Oh betapa beratnya tugas seorang raja di zaman ini. Dalam rangkuman
itu terlihat jelas betapa bermasalahnya dunia ini. Keadaan Negara lain hampir
sama semua, tak ada yang begitu maju dan tak ada pula yang begitu kaya. Aku baru
menyadari bahwa Taman Nasional Yellow Stone telah meletupkan gunung berapinya.
Letusan itu tak sebesar yang diperkirakan para ilmuan. Namun musibah itu sudah
cukup untuk menghantam superioritas Amerika. Lima puluh juta manusia menjadi
korban dan kerugian sebesar seratus trilliun dollar. Bill Gates dan puluhan
orang terkaya dunia yang berpaspor Amerika terpaksa memberikan harta mereka.
Banyak pesawat tempur yang dijual cuma-cuma ke Negara-Negara tetangga. Ditambah
musibah tenggelamnya dua kapal induk di tengah Samudra Pasifik. Menambah duka
dan luka raja dunia itu.
Kabar buruk tak hanya menimpa Amerika. Uni Eropa pun mengalami
kemunduran. Hanya saja penyebab mereka bukan dari alam. Krisis Yunani telah
begitu menguras harta Negara tetangganya. Sementara itu produksi menjadi lesu
lantaran salah satu konsumen terbesar mereka yaitu Amerika telah jatuh dalam
kerugian. Pasar Asia telah direbut oleh China dan India. Eropa tak mampu
menyaingi produk murah meriah kedua Negara super padat itu. Ditambah lagi
ongkos kirim yang mahal. Eropa terpaksa menjual produk mereka ke Afrika dengan
harga murah.
Asia tak lebih baik keadaanya dari kedua benua tadi. Timur Tengah
masih sibuk mambangun demokrasi mereka. Asia Tengah tumbuh pelan bersama
konflik konflik kecil mereka. Uzbekistan dan Turkmenistan belakangan
melancarkan serangan ke Kazakistan. Nusantara dan sekitar masih tercecer dalam
ACFTA, industri kami mati ditelan China. China dan India tak juga menjadi kaya
meskipun semua membeli produk mereka. Ekonomi berjalan lambat, mungkin paling
lambat dalam dua abad terahir
Afrika meskipun mendapat banyak produk murah Eropa, tak berubah
menjadi daerah maju. Tingkat pendidikan mereka masih sama dengan dua dekade
sebelumnya. Produk murah berkualitas dari Eropa sama sekali tak menggairahakan
ekonomi. Mereka berubah menjadi konsumen tulen yang enggan membuat produk
sendiri. Kelaparan masih terjadi dan dengan jatuhnya para Negara donatur,
jumlah mereka akan bertambah seiring berjalannya waktu.
Wilayah Oceania dan Amerika Selatan menjadi terisolir. Mereka tumbuh
dan hidup sendiri. Memproduksi sendiri dan mengkonsumsi sendiri. Keadaan mereka
mungkin yang paling baik di antara daerah lain di muka bumi ini.
Dunia pariwisata perlahan turun, dunia olahraga dan hiburan pun lesu. Betapa
dunia ini saling bergantung dengan yang lain. Jika saja satu jatuh makan yang
lain akan ikut menyusul jatuh.
Rangkuman berakhir dengan kabar Nusantara. Papua masih saja menjadi
tambang emas yang miskin. Ada kabar baik dari Kalimantan, hampir sembilan puluh
persen hasil tambang telah diakui sisi oleh Nusantara. Namun sayangnya korupsi
masih begitu marak di kerajaanku ini. Aku bingung harus dari mana memulai
pemberantasan korupsi. Mungkin sebaiknya hukuman seumur hidup atau pancung diberlakukan.
Tetapi Nusantara merupakan kerajaan demokrasi di mana hukuman mati merupakan
bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Sebuah ironi karena koruptor sendiri
telah melanggar hak asasi orang banyak.
Pukul sepuluh kami berangkat menuju Jakarta. Aku terdiam dalam
dudukku, masih juga tak percaya apa yang telah terjadi hari ini. Bangun di
kamar besar, menjadi seorang raja dan sekarang di sinilah diriku dalam
perjalanan menuju ibu kota Jakarta. Aku masih ingat kemarin hidupku masih
normal. Kamar ukuran empat kali empat meter. Masih belajar menuntut ilmu dan
melakukan kegiatan layaknya muda mudi belasan usia. Entahlah apa yang terjadi.
Segala usahaku untuk bangun telah gagal. Mungkin inilah kehidupan yang
sebenarnya. Mungkin benar kata Angin bahwa seama ini aku telah bermimpi di atas
menara istanaku sendiri.
Jenderal Badai menyambutku di depan Istana Pemerintahan Nusantara.
Beberapa pejabat juga nampak menyambut namun aku tak mengenal mereka.
Sebenarnya Jenderal Badai pun aku tak kenal. Hanya karena Angin memberitahuku
terlebih dahulu sebelum tiba di Istana Pemerintahan. Ia menunjukan foto
Jenderal Badai yang paling baru. Tentu akan sangat memalaukan jika aku tak
mengenalinya.
“Selamat datang Tuanku, senang melihat anda sehat kembali” sapa
Jenderal Badai seraya menjabat tanganku
“Terima kasih Jenderal, engkau sungguh telah melaksanakan tugasmu
dengan baik” jawabku
“Sebuah kehormatan menjabat jabatan ini Tuanku, mari silahkan masuk”
jawab Jenderal mempersilahkanku masuk.
Oh kata kata resmi itu lagi-lagi begitu canggung di telingaku namun
tetap saja aku harus mengatakannya. Aku mulai rindu dengan bahasa Jawa yang
biasa aku lontarkan di kehidupan asliku, atau mungkin dalam mimpi lima tahunku.
Tak hanya percakapan biasa, makiannya pun begitu ku rindu. Sekarang aku hidup
di antara mereka para Negarawan, mana mungkin kata kata tersebut keluar.
“Maaf Jenderal, apa sebenarnya yang harus aku sampaikan kepada
rakyatku? Memangnya apa pengaruh pidatoku hari ini terhadapa mereka?” tanyaku
“Tuanku, rakyat begitu gelisah dengan keadaan kerajaan. Begitu banyak
pengangguran dan kesenjangan sosial yang begitu besar. Kami ingin Tuan memberi
semangat” jawabnya
“Kenapa tidak kau saja yang berorasi Jenderal, kau jelas lebih tahu
kondisi rakyat”
“Tuanku, kami telah lima tahun kehilangan Tuan dan kami membutuhkan
keberadaan Tuan. Meskipun kami rutin meliput Tuan ketika di atas menara sana
dalam acara TV, tetap saja mereka kurang percaya. Orang-orang mulai banyak yang
mengira Tuan telah meninggal. Gerakan separatisme juga telah begitu berkembang.
Tak hanya di Papua, Sulawesi pun meminta kemerdekaan. Kami rasa ini kesempatan
yang bagus. Tuan adalah simbol persatuan kami, tunjukanlah pada mereka bahwa
kerajaan masih punya wibawa” jawab Jenderal meyakinkanku
“Baiklah Jenderal aku akan melakukan ini, menurutmu apa yang harus aku
sampaikan?” tanyaku lagi
“Tak usah banyak banyak Tuanku, hal yang paling penting adalah
mengingatkan rakyat kita pada persatuan dan kesatuan”
Hari itu Bundaran HI penuh dengan manusia. Seluruh aktifitas Ibu Kota
berhenti pada hari yang di tetapkan sebagai Hari Kebangkitan Sang Raja. Aku di
antar sebuah helicopter menuju lokasi podium. Jantungku berdebar melihat
kerumunan manusia yang ada. Teks pidato telah rapi tercetak hanya dalam waktu
satu jam. Pidato itu berisikan empat paragraf yang kupikir akan selesai di baca
dalam waktu lima belas menit. Aku melangkah perlahan menuju puncak podium.
Sorak sorai bergemuruh menggetarkan jiwa siapa saja yang ada di sana.
“Raja masih hidup”
“Nusantara!!!!”
Assalamualaikum wr wb
Rakyat Nusantara yang berbahagia
marilah kita panjatkan puji syukur kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena
kita dapat berkumpul di sini di Jakarta yang indah ini.
Rakyat Nusantara,
Saya menyadari bahwa lima tahun
dalam tidur merupakan hal yang sangat tidak wajar. Untuk itu rakyatku saya
meminta maaf yang setulus-tulusnya karena sungguh saya tidak punya kehendak
apapun atas tidur panjang itu.
Rakyat Nusantara,
Saya begitu terkejut ketika
membaca semua berita hari ini. Kabar buruk datang dari berbagai penjuru baik di
dalam maupun di luar kerajaan. Kejatuhan Amerika mungkin bisa jadi sebuah
berita gembira yag di belakangnya membawa sengsara pada dunia. Ekonomi kita
boleh jadi salah satu yang terbesar di namun kita harus waspada karena di saat
genting seperti ini semua hal bisa terjadi. Saya sungguh menyayangkan gerakan
separatisme yang begitu marak akhir akhir ini di kerajaan. Apakah benar mereka
ingin merdeka? Ataukah keinginan sebagian saja guna mendapatkan kedudukan dan
tahta?
Rakyat Nusantara,
Sudah lupakah kita terhadap
perjuangan para pemuda di tahun awal abad 20? Ketika mereka dengan gagah
mengusir para penjajah dan menjadikan tanah Nusantara kerajaan yang berdaulat?
Sudah lupakah kita bahwa perbedaan suku ras dan budaya telah menyatukan kita
menjadi Negara nomor empat paling padat di dunia? Sudah hilangkah rasa
persatuan dan kesatuan yang begitu kita junjung tinggi dalam semboyan Bhineka
Tunggal Ika sehingga marak gerakan separatisme di sana sini? Jika pun daerah
daerah tersebut berhasil memisahkan diri apakah keadaan akan menjadi lebih
baik?
Rakyat Nusantara
Marilah kita bersatu dalam
menghadapi dunia yang genting ini.
Bersambung.........
Bersambung.........
0 komentar:
Posting Komentar