Padang tandus di luar Ankara |
Terlambat ditinggal
rombongan memang bukan hal yang menyenangkan. Apalagi ketika kau harus
ditinggal di lingkungan yang cukup asing. Itulah yang terjadi hari minggu lalu
pada diri ini. Hari itu Jurusan kami mengadakan observasi lapangan ke sebuah
desa yang bernama Alje di luar Ankara. Perjalanan tersebut akan menjadi
observasi lapangan pertama angkatan kami. Di sana kami akan menengok bebatuan
dan penampakan alam yang ada lalu merangkumnya dalam sebuah laporan.
Beberapa hari sebelumnya
dosen kami Pak Bora telah mengumumkan bahwa bus akan berangkat dari halaman
bangunan Teknik Geologi Minggu pukul 09.00 pagi. Minggu pagi itu alarm sudah
mantap terpasang pada pukul 07.00 pagi. Biasanya persiapan membersihkan badan
serta sarapan akan memakan waktu sekitar satu jam. Jadi jika rencana berjalan
lancar pukul 08.00 diri ini sudah beranjak ke kampus. Dan tepat pukul sembilan
misi pra observasi lapangan terlaksana.
Sayangnya tak semua rencana
berjalan seperti perkiraan. Perhitunganku mulai meleset sejak alarm pukul 07.00
berbunyi. Minggu dini hari jam di Turki mengalami pergantian untuk menyesuaikan
pendeknya hari di musim dingin. Semua jam dimajukan sebanyak enam puluh menit.
Hal ini menjadi keuntungan karena kami mendapat satu jam ekstra untuk tidur.
Namun apa daya keuntungan
itu justru membuat badan ini malas hingga alarm pukul 07.00 baru benar benar
membangunkan mata pada pukul 07.30. Praktis waktuku untuk bersiap siap tinggal
menyisakan 30 menit. Padahal dalam rentang waktu itu aku harus mandi,
menyiapakan bekal siang hari dan menyuap roti.
Rencana semakin meleset
ketika di pusat kota aku harus berganti kendaraan dari bus ke minibus. Rasa
buru buru harus dibayar dengan kecerobohan memilih minibus. Kampus kami
terletak lumayan jauh dari pusat kota dan tak banyak kendaraan umum yang ke
sana di akhir pekan. Jauhnya jarak antara gerbang komplek kampus dengan Gedung
jurusan menambah sempurna kesulitan perjalanan kali ini.
Mininbus yang aku naiki
ternyata hanya melewati pintu gerbang kampus dan mau tak mau masuk, akhirnya
aku harus berjalan ke gedung jurusan. Sebagai gambaran, perjalanan menuju
gedung jurusan biasanya memakan waktu 15 menit. Meskipun sudah terbiasa mondar
mandir di area kampus dengan berkendara sepasang kaki. Pagi itu kekhawatiran
akan terlambat berhasil menelanjangi semangat kakiku.
Ketika sampai di gerbang jam
sudah menunjukan pukul 09.00. Segera rasa panik masuk menakuti, menggantikan si
ceroboh yang sudah berhasil membimbingku ke minibus yang salah. Sekarang semua
bayangan di kepala berganti dengan lamunan nasib terlantar tertinggal
rombongan.
Sesampainya di jurusan tak
seorang pun terlihat. Hanya ada mobil-mobil yang terparkir rapi, mendampingi
gedung jurusan yang rapat terkunci. Jam pada telepon genggam sudah menunjukan
pukul 09.17. Melihat kesepian yang ada, kuhubungi kawanku Jem untuk menanyakan
keberadaan rombongan. Benarlah firasatku sejak tadi, bus jurusan kami sudah
berangkat tepat pukul 09.00.
"Sorry my friend we
left the building right at 09.00. If only you called"
Kira kira begitu bunyi
smsnya ketika kutanya tentang keberadaan mereka. Lemas betul rasanya badan ini mengetahui
ditinggal rombongan. Kubalikkan badan untuk berjalan kembali ke arah pintu
gerbang. Mentalku yang keropos sudah menyuruhku pulang dan tidur saja. Ia
kuturuti sampai suatu ketika ada yang membisiki dalam hati.
Entah mengapa niatku untuk pulang
pergi dengan datangnya imajinasi mengejar rombongan yang meninggalkanku tadi. Segera
rencana disusun dengan target pukul 12 sampai di lokasi. Pertama adalah
menanyakan lokasi tujuan, kedua adalah mencari kendaraan menuju terminal kota,
dan ketiga adalah klimaks misi menyusul rombongan jurusan.
Untung saja zaman sudah
modern dan menemukan desa Alje cukup memakan 15 menit penelusuran di aplikasi
peta. Segera aku stop minibus berlabel terminal kota dan bergegas ke rencana
selanjutnya. Sampai di terminal, langkahku berlarian ke arah bagian informasi.
Rupanya bapak yang menunggu bagian informasi tak mengerti tentang Alje.
Bagaimana pun Alje adalah
sebuah desa kecil dan tak semua orang mengetahuinya. Untungnya ada seorang
satpam yang sedang bertugas menghampiri. Ia rupanya berasal dari desa dekat
Alje. Segera ditunjuknya tempat menunggu bus ke Polatli yang merupakan kota
terdekat dari desa Alje.
Sesampainya di halte
kusempatkan menengok jam untuk melihat tingkat keberhasilan misi penyusulan.
Rupanya sudah satu jam berlalu sejak saat mencari peta tadi hingga tiba di
halte. Tak lama menunggu, datanglah bus jurusan Polatli. Tanpa banyak tanya
segera aku naik. Rupanya kursi sudah lumayan penuh dengan hanya menyisakan jatah
untuk satu.
Entah mengapa di tengah
jalan pak supir mengambil dua penumpang baru dan menyuruhku turun. Katanya
kendaraan penuh dan dapat mengancam keselamatan. Ia mengisyaratkanku untuk
turun dan naik bus yang ada di belakang. Ah ada ada saja ini supir, namun apa
boleh buat karena memang tak tahu banyak tentang medan.
Lima menit berselang
datanglah bus yang dijanjikan. Kali ini ada beberapa kursi kosong. Perjalanan
dari Ankara ke tujuan memakan waktu setengah jam. Tepat setengah jam kemudian pak
supir memanggilku dan mengatakan bahwa kita sudah sampai ke tujuan. Maka
mekarlah mulut tersenyum mengetahui misi penyusulan segera selesai.
Namun ketika turun diri ini
segera syok karena hanya ada padang tandus di sekitar. Ketika kuamati peta,
rupanya desa Alje terletak 4 km dari jalan utama. Lebih parahnya lagi supir
tadi menurunkanku di persimpangan yang salah. Sial benar diri ini turun entah
di mana. Untungnya pertolongan dari Tuhan segera datang. Sebuah mobil entah
milik siapa berhasil kuberhentikan dengan isyarat numpang. Mobil itu berhenti
dan muncullah senyum menyapa.
“Maaf permisi saya mau ke
desa Alje, gimana ya?”
“Persimpangan desa Alje
masih 8 km dari sini nak, masuklah akan saya antar ke sana”
“Cok tesekkur ederim”
jawabku gembira
Ah leganya diri ini menerima
tumpangan. Paman ini amat ramah dan penasaran dengan rupaku yang berbeda dengan
orang setempat.
“Kamu ngapain mau ke desa”
“Ada observasi lapangan
Paman” jawabku “Saya tertinggal rombongan”
Sambil bertukar kata tak
terasa sampailah kami di persimpangan. Di situ masih nampak padang kosong tanpa
tanda kehidupan.
“Maaf ya nak, saya Cuma bisa
antar sampai sini. Kau tunggu saja di persimpangan ini sampai ada kendaraan ke
arah Alje”
“Baiklah Paman, terima kasih
banyak sekali lagi”
Sambil menunggu kendaraan
kuterawang jam lagi untuk melihat waktu. Sampai saat itu sudah dua jam berlalu.
Ah capek sekali rasanya. Lima belas menit menunggu sejak diturunkan oleh paman
tadi namun belum ada juga kendaraan lewat. Karena putus asa akhirnya ku
putuskan untuk jalan kaki menuju desa Alje.
Jalan menuju desa Alje |
Jalannya sedikit menanjak
dan panas matahari memasak. Selama berjalan lewatlah beberapa kendaraan namun
mereka engga
Kaki kaki tetap berjalan dan
sampailah pada puncak bukit. Di situlah riang hati menghampiri. Bus biru kampus
tampak parkir di salah satu bukit seberang. Rombongan belum nampak namun paling
tidak kini semangat kembali mengepak. Ketika sudah tinggal berjarak 200 meter
dari bus, terlihatlah kumpulan manusia dalam bentuk titik titik hitam. Segera
kupercepat kaki untuk mengakhiri misi ini. Tak sia sia rupanya perjalanan
menyusulku.
Tertinggal rombongan memang
merupakan masalah besar. Namun perlu selalu diingat pula bahwa setiap masalah
menawarkan solusi bersama.
What a nice experience, Gas!
BalasHapusBeing late always leaves behind a story :D
BalasHapusits okay
BalasHapus