Pada suatu hari, tinggalah seorang pemuda berparas tak tampan bernama Tandon, di sebuah perguruan yang tereletak jauh di atas bukit sekitar dua ratus kilometer barat daya kota Mangga ibukota desa Cabe pulau Bintang. Dia berasal dari pulau Kelawas dan tengah merantau ke Bintang untuk belajar menanam buah di Institut Perbuahan. Dengan bermodal ala kadarnya dia menumpang kapal batu bara milik pamannya untuk menyebrang ke Pulau Bintang. Pamannya yang kebetulan memiliki kenalan di sebuah perguruan menitipkan Tandon di sana. Pemilik perguruan memang sangat dermawan, Tandon dibolehkan tinggal di sana secara cuma cuma. Segala kebutuhan seperti makan air dan tempat tidur disediakan untuk Tandon dan sebagai gantinya Tandon hanya perlu menjaga anak anak perguruan di pagi dan malam hari saat jam belajar mandiri berlangsung.
Sejak kedatangannya di kota Mangga dua bulan yang lalu, Tandon sudah mengenal banyak teman dari seluruh negeri di Institut Perbuahan. Mulai dari Pulau Murkiye di ujung utara sampai Pulau Rincau di ujung tenggara. Salah satu teman yang paling akrab adalah Hamzah yang merupakan orang asli kota Mangga. Dia telah memulai belajar menanam sejak kecil di rumah bersama Ayahnya. Keluarga besarnya adalah juragan buah melon paling terkenal di pulau Bintang. Orang tua Hamzah mengirimkannya ke Institut Perbuahan untuk menyiapkannya meneruskan usaha melon karena Ayahnya sudah tak muda lagi. Kemudian ada Yapuse, dia merupakan mahasiswa yang menerima beasiswa dari pemerintah Pulau Mirad. Setiap tahunnya enam siswa Pulau Mirad yang beruntung berhak untuk mendapatkan beasiswa penuh ke Institut manapun di negeri ini. Yapuse tahun ini termasuk dari enam siswa yang beruntung dan memutuskan untuk meneruskan pendidikannya di Institut Perbuahan. Dia merasa kesediaan buah-buahan di Pulau Mirad masih jauh dari standar dan dia terbangun untuk ikut mengikuti memajukan perbuahan di Mirad.
Setiap paginya Tandon menjaga anak anak perguruan belajar mandiri sebelum berangkat kuliah. Jam belajar mandiri dimulai pukul enam dan berakhir pada pukul tujuh pagi. Para siswa lebih sering datang dua puluh menit terlambat dari jadwal. Lebih parahnya lagi, setelah masuk ruang belajar, mereka tidak membuka buku sama sekali dan lebih memilih untuk mengobrol tentang pertandingan Liga Indonesia yang setiap malamnya disiarkan di televisi perguruan. Tandon selaku pembina selalu mngingatkan siswa siswa untuk tenang dan belajar. Namun apa daya, dia hanyalah pejaga jam belajar yang sekedar menumpang hidup di perguruan. Setiap kali mengingatkan, selalu ada saja yang mengatakan “Mas ini kan cuma numpang, terserah kita dong mau belajar atau ga, orang kita yang bayar juga”. Dan seperti itulah nasib Tandon, dia tak mau ambil pusing tentang para kumpulan generasi tak tahu sopan santun. Asalkan kewajibannya menjaga jam belajar bisa dilaksanakan, dia merasa puas.
Pukul tujuh pagi bel perguruan berbunyi menandakan jam belajar para siswa dimulai. Tandon segera berkemas dari ruang kelas yang ia jaga menuju Institut Perbuahan yang berjarak sekitar dua kilometer dari lokasi perguruan. Menggendong tas berukuran 70 x 50 centimeter dengan tebal dua kepal tangan, ia berjalan menuju tempat belajarnya melewati jalan setapak di antara pohon pohon cemara yang tumbuh renggang di desa itu. Udara dingin pagi hari di pulau Bintang yang sejuk menemani perjalanan lima belas menit Tandon, diiringi celoteh burung-burung gagak yang saling bersautan dan terdengar sangat tidak merdu. Tandon selalu membawa sepasang cotton bud dan memasangnya ketika para gagak mulai berkicau. Meskipun mengganggu gagak gagak di sini tidak boleh dibunuh karena penduduk sekitar meyakini bahwa gagak merupakan hewan keramat. “Membunuh gagak sama saja membunuh manusia”, begitulah hukum tentang gagak yang amat dijunjung tinggi di Pulau Bintang.
Hamzah dan Yapuse selalu datang lebih awal dari Tandon. Maklum saja, mereka tak punya kegiatan pagi seperti halnya Tandon. Di samping itu, mereka berdua tinggal di sebuah persewaan kamar yang terletak di komplek Institut Perbuahan. Kamar yang mereka sewa berukuran 4 x 4 m dengan harga sewa 300 pulis. Pulis adalah mata uang negeri ini yang telah beredar sekitar empat tahun. Sebelumnya negara ini menggunakan mata uang rupiah peninggalan bangsa Indonesia. Karena nilai rupiah yang tak pernah naik terhadap dollar amerika dan untuk mendenominasinya sudah tak mungkin lagi karena empat tahun lalu nilai satu dollar Amerika sama dengan 9,8 juta rupiah. Pemerintah negara ini akhirnya memutuskan untuk menerbitkan mata uang baru Pulis sebagai tanda lembaran baru dalam perekonomian negeri ini. Satu juta rupiah sama dengan satu pulis atau dengan kata lain satu dollar Amerika sama dengan 9,8 pulis. Proses penarikan rupiah dan penerbitan pulis berlangsung cukup cepat yaitu sekitar dua tahun. Sekarang Pulis telah menjadi mata uang resmi sebagai alat tukar menukar di negeri ini.
Sesampainya digerbang kampus, Tandon langsung diperiksa oleh dua satpam berbadan kekar namun pendek. Mulai dari ujung rambut, pakaian dan isi tas sampai isi sepatu dicek dengan teliti. Setiap orang yang masuk kampus memang diwajibkan untuk menjalani pemeriksaan hama karena terkadang mereka secara tidak sengaja membawa makhluk makhluk kecil yang dapat mengganggu kelangsungan hidup tanaman tanaman di kampus. Operasi ini dimulai ketika dua tahun yang lalu terjadi kematian bibit besar besaran di kampus. Setelah diselidiki lebih lanjut, penyebab utama bencana tersebut adalah seekor kutu yang secara tidak sengaja dibawa seorang mahasiswa. Kutu tersebut keluar dari tas dan kemudian berkembang biak secara ekstrim. Pihak kampus akhirnya menutup kampus selama tiga bulan demi mensterilkannya dari kutu. Gagasan akan pemeriksaan sebelum masuk ke area kampus memang cukup ampuh mencegah para hama masuk. Namun akhir akhir ini banyak kalangan, baik para mahasiswa maupun dosen yang komplain karena operasi itu dianggap berlebihan dan membuang waktu. Ada beberapa usulan mulai dari pengurangan area tubuh yang dicek sampai pemberhentian operasi tersebut.
Tepat dua puluh meter setelah pintu gerbang kampus terdapat bangunan berbentuk kapal terbalik yang cukup ramai. Di sanalah Tandon bertemu dengan Hamzah dan Yapuse. Mereka betiga biasa duduk di meja bundar tepat di samping pintu masuk. Beberapa meja di kapal terbalik ini memang nampak telah di kapling oleh beberapa oknum termasuk Tandon dan geng. Hanya ada empat dari sepuluh meja yang tidak berpenghuni tetap. Bersebelahan dengan meja bundar terletak meja kumpulan fakultas bunga yang amat disegani. Bangunan ini merupakan satu dari tiga kantin yang ada di area kampus. Para mahasiswa lebih mengenalnya dengan “kantin marah” atau kantin murah meriah karena harganya memang lebih murah dari dua kantin lainnya. Kantong mahasiswa di sini memang tak begitu tebal, hasil survei kantin yang dilakukan himpunan mahasiswa membuktikan bahwa setiap harinya ada sekitar 10.000 pulis yang beredar di tiga kantin. Jika kita bagikan dengan jumlah mahasiswa Institut Perbuahan sebanyak 2000 orang. Maka dapat disimpukan bahwa rata rata siswa menghabiskan 5 pulis setiap harinya atau sekitar 55 sen dollar Amerika Serikat.
Senin, 15 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar