Ini satu lagi penggalan cerita gila
semasa SMA dulu. Kawan-kawan memang sering berbuat gila, nakal, onar, binal. Ah
semua kata itu tidak cukup menggambarkan semua. Atau mungkin memang semua kawan
SMA kita gila. Atau masa SMA semua manusia memang menjadi gila.
Entahlah yang jelas SMA itu masa
yang sangat menyenangkan. Penuh dengan canda, kita sering tertawa sendiri
bagai orang gila waktu SMA. Bisa jadi inilah penyebab kenapa kita semua gila waktu itu.
Yang gila tak cuma putra, putri juga begitu. Kadang mereka lebih gila.
Bayangkan saja ada suatu masa di mana mereka______. Ah sudahlah tak usah, malah
membuka aib para wanita. Nanti bisa babak belur muka ini dibuat pukulan mereka.
Jadi waktu itu kami sedang berada
di kawasan Bandungan. Setiap akhir semester ada acara jalan-jalan ke tempat
yang kami inginkan. Ada acara tambahan yaitu membaca buku. Atau mungkin bisa
jadi jalan-jalan adalah acara tambahan, dan baca bukulah acara inti. Bagaimanapun cara
melihatnya kami pergi setiap akhir semester.
Semester itu kami tak banyak uang
maka dari itu kami memutuskan untuk menginap di Bandungan saja. Di sana dekat,
murah dan tidak banyak menguras pikiran dalam perencanaan. Hanya satu jam
perjalanan dan banyak pemilik vila yang sudah kami kenal.
Berangkatlah kami dari asrama
malam-malam. Kenapa malam? karena siang masih ada kelas. Setelah satu jam
perjalanan sampailah kami di Bandungan. Oya mungkin ada dari pembaca yang tak
mengetahui keberadaan Bandungan. Ia adalah desa wisata yang terletak tak jauh
dari kota Semarang. Di sana banyak tempat karaoke malam. Tapi malam itu kami
tidak ingin pergi ke bilik-bilik karaoke itu. Banyak wanita di sana dan kata guru
kami berbahaya.
Sesampainya di vila kami langsung
dihidangkan makan malam. Maklum ongkos sewa vila sudah termasuk tiga kali
makan. Jadi penjaga vila sudah menyiapkan hidangan untuk 23 orang. Ya kami ber
23 plus satu Pembina dan Wali kelas kami.
Setelah makan kami tidur lalu
bangun dan baca buku. Waktu SMA, kami disuruh membaca buku agama. Katanya supaya
kami mengerti bagaimana cara hidup yang baik. Agar kami jadi manusia yang berakhlak dan
tidak tertarik main ke karaoke yang ada di Bandungan. Seperti yang aku bilang
tadi di karaoke-karaoke itu terdapat banyak wanita dan botol-botol minuman fermentasi.
Siang kami duduk di ruang utama. Di
antara kerumunan kawan yang sedang duduk manis membaca buku, muncullah Irfan
berjalan menuju toilet. Tak lama setelah itu ada suaru berisik keluar dari sana. Irfan sedang berusaha membuka kait pintu. Berisiknya membuat beberapa
mata melirik bertanya.
“Pintu cacat” kata Irfan
menyumpah serapahi pintu kamar mandi sambil melangkah keluar
“Astaghfirullah hidung ya” kata
Mirza
Irfan memang lebih akrab dengan
panggilan hidung, kata teman-teman, mukanya secara kesuluruhan mirip dengan
hidung.
Karena Irfan tidak keberatan maka
teruslah kami panggil hidung. Selain itu kami juga memanggilnya “mambu” karena
mulutnya bau. Dia jarang sikat gigi ketika SMA, entahlah sekarang. Mungkin sudah
tiga kali disikat gegigiannya dalam sehari.
“Pintune kakeane, jaluk d*******.
Kakeane jianc******k As*****.” Jawab Irfan.
Setelah kata “di” ia mengecilkan
suara dan berbisik. Gerak mulutnya saat berbisik sontak mengundang yang lain
untuk berkomentar. Ia bersumpah-serapah dalam bisik.
“Mambu cacat lambemu” (Fan gak bener banget mulutmu)
“Hidung emang! Cacat!”
“Mambu”
“Hidung mambu”
“Hidung mambu cacat”
“Hidung goblok mambu cacat”
“Hidung goblok pekok mambu cacat
mental binal” saut Mirza dengan mata melotot. Tak hanya itu ia menghampiri
Irfan dan menunjuki hidung Irfan dengan sekeras suara.
“As**** koe mir,hahaha” kata
Irfan tertawa. Entah mengapa sumpah serapah si Mirza ditanggapi Irfan dengan
tawa.
“Aku matiii, kau bau sekali
Irfan. Aaaaaa………….” Mirza menjatuhkan diri ke lantai dan pura pura mati
"Hahahahahahaa"
"Hahahahahahaa"
“Mambu”
“Hidung mambu”
“Hidung mambu cacat”
Semua bersautan lagi sampai
akhirnya keluar suara Braja
“Sssssstt” lirik braja sambil mengisyaratkan
raut muka menyuruh kami untuk diam
Kami semua segera memandangi satu
sama lain dan diam. Keasyikan mengatai Irfan terhenti. Tidak semua sebenarnya,
yang ada di situ saja. Mungkin sepuluh dari kami yang berhasil didiamkan oleh
Braja.
Kondisi membaca kembali kondusif
selama beberapa menit. Teteapi, mungkin karena kami memang tidak begitu tertarik dengan
bacaan, muncullah kegaduhan lagi. Kali ini Hendra yang memainkan gelang. Ia
memukul mukul perhiasannya itu ke lantai berusaha mencari perhatian. Aku
memperhatikan tingkahnya namun diam saja. Biarkan dia lelah sendiri,hahaha
Karena tak ada yang menggubris ia
mempercepat temponya memukuli lantai. Kemudian ia menambah kegaduhan dari mulutnya.
Dia mulai membuat suara aneh dengan memainkan lidah. Lama kelamaan semua
gelisah dan percakapan kembali berdatangan.
“Diam kau il, ganggu saja sukanya,
orang lagi baca di sini” tegur Aswin
Selain Irfan, Hendra juga punya
julukan. Kami menjulukinya Mail si Office Boy. Entah bagaimana asal usulnya
pokoknya saat SMA dia lebih akrab disapa Mail.
“Bosen ndes, berat bacaannya”
keluh Hendra
“Banyak dosa si kau il, panas lah
baca buku begituan” canda Anggono
“As**** kamu Gon,hahaha” jawab
Hendra
“Iya nih bosen cuk, siap siap
buat nanti malam aja gimana? Bakar ayam” Usul Ariza
“Ah jangan ayam udah biasa, babi
aja gimana” Saut Mirza dengan nada serius
"Hahahahahahaha"
"Hahahahahahaha"
“Cocotmu mir, hahaha” sautku
“Panggang babi terus kita minum
jus, jus air ketuban” jawab Mirza. Kami tertawa
“Hahahahahahaahahahaha”
“Ndasmu mir, hahahahaha” kata
Irfan
“Hoeeek Hoeeeek”
“Mambu”
“Hidung abab mambu” saut semua bersamaan
“Mambu”
“Hidung abab mambu” saut semua bersamaan
Kasian sebenarnya Irfan kami
perlakukan seperti itu, namun karena ia tak keberatan kami lanjutkan saja.
“Bakar kelinci aja, atau sate
kelinci” kata Adit
“Oh boleh boleh itu, ide bagus”
tambah Ariza
“Ayo kita tanya yang lain pada
mau enggak, terus kita tarikin uang iuran”
Kami lalu menghampiri Pembina kami
dan meminta permisi untuk keluar ke pasar membeli sate kelinci. 300 tusuk sate
kelinci kami pesan dan mulailah acara bakar-bakar. Tepat pukul 9 malam hidangan semua tersaji. Semua makan kenyang. Untung saja semua doyan.
Sudah kenyang kami berlanjut
bersenang-senang. Ada yang main gitar, ada yang main dota ada pula yang main
PS. Oya masih ada saja saat itu yang membaca buku. Alim sekali mereka, entah bagaimana mereka bisa betah membaca meteri seberat itu.
Satu dua jam berlalu dan pesta belum
menunjukan tanda-tanda akan berhenti. Yang main gitar makin keras bernyanyi,
pemain PS juga makin bernyali dengan sumpah serapah mereka. Para pemian dota
juga begitu, mereka bermain dengan penuh emosi.
Di tengah keasikan itu tiba-tiba
Wali Kelas kami muncul. Ia menghampiriku yang sedang asik main PS dengan si
Yusa. Di sebelah kami ada Aswin yang sedang serius main dota. Ia terhubung
dengan pemain dota lain yang memilih untuk bermain di kamar. Entah mengapa Aswin
begitu emosional malam itu, katanya ia tak mau kalah.
Wali kelas kami mengajak diriku
dan Yusa ngobrol. Seperti biasa kami berbincang sana sini. Aku lupa topiknya. Setelah berbincang dengan kami, ia mengamati Aswin sedang sibuk
dengan laptopnya tanpa menghiraukan kehadiran beliau.
Beliau beranjak pergi namun
beberapa langkah setelah berdiri, beliau kembali ke arah kami. Kini Wali Kelas
kami mengamati Aswin yang masih sibuk dengan laptopnya. Tanpa mengisyaratkan
apapun kepada kami yang ada di dekatnya, beliau menutup mata aswin dari
belakang. Dengan polos reflek Aswin berkata.
“As****, bajing****n, kake****ne.
Minggir anj****ng” sautnya tanpa dosa
Saat itu juga tangan Wali Kelas
kami menyambar telinga Aswin dan menamparnya. Aswin yang menyadari
kecerobohanya kaget dan bingung. Ekspresi marahnya belum berganti menjadi
bersalah. Matanya merah gelisah, ia ingin minta maaf tapi masih tersisa luapan marah.
Permainan dotanya terbengkalai sudah…
Dari kamar seberang berdatangan suara
pemain dota lain. Mereka menegur Aswin yang meninggalkan area virtual perang.
“Win jangan goblok diam di situ,
seranglah musuh” Saut Hendra
Sementara itu wali kelas kami
sedang marah dengan Aswin. Beliau menyuruh Aswin untuk pergi ke balkon. Beliau akan menyidang berbuatan dan perkataan Aswin di sana. Saat itu Aswin masih gugup
dan bingung. Satu tangannya masih menggenggam erat mouse dan satu lagi
menggaruk-garuk rambut.
Aku dan Yusa yang berada di
sampingnya hanya bisa diam. Kami melanjutkan permainan PS sambil mengecilkan suara.
Setelah insiden itu pesta terhenti. Satu bersatu dari kami pergi dan tidur.
Ending yang kurang happy. Ya secepat itulah suasana pesta ramai menjadi hening.
Sayang sekali harus berakhir malam itu.
Namun beberapa bulan setelahnya,
insiden ini menjadi bahan tertawaan kami kepada Aswin. Bodohnya dia menyumpah
serapahi wali kelas :D
Aswin adalah yang memakai baju biru |
0 komentar:
Posting Komentar