Sabtu ini penghuni asrama putra tidak dapat jatah pulang, maka dari itu kami berempat memutuskan untuk mampir ke kantin sebelum kembali ke asrama. Seperti hari Sabtu biasanya, bel berbunyi tepat pukul dua belas siang. Biasanya kami langsung bergegas keluar kelas menuju asrama untuk izin. Namun apa guna membuang tenaga untuk berlarian jika izin tak tersedia. Sebenarnya kami bisa saja melobi pembina kelas kami untuk memberi izin. Tetapi entah mengapa mood kami berempat sedang tak tertarik
untuk keluar asrama. Mungkin karena terlalu banyak nongkrong di luar beberapa minggu terakhir ini kami menjadi kelelahan secara fisik dan finansial.
Meskipun angin banyak mampir, hari itu komplek Semesta lumayan panas. Kami berempat menyusuri bayangan demi bayangan bangunan untuk menghindari teriknya matahari. Memacu akselerasi saat perpindah dari satu bayangan ke bayangan lainnya. Lalu berjalan pelan bak mengantre di dapur ketika sampai pada satu bayangan demi menikmatinya. Sambil sesekali mendorong seseorang keluar dari keteduhan.
Kami begitu lega ketika sampai di Graha Suwanto. Keteduhan yang berlimpah membuat kami berhenti berlarian. Kami tak bisa menahan godaan rindangnya bangunan ini. Maka kami membelokan arah dari jalan utama menuju kantin, menyerong ke Graha Suwanto.
“Kenapa sih namanya Graha Suwanto? Sing gawe kan tukang tukange!” Kata Irfan
“Kan yang punya duit Pak Suwanto dodol!” Jawab Hendra
“Kesannya sombong, pamer ‘Hey everyone this is my building!’”
“Lha terus nek Bandara Sukarno-Hatta berarti dua tokoh kui sombong ngono? Kan bukan mereka yang minta. Orang-orang di sekitar mereka yang member nama!” Jawab Anggono seraya meletakkan pantatnya pada keramik Graha Suwanto
Aku tertawa mendengarkan mereka membicarakan hal yang sedikit tidak penting ini. Kami berhenti sebentar untuk duduk-duduk sambil menikmati angin-angin yang sejak tadi tak henti-hentinya meniupi kami. Di sekitar kami berjalan puluhan, bahkan ratusan siswa bersama gerombolan mereka masing-masing. Putra putri sama saja, mereka suka berjalan berkelompok.
Graha Suwanto merupakan pendopo kebanggaan Semesta. Gedung ini baru berdiri setahun yang lalu ketika kami naik kelas sebelas. Gedung ini terletak tepat di tengah komplek Semesta dengan jangkauan pandang yang luar biasa. Asrama Putri di utara, Asrama Putra di selatan, Gedung sekolah di sebelah timur dan Pintu gerbang di sebelah barat.
“Aku rak bakal bosen linggih nyawang wedok wedok lewat” canda Anggono
“Nasib sekolah di Semesta, limited access to women”
“Nikmatin aja lah Ndra, gak sampe setahun lagi kita akan keluar dari sini” Jawab Anggono dengan nada sok bijaksananya
“Wah tak puas-puasin ntar di kos-kosan, dolan, udud, ngeband, kabeh lah!”
“Gas kamu kenapa diem? Mikiri opo we?” Tanya Irfan
“Pertanyaane ki OPO opo SOPO, hahaha” sahut Anggono
“Rak po” Jawabku “Yook kita ke kantin, keburu tutup ntar”
Kami kembali berdiri kemudian melanjutkan perjalanan ke kantin. Dari kejauhan kami dapat melihat kantin tidak begitu ramai. Tampak segerombolan siswi SMP putri yang sedang asyik ngobrol ketawa ketiwi di meja kantin. Sebenarnya kami agak mengharapkan untuk menemui beberapa siswi SMA. Menurut pendapat kami dan kebanyakan dari teman teman seangkatan, mereka lebih sejuk dipandang. Apa boleh buat ini hari izin mereka, kemungkinan hanyalah satu berbanding sepuluh untuk menemukan mereka berkeliaran di kantin sabtu siang ini.
“Wah rak sesuai harapan ki cah” keluh Anggono
“Mendinglah dari pada gak ada sama sekali” hibur Irfan
“Goro goro ganti atasan ki, kan ndek kae kelas sepuluh wanita pada nongkrong di sini terus” kata Hendra
“Masih ada sih sekarang ini, tapi gak sebanyak dulu” jawabku
Wanita adalah subjek favorit kami kala nongkrong bareng. Seolah tak ada habisnya topik yang dapat diangkat dari mereka. Ketatnya aturan sekolah kami, sama sekali tak menyulutkan hasrat muda kami. Tiga dari kami juga mendambakan istri lulusan Semesta. Entah mengapa rasanya mereka, tidak semua sebenarnya, adalah calon ibu-ibu yang baik. Mungkin berdasarkan dari pengamatan kami yang hanya terbatas pada lingkup sekolah ini. Tidak ada subjek lain selama dua tahun ini selain para siswi Semesta.
“Bu saya pesen mie goreng dobel” Pesan Irfan sambil mengambil sebotol teh di lemari es
“Saya juga bu dobel” saut Hendra “Fan jupukke aku san!”
“Iya mas, Mas Anggono sama Masnya pesen apa?” Tanya ibu Istiqomah
“Mie goreng satu aja bu pake telor” Jawab Anggono “Koe pesen opo Gas?”
“Sama aja mie goreng satu pake telor bu”
Aku memang jarang pergi ke kantin saat jam istirahat. Aku lebih memilih untuk tetap berada di ruang kelas untuk melamun atau sekedar duduk duduk di sebelah toilet. Dari kami berempat, hanya aku yang tak dikenal oleh bu Istiqomah.
“Mas siapa ini namanya?”
“Gagas bu” jawabku
“Ini mie dobelnya udah jadi”
“Oh itu bukan pesenan saya bu, punya Irfan sama Hendra” jawabku sambil menunjuk dua orang kawanku itu
Lidahku kemudian memerintahkan otakku untuk mencari cemilan sambil menunggu kedatangan mie goreng pesananku. Di depanku adalah tumpukan gorengan sisa tadi pagi. Mereka adalah mendoan, bakwan dan tahu isi yang malang tak mendapat pemakan. Bentuk mereka yang layu sudah tak lagi menggoyahkan libido lidahku. Ditambah dengan minyak minyak yang mulai melumuri lapisan tepung hinggan basah. Segeralah responden-responden otakku saling beradu dan sepakat untuk mencoret para gorengan ini dari list cemilan yang hendak diburu.
Wajahku berpaling meninggalkan gorengan-gorengan malang tadi. Namun sepertinya terjadi perubahan keputusan rapat karena sekitar dua puluh detik setelah aku berpaling, tiba-tiba saja tanganku meluncur menerkam sebuah tahu isi. Dengan sedikit bantuan kecap dan sambal, tahu itu hilang dalam beberapa gigitan. Meskipun tak segurih saat mereka baru turun dari penggorengan, tahu barusan mampu menakluka lidahku sekaligus mengganjal kekosongan perutku.
“Sante to gas, yen ngeleh jo diamuk tahune” komentar Irfan yang ternyata mengamati tingkahku
“Lwa Piywe nweh, ngwelweh og” Jawabku sambil asik mengunyah si tahu isi. Tangan kananku bergerak lagi mengambil satu lagi tahu isi yang tergeletak di depanku.
“Ini mas Anggono sama Masnya, mie gorengnya sudah jadi”
“Makannya Gas sering-sering ke kantin, masa dua tahun bu Istiqomah enggak kenal sama kamu” kata Anggono mengejek
Aroma mie goreng bercampur dengan wewangian yang berasal dari telor menemani perbincangan kami siang itu. Tinggal kami berempat yang masih berada di kantin. Para siswi SMP telah meninggalkan kantin beberapa saat sebalum mie gorengku sampai di depan mataku.
Slurrppsss sluurrrpss, huuuh haaaah, nyamm nyammm, ting ting, gluk gluk
Slurrppsss sluurrrpss, huuuh haaaah, nyamm nyammm, ting ting, gluk gluk
Slurrppsss sluurrrpss, huuuh haaaah, nyamm nyammm, ting ting, gluk gluk
“Fan kuliah mau ke mana? Ambil jurusan apa?” Tanya Anggono memecah keasyikan kami dalam menyantap mie.
“Teknik Elektro yang jelas, universitas jelas pengen yang bagus lah. UGM, UI, ITS” Jawab Irfan dengan mantap.
“Lha kalo enggak ketrima jurusan itu?” Tanya Hendra menantang
“Pokoknya harus Elektro, meh tak sinauni tenanan ki”
“Lha nek koe Gon?” Tanya Hendra
“Aku juga pengen Teknik Elektro, tapi kalau dapetnya jurursan lain juga enggak masalah. Asalkan masih cocok sama minat dan bakat”
“Dipolke sek to usaha neng Elektrone, ngko nek wes pengumuman lagek pasrah!”
“Yo yo Fan, mugo mugo kesampean angan-anganmu” Jawab Anggono seraya menengadahkan tangan berdoa.
Irfan dan Anggono adalah dua peminat elektro yang amat berbeda. Irfan jatuh cinta pada jurusan tersebut karena tahun kemarin ia berhasil mendapatkan medali dari lomba robotika yang diselenggarakan di Romania. Sedangkan Anggono, ia belum begitu bisa mengungkapkan sebenarnya apa yang meluluhkan hatinya pada Elektro.
“Kamu Gas, mau ambil jurusan apa? Di mana?” Tanya Anggono padaku
Untuk beberapa saat aku terdiam berpikir. Sambil menenggak fruit tea fusion, aku berikan sedikit waktu pada kepalaku untuk merangkaikan kata-kata yang akan kusampaikan sebagai jawaban. Pertanyaan jurusan menjadi momok di antara ketertarikanku terhadap perbincangan seputar universitas. Si satu sisi aku amat suka merencanakan masa depan yang mau tak mau akan kuhadapi satu tahun ke depan. Namun di sisi lain aku belum menemukan jawaban akan apa yang sebenarnya aku inginkan ketika kuliah.
“Aku durung reti Gon meh njupuk jurusan opo. Yang jelas aku pengen ke luar negeri” jawabku dengan nada rendah
“Kenapa harus keluar? Enggak pengen masuk ITB atau UI atau UGM? Kata kamu sertifikat AFS sangat di hargai di UI, kan lumayan tuh kalo kamu bisa masuk sana” jawab Irfan sedikit heran dengan kesempatanku.
“Aku pengen ke luar lagi fan, pengen merantau jauh dari keluarga. Hidup di lingkungan dan bahasa baru. Aku ngiri sama temen temen yang pada belajar di luar”
“Moso kuliah mergo ngiri mbek wong? Kuliah ki ge masa depan Gas, rak perkoro gampang”
“Susah jelasinnya Fan, ada sesuatu yang lebih kalo keluar negeri. Dan sepertinya baru bisa kita sadari setelah selesai” jawabku sedikit ragu
“Pengenmu negoro ndi Gas?” Tanya Anggono menanggapi interogasi yang dilakukan Irfan terhadap diriku
“Yang ada di bayanganku sekarang ada Jerman. Terus Polandia semenjak ada seminar waktu itu, sama Turki. Tapi yang paling jelas bayangannya Turki” jawabku
Kami terdiam sejenak untuk kembali berurusan dengan makanan kami. Hendra keluar dari tempat duduknya mengambil botol teh kedua. Anggono membalikkan badan menggapai dua bungkus cheetos. Irfan sibuk meniupi lidahnya yang terbakar sambal sambil mengusap butiran keringat yang mulai bercucuran dari dahinya.
“Lha nek koe pengen neng ndi ndra?” Tanya Irfan
“Semenjak baca novelnya Andrea Hirata aku jadi semangat mau keluar negeri”
“Koe rak pengen keluar negeri Gon?” Tanya Irfan
“Kalo bisa kenapa enggak. Tapi mbuh ding ngko delok wong tuo barang, soalnya aku juga disuruh masuk Akpol” jawab Anggono
“Wah kalo gak ada minta mending jangan Gon, negosiasi lagi sama orang tua. Jangan sampe nyesel sama keputusanmu sendiri” kataku mengomentari Anggono
“Gampanglah ngko, masih lama juga kita kuliah. Ujian juga belum” jawab Anggono mengalihkan topik.
“Bener tuh, yang penting sekarang belajar dulu buat ujian ujian nanti” sambung Hendra
Cukup dini memang untuk membicarakan universitas pada bulan bulan ini. Namun tak ada salahnya untuk dibicarakan. Paling tidak kami jadi ingat bahwa setahun dari sekarang, kami sudah tidak akan bisa bersantai lagi di kantin ini.
Rabu, 24 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar