Minggu, 19 September 2010

Pagi itu seperti biasa Lisa berpamitan kepada Ayahnya untuk berangkat sekolah. Lisa menghampiri Ayahnya yang sedang menyiapkan gerobak baksonya. Ibu Lisa telah tiada, beliau memutuskan untuk meninggalkan Lisa dan ayahnya untuk menikah lagi. Ayah Lisa, Pak Dirjo setiap harinya keliling berjualan bakso. Dengan pendapatan bersih rata-rata dua puluh lima ribu per hari Keluarga Pak dirjo hidup sangat pas pasan. Mereka tinggal dikontrakan yang sangat kecil. Hanya ada dua ruagan yaitu tempat tidur ukuran 2 x 2 meter dan dapur yang juga berfungsi sebagai garasi gerobak bakso. Kamar mandi mereka harus berbagi dengan penghuni kontrakan yang lain. Tak ada televisi untuk menghibur dua penghuni rumah ini. Hanya sebuah radio kuno merk tens yang mereka temukan di rongsokan sebagai satu satunya hiburan.



Untunglah Lisa berprestasi di sekolah sehingga Pak dirjo bisa terus bersemangat mendorong gerobaknya menyusuri gang gang di tengah kota demi menyekolahkan satu satunya makhluk yang beliau cintai. Lisa Sekolah di SMA N 1 Gunungan yang merupakan SMA favorit di Kota Gunungan. Yang bisa masuk SMA N 1 Gunungan hanyalah siswa siswa pintar dengan IQ rata rata seratus dua puluh dan beberapa anak orang kaya yang mau menyumbangkan dana sebesar lima puluh juta. Meskipun bukan juara kelas, namun Lisa dapat menunjukan prestasinya lewat olimpiade kimia. “Tak usah menguasai semua bidang untuk menjadi sukses!” itulah motto hidup Lisa ketika diwawancarai oleh Kepala sekolah beberapa waktu lalu ketika dia mendapat medali emas OSN.

“Yah saya berangkat dulu ya Yah” sapa Lisa. “Hati hati ya nak, belajarlah yang keras. Ubahlah keluarga ini”. Jawab Pak Dirjo. Beliau memang sangat mengharapkan Lisa menjadi pahlawan keluarganya yang tengah susah ini. Seperti biasa Lisa berjalan kaki menuju sekolahnya yang berjarak sekitar satu kilometer dari kontrakan mungilnya tadi. Lisa berangkat jam enam pagi, dia selalu menjadi yang paling awal di kelas. Sambil menunggu bel Lisa mengerjakan PRnya karena pada malam hari dia harus bantu Ayah bikin bakso. Walaupun begitu Lisa tak pernah sekalipun tidak mengerjakan PR. Lisa amat disenangi oleh guru guru karena kepintarannya. Teman teman Lisa juga sangat respek dengan Lisa karena kesederhanaannya.

Namun ada satu teman yang entah mengapa begitu membenci Lisa yang bernama Shanti, dia adalah anak dari Seorang Pejabat di Gunungan Pak Baroto. Pak Baroto memang sangat kaya, dia memiliki paling tidak tiga pom bensin di kota Gunungan. Bisa dibayangkan berapa penghasilannya kalau satu pom bensin dapat meraup tiga juta sehari. Belum lagi usaha usaha lain yang dirintis Pak Baroto seperti toko roti dan toko baju. Namun dibalik semua kekayaan itu, prestasi Shanti tidak begitu baik. Sebenarnya dia tidak lolos seleksi saat penerimaan siswa baru namun karena Pak Baroto sanggup membayar lima puluh juta agar Shanti bisa menuntut ilmu di SMA N 1 Gunungan.

Shanti selalu membangga banggakan Ayahnya Pak Baroto. Dia selalu pamer ketika dibelikan barang baru yang mahal dari Ayahnya. Dia ke sekolah menggunakan mobil mewah padahal rumahnya hanya berjarak 100 meter dari SMA N 1 Gunungan.Teman teman sangat menyenangi Shanti apalagi setiap harinya selalu ada saja yang ditraktir Shanti di kantin sekolah. Shanti memanfaatkan ini untuk semakin memusuhi Lisa. Dia selalu mengatakan bahwa Lisa itu hanya orang miskin.

“Hey anak pintar, ayahmu di depan tuh. Ga kepengen nyapa?hahahhahahhaa” hardik Shanti dengan muka judesnya. Lisa yang sangat kaget mendengar perkataan Lisa hanya diam di tempat duduknya. “Males beli baksomu deh, takut ada formalinnya,hahahahaah” cetus Shanty. Lisa sangat malu kepada teman temannya, dia juga sangat marah karena sebelumnya dia pernah berpesan kepada Ayahnya agar tidak pernah berjualan di depan SMA N 1 Gunungan. Hanya senyum selebar lima centimeter yang dapat menanggapi perkataan Shanti yang amat sadis tadi.

Sore itu Lisa pulang dengan muka cemberut. Dia memasuki rumah kontrakan mungilnya sambil membanting pintu, dia amat menyesal dengan tindakan Ayahnya berjualan di depan sekolahnya. Ketika itu Ayahnya memang belum datang. Pak Dirjo biasanya pulang ke rumah sekitar jam delapan malam.
Ketika sampai di rumah Pak Dirjo heran dengan sikap anaknya itu, tak biasanya Lisa cemberut seperti itu. Pak dirjo kemudian menghampiri anak semata wayangnya itu dan menanyakan tentang apa gerangan yang telah membuat Lisa sedemikian sedih. “Ayah kenapa tadi jualan di depan sekolah Lisa? Lisa kan malu! Ayah gatau ya tadi temen temen Lisa ngejekin Lisa semua?” keluh Lisa. “Lisa tadi Ayah sepi pelanggan, Ayah bingung mau ke mana lagi dan ketika lewat depan sekolah Lisa banyak yang mau beli. Tadi lumayan Lisa , Ayah alhamdulilah dapat tiga puluh ribu hari ini. Lima ribu lebih banyak dari hari biasa nak” Jawab Pak Dirjo. “Yah tadi Lisa sangat malu !, mungkin sebaiknya Ayah cari kerjaan lain saja. Jangan jadi tukang bakso lagi !” pungkas Lisa yang kemudian tidur.

Pak Dirjo kemudian membereskan gerobaknya sambil merenung, dia beliau tak habis pikir kalau Lisa akan marah seperti itu. Malam itu Lisa benar benar marah dan tidak mau membantu Pak Dirjo membuat bakso untuk hari esok. Persiapan membuat bakso yang biasanya tuntas jam sepuluh malam jika dikerjakan bersama Lisa kali ini harus dikerjakan Pak dirjo seorang diri. Beliau baru selesai pada pukul dua belas malam.

Tiga hari berlalu dan Lisa masih saja cemberut dengan Ayahnya. Ia selalu mengeluh tentang pekerjaan ayahnya yang menjadi bahan ejekan di kelas. Shanti dan kawan kawannya memang tak henti henti mengejek Lisa, apalagi setelah mengetahui Ayah Lisa berjualan di depan sekolah. “Ayah kenapa masih jadi tukang bakso, Ayah ga kasian sama Lisa? Tiap hari Lisa diejek sama Shanti anaknya Pak Baroto. Enak ya dia sudah kaya temannya banyak pula.” Keluh Lisa. “Lisa Ayah gatau harus kerja apa lagi, Ayah ga akan ninggalin bakso. Yang penting halal Lisa” jawab Pak dirjo dengan nada tinggi.

Ketika itu pagi pagi di kelas teman temannya sedang ramai berkumpul membicarakan sesuatu. Tak biasanya teman teman Lisa ribut di pagi hari. Lisa yang melihat gerombolan teman temannya itu tidak tertarik untuk bergabung. Dia langsung duduk di bangkunya, takut jika dia hanya akan menjadi bahan ejekan. “Lisa sini gabung,ngapain kamu di situ sendirian?” tegur salah satu teman Lisa. Lisa pun memenuhi panggilan temannya tadi. “Lihat ni, ternyata Pak Baroto itu korupsi. Sekarang dia di tahan di Nusakambangan. Ternyata semua uang Shanti itu haram, yang merasa pernah ditraktir Shanti sebaiknya kembalikan saja uangnya. Haram!” saut teman temannya.

Tak lama kemudian Shanti pun datang. Ketika baru meginjakan satu langkah ke dalam kelas teman temannya langsung mengolok olok Shanti. Shanti yang biasanya bericara banyak layaknya seorang presenter, diam seribu bahasa. Shanti terus menjadi perbincangan bahkan saat pelajaran teman teman sekelasnya tak henti hentinya mengolok olok Shanti. “Kalian tidak boleh seperti itu kepada Shanti!” ucap bu guru. “Ya tapi kan Ayahnya korupsi bu? Mencuri uang rakyat, uang kita, uang ibu juga.” Jawab salah satu siswa. “ Ya itu kan ayahnya. kita tidak boleh menilai orang karena orang tuanya. Belum tentu Shanti seperti itu!” pungkas bu Guru.

Lisa diam dan kemudian termenung di bangkunya. Dia menyesal telah marah kepada ayahnya yang rela capek capek berkeliling jualan bakso untuk menyekolahkannya. Lisa menangis, dia akhirnya sadar bahwa seseorang tidak dinilai karena pekerjaan ayahnya meainkan karena perilakunya.

--TAMAT --

0 komentar:

Posting Komentar