Jumat, 14 Oktober 2011



“Kring kring kring”

 Kaget berujung berdiri adalah reaksiku ketika alarm pagi pukul 06.00 berbunyi. Badan yang tadi terlentang tiba tiba duduk sedikit berdiri. Tepat di depan mataku adalah jendela terbuka menghadap ujung tenggara. Dari ujung sana matahari tampak ubun ubunnya, menandakan waktu sembahyang pertama sebelum fajar tiba. Kedua mata, telinga, rambut sudah kugeleng semua. Terbuka terkumpul
semua nyawa. Aku heran kenapa kawanku kamarku Adil tidak pernah terbangun oleh bisingnya alarm dari ponselku. Dia tetap diam dalam tidurnya tanpa bergerak sedikit pun. Padahal penghuni rumah lain sungguh sangat sensitif dalam perkara tidur.

Contoh saja Mehmet abi, kala itu beliau tidur di ruang tengah. Aku yang terbangun malam itu bermaksud untuk mengambil sesuatu yang kebetulan tepat berada di ruang tersebut. Pintu kubuka dengan hati cemas merana, pelan lamban perlahan-lahan. Namun satu dua tiga dan empat langkah kemudian, mata beliau terbuka bangun seketika lalu bertanya.

 “Napiyorsun Gagas”

 Maka tanpa banyak bicara dengan gestur apa adanya aku jawab “nothing, yok yok.”

 Contoh kedua adalah Burak dan Aykut abi yang tinggal bersama dalam kamar pojok utara. Kamar mereka adalah yang tergelap di antara kami berlima. Siapapun tidur di sana pasti nyenyak tiada tara. Namun sensitifitas mereka melampaui tendensi manusia yang biasanya tidur lelap dalam gelap gulita. Di sana, kala aku bangun pertama dan bertugas membangunkan sembahyang pertama, selalu hanya dua ketukan pintu sebelum mereka berkata.

 “Evet, biz kalktik”

 Adil memang luar biasa, dengan jaraknya yang terbilang dekat, yaitu hanya dua koma dua meter dari sumber kebisingan alarm. Ia tak menggerakkan sedikitpun badannya. Seolah bunyi alarmku serupa insekta yang berjalan dua puluh meter dari dirinya. Tanpa mengganggu Adil aku pindahkan badanku ke kamar mandi di ujung lorong utara untuk mengambil wudhu.

 Bulan Oktober air, udara dan tanah telah berkhianat pada api. Mereka sepakat untuk membuat suatu aliansi, menusuk api dari berbagai lokasi. Air wudhuku bercampur dengan angin yang masuk lewat jendela, masuk pori pori dan memancar hingga inti tulang tulangku.

 “Brrrrr…”

 Selesai sholat bersiap siap dan pergi menuju ODTU. Kebetulan hari ini hari senin dan pelajaran pertamaku mulai pukul delapan tiga puluh. Aku harus bernagkat dari rumah pukul tujuh karena pagi pagi jaan macet terjadi. Perjalanan yang biasa ditempuh sekitar lima puluh menit bisa molor empat puluh menit. Sedangkan bus dating setiap lima belas menit di pagi hari. Maka pilihanku hanya dua yaitu berangkat pukul tujuh dan sampai tepat waktu atau berangkat lima belas menit kemudian dan telat pelajaran.

 Udara pagi hari biasanya berkisar deapan hingga sepuluh derajat musim ini. Semua orang tampak mengasapkan mulut mereka. Kepulan itu menjadi mainan favoritku sambil berdiri sendiri di halte menanti. Hirup dalam dalam lalu kepulkan kuat kuat, kadang melalui hidung lain waktu lewat mulut. Di sampingku biasanya seorang melirik sekali heran memandangi orang asing yang bermain asap pagi ini.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar