uang di tempat”
“Gak beres bener ya negara ini, pamong masyarakatnya aja mata duitan! Eh bentar bentar, itu motor ninja 250r yang uga-ugalan tadi kan?”
“Masa si? Oya bener benere, huaahahahahahhahahhahahahaa. Mampus tu orang! Makasih ya Pak polisi, tilang aja tu orang. Suruh bayar yang banyak!”
“Ye gini nih, tadi aja njelek-njelekin polisi. Begitu tau yang ditilang langsung deh berubah muka”
TIN TIN TIN TINNNNNN . . . . . . !
Lampu telah menyala hijau dan kerumunan kendaraan di belakang mereka mengklakson satu per satu. Ariza yang berada di kemudi segera menancap gas melanjutkan perjalanan. Kemudian mereka sampai pada sebuah perempatan lagi. Ariza memutar arah setir ke kiri dengan mantap tanpa tersendat-sendat. Tak disangka beberapa saat kemudian seorang plisi datang menghampiri. Petugas itu menyuruh mobil mereka untuk minggir. Faiq panik dan mulai berkeluh kesah, ia bingung karena memang sejak tadi Ariza mengemudi dengan sangat hati-hati.
“Kenapa ni Za. Kamu ngapain tadi? Pasti gara-gara kamu ngumpat-ngumpat tadi, marah tuh polisinya!”
“Enggak mungkin, ini pasti polisinya kurang kerjaan, belum dapet tilangan keliatannya tuh polisi. Udah yuk ladenin aja”
“Selamat siang mas, maaf tadi anda melanggar lampu merah”
“Loh saya kan belok kiri pak, belok kiri itu pasti jalan terus. Enak aja bapak main tilang saya”
“Mas tidak semua lampu merah seperti itu, kebetulan yang mas lewati tadi ada tulisannya jelas banget ‘belok kiri ikuti lampu lalu lintas’. Mas harus dateng sidang hari senin, mas kena pasal bla bla bla bla .......”
Tanpa menghiraukan bapak polisi itu Ariza berbisik dengan Faiq. “ssst Iq udah kita bayar aja di tempat” kata Ariza lirih. “Ye katanya tadi polisi salah kalo nilang minta uang? udah dateng aja ke sidang” jawab Faiq sedikit kesal. “Males ah, ribet, mending selesai sekarang aja”. Ariza menghampiri polisi tersebut dan mulai bernegosiasi. Tak lama kemudian polisi itu pergi berlalu.
“Minta berapa tu polisi?”tanya Faiq
“Tadinya seratus lima puluh, tapi setelah tawar menawar akhirnya tujuh puluh ribu”
Selasa, 26 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar