Minggu, 19 September 2010

Ketika itu aku duduk di kelas tujuh SMP dan sangat hobi bermain bersama teman teman di kampung. Waktu itu aku belum mengenal dunia motor, kendaraanku adalah sebuah sepeda merk “optimist” yang dibelikan ayahku selepas khitanan di awal tahun ajaran kelas enam. Sepeda itu ku kayuh ke mana mana termasuk ke sekolah. Biasanya aku berangkat dari rumah pukul enam karena setelah setengah tujuh jalanan mulai ramai dan hawanya mulai panas.


Cerita ini tidak ada kaitannya dengan sekolah, ini adalah pengalamanku bersepeda dengan teman teman kampungku. Ketika itu hari Minggu dan seperti biasa jam delapan pagi aku menghampiri satu per satu temanku. Kami berkumpul di depan MAN 1 Purwokerto dan mulai merencanakan rute. Hari itu kami cukup gila untuk memutuskan bersepeda ke Purbalingga ke desa kakekku yang berjarak sekitar tiga puluh kilometer. Biasanya kami hanya menempuh jarak lima hingga tujuh kilometer namun kali ini entah setan apa yang merasuki kami hingga kami nekat ke Purbalingga.

Tanpa persiapan apapun dan hanya membawa uang sebesar lima ribu rupiah kami berangkat berempat. Aku, Udin, Salman dan Ponco berangkat dengan penuh semangat. Udin dan salman cukup gila karena tiga puluh kilometer ke depan atau enam puluh kilometer bolak balik mereka akan berboncengan. Salah satu dari mereka akan gantian duduk di besi rusuk antara setang sepeda dan sadel tempat duduk. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana lelahnya dan tersiksanya pantat mereka nanti, namun tak ada guna mengingatkan, mereka sudah terlanjur bersemangat.

Kami melewati jalan alternatif ke Purbalingga, dari perempatan Dukuh Waluh kami berbelok ke kiri untuk menghindari keramaian jalan kampus UMP-Kembaran yang terkenal cukup padat. Sampai daerah Sumbang kami berbelok kanan ke arah timur menuju Kembaran. Pamandangan sawah dan pak tani menghiasi sekeliling jalanan yang panas. Kami sangat bersyukur masih bisa melihat pemandangan ini. Aku bisa membayangkan sepuluh tahun ke depan tempat ini pasti sudah penuh dengan rumah rumah.

Satu jam belalu dan kami baru sampai di daerah Padamara yang terkenal dengan objek wisata kolam ikannya. Kami baru setengah perjalanan dan sudah kelelahan, terik matahari yang panas dan lembab itu telah perlahan lahan menghabiskan cairan tubuh kami. Udin dan Salman telah mengeluh dari tadi kapan kita akan sampai. Aku yang paling tahu jalannya hanya bisa menghibur dengan mengatakan bahwa rumah kakekku tinggal dua puluh menit lagi. Padahal jikalau di hitung hitung perjalanan masih satu jam lagi.

Udin dan Salman tak henti hentinya bertanya, mereka mulai curiga dengan perkataanku tentang dua puluh menit lagi karena sudah tiga puluh menit semenjak kami mengayuh dari Padamara dan kami belum sampai juga. Karena tak tahan lagi kami akhirnya berhenti di sebuah warung untuk membeli minuman. Kami sempat bercerita pada ibu pemilik warung bahwa kami bersepeda dari Purwokerto, namun sepertinya ibu itu tidak percaya bahwa gerombolan anak kecil ini benar benar jujur. Beliau hanya tertawa setiap kami mencoba meyakinkan.

Kami melanjutkan perjalanan dan akhirnya masuk daerah Kaligondang, sekitar lima kilometer dari tempat kakekku di Sinduraja. Medan semakin sulit karena terdapat dua tanjakan yang amat curam. Udin dan Salman yang berboncengan terpaksa harus menuntun sepeda mereka, aku dan Ponco ikut menuntun sepeda kami karena tidak enak dengan mereka. Tak seperti ruas jalan yang dikelilingi sawah tadi, ruas jalan di sini dikelilingi oleh pohon pohon ketela. Maklum daerah ini tergolong cukup kering. Untuk membuat sumur saja kita harus menggali sekitar dua puluh meter ke bawah tanah untuk menemukan air. Padahal sumur di rumahku hanya sedalam tujuh meter dan airnya melimpah.

Singkat cerita kami akhirnya sampai di rumah kakekku. Beliau kaget menerima kedatangan kami yang jauh jauh dari purwokerto menggunakan sepeda. Kami bercerita pada beliau tentang perjalanan dua jam yang melelahkan tadi. Kakekku tersenyum mendengar cerita kami bangga bahwa di jaman modern ini cucunya masih mau bersepeda. Kakek membelikan soto untuk makan siang, kami yang memang sangat lapar langsung menyantapnya tanpa sisa satu tetes kuah pun. Setelah sholat dzuhur kami pamit untuk kembali pulang. Kami tak bisa lama lama karena perjalanan masih dua jam dan kami telah memperkirakan akan sampai sekitar jam empat sore. Kakekku memberi uang dua puluh ribu untuk uang saku perjalanan pulang. Kami berempat sangat bahagia karena ada jatah makan lagi dari Kakekku.

Jalanan pulang tak seberat tadi siang. Matahari sudah tidak begitu panas dan perjalanan serasa lebih cepat. Kami akhirnya sampai kembali di Purwokerto dan memutuskan untuk mampir ke warung mie ayam. Kondisi Salman dan Udin terlihat sangat parah, berjalan kesulitan menahan nahan linu, mereka telah berboncengan selama empat jam. Kami memesan empat porsi dan empat es teh. Sambil menyantap hidangan sore itu kami bercerita pada abang penjual mie ayam tentang perjalanan kami barusan. Meskipun sangat lelah kami merasa sangat puas dan bangga dengan pencapaian hari itu.

0 komentar:

Posting Komentar