Minggu, 16 Januari 2011

Ketika aku buka lemari es dengan mudah kutemukan setumpuk kemasan sosis sosis. Mba Imur yang biasanya melakukan tugas memasak hari itu tak ada di rumah. Ia pulang lantaran sudah sangat rindu pada orang tua di rumah. Tentu Ibu sangat memaklumi kepulangan Mbak Imur mengingat sudah tiga bulan ia tidak pulang. Maka dari itu hari ini Ibu menyuruhku memasak untuk makan siang. Dapur memang tak asing lagi bagiku. Ruang yang setiap harinya aku kunjungi guna memenuhi kebutuhan perutku telah dengan sangat aku hafal. Mulai dari letak piring piring hingga tempat menyimpan mie instan yang dirahasiakan dari adik-adik. Namun saat ini aku gugup berdiri di ruang itu tepat berhadapan dengan pintu lemari es yang terbuka dengan sebuah kertas berisi daftar bahan bahan untuk membuat tumisan. Sosis yang masih beku tadi terlihat sangat keras dan amat sulit untuk dipotong.


“Bu sosisnya keras banget bu” teriakku bertanya pada Ibu. Kamarnya lumayan jauh dari dapur. Sopan sopan saja ku kira, mengingat akan sangat tidak efisien jika aku harus menghampiri kamar beliau dan kembali lagi hanya untuk satu pertanyaan.

“Direndem air Gas, tunggu sepuluh menit sambil motong motong yang lain” Jawab beliau.

Instruksi segera dilaksanakan, kuletakkan rendaman sosis itu di atas meja yang berada tepat di samping lemari es. Kemudian aku lanjutkan pencarian bahan bahan hidangan siang ini. Saos tiram, mentega, wortel, brokoli dan bawang bombay masih berada di antara kepungan penghuni lemari es.

Singkat cerita urusan dengan lemari es telah kelar. Bahan bahan tadi aku bariskan rapi berjejer di samping kompor. Sekarang tinggal bumbu bumbu dasar yang tersisa dalam kertas daftar. Mereka tak sulit untuk dicari lantaran letak mereka yang berada tepat di atas kompor. Lima buah bawang putih, garam, gula dan mrica aku kumpulkan jadi satu dalam sebuah piring, melengkapi barisan calon tumisan.

Tanpa bertanya pada ibu terlebih dahulu, aku cuci wortel dan brokoli kemudian kupotong kecil kecil. Hasilnya memang jauh dari bagus. Bentuk antara irisan satu dengan yang lain betul betul menunjukan seberapa amatirnya diri ini dalam memegang pisau. Hanya segelintir potongan wortel yang benar benar berbentuk bulat. Sisanya kacau, bagai bulan yang telah dipotong di kedua sisi yang tak sejajar, sangat jauh dari klasifikasi bentuk bulat. Sementara brokoli bernasib tak jauh berbeda, untung saja bentuknya tidak bulat sehingga tak ada yang tahu jikalau yang memotong amatiran atau kaum ibu berpengalaman.

Selanjutnya bawang bombay yang masih utuh aku kupas hingga tampak daging halusnya. Dicuci dan kemudian dibelah jadi dua. Dalam sekali masak biasanya Ibu atau Mba Imur hanya menghabiskan setengah bawang bombay. Maka kusimpan belahan satunya ke dalam lemari es, berbaring tengkurap di atas sebuah piring mini. Kemudian kembali lagi ke depan belahan bawang bombay calon tumisan.

Pisau kembali bersandar di tangan kananku melancarkan irisan demi irisan pada bawang bombay malang calon tumisan. Kali ini aku tak terlalu kecewa mengingat seberapa pun bagus irisan bawang bombay, pada akhirnya akan hancur setelah ditumis. Selanjutnya giliran mengulek bawang putih yang tentunya telah tercuci bersih. Mereka bisa dikatakan sebagai calon tumisan yang paling malang. Di saat yang lain di potong mereka harus rela ditempa sampai hancur tak punya bentuk. Sebenarnya bukan hanya pada kasus tumisan, namun juga pada kasus masakan lain. Jarang sekali bawang putih berbentuk irisan sebelum terjun ke panci penggorengan atau tumisan. Jika ada survei tentang nasib bawang putih sebelum dimasak, maka bisa aku perkirakan lebih dari sembilan puluh persen bawang putih berbentuk hancur dan sisanya berbentuk irisan.

Kompor aku nyalakan, semua telah siap untuk ditumis. Namun ketika hendak memutar tuas kompor, aku baru ingat kalau sosis sosis beku tadi belum aku potong. Sontak tuas tadi berhenti dan kompor batal menyala. Aku hampiri rendaman tadi dan ternyata benar kata ibu, setelah lama direndam sosis sosis tadi lunak kembali. Tanpa membuang waktu, plastik demi plastik yang membungkus sosis aku sisihkan. Kemudian aku bariskan sosis sosis tadi berjejer di samping pisau sebelum aku potong. Entah mengapa aku senang melihat sesuatu yang berbaris. Mereka terlihat rapi dan terstrukur.

Kali ini kompor benar benar aku nyalakan. Di atasnya sebuah panci teflon yang siap mengolah para calon tumisan.

“Bu udah siap ni, yang mana dulu yang masuk?” teriakku.

“Bawang dulu sampai wangi, terus bawang bombay sama saus tiram, terus wortel, brokoli baru sosisnya. Oya jangan lupa kasih tomat kalau udah mateng.” Jawab Ibu.

“Oke bu, garam gula seberapa?saus tiram seberapa?” tanyaku.

“Terserah kamu”

Jawaban terakhir Ibu sungguh mengagetkan. Beliau memasrahkan takaran bumbu sepenuhnya padaku. Dengan penuh keraguan proses menumis aku mulai. Panci teflon tadi aku lapisi mentega. Bawang putih yang hancur tadi kemudian kumasukan. Tak lebih dari dua menit, tumisan bawang putih berubah kecokelatan mengeluarkan bau sedapnya. Segeralah kuambil saus tiram beserta bawang bombay. Aku aduk dan aduk pelan pelan hingga aroma bawang putih tadi bercampur dengan aroma bawang bombay.

Kemudian kumasukan wortel dan brokoli ke dalam panci teflon. Belum lama aku aduk kepulan asap muncul di atas tumisan. Setelah kutengok ternyata api terlalu besar dan bumbu bumbu tadi telah mengering. Karena panik segera aku siramkan air kedalam panci sambil mengecilkan api. Sempat ada niatan untuk segera memanggil Ibu dan menyerahkan semua tugas yang berantakan ini. Namun hati ini berkata lain, akan sangat malu jika masak begini saja tidak bisa. Maka niat tadi aku batalkan dan segera memikirkan sebuah solusi.

Tumisan yang telah bercampur air terasa sangat hambar, sia sialah tumisan bumbu yang telah beraroma wangi tadi. Dengan pengalaman dapur yang amat minim aku tambahkan lima sendok saus tiram lagi ke dalam tumisan. Kupikir saus itu akan menghilangkan kehambaran tadi. Kemudian aku cicipi. Rasanya memang lumayan pasca kedatangan saus tiram namun aku masih merasa ada yang kurang. Sesaat setelah itu aku baru sadar kalau dari tadi garam dan gula sama sekali belum terjun ke dalam panci. Benar saja ketika air masuk rasanya berubah hambar.

Dua sendok teh garam dan satu sendok teh gula ku masukan. Menyusul di belakang mereka adalah sosis sosis yang sudah kupotong tadi. Pelan pelan tumisan kuaduk sampai pada saat terlihat kembali kepulan asap. Maka saat itu tumisan telah matang dan api aku matikan. Sambil menunggu aku kembali ke lemari es untuk mengambil dan memotong tomat. Tangan kananku kembali beraksi dengan pisau. Dan tak jauh berbeda dengan wortel, tomat yang semula bulat sebulat bola berubah menjadi potongan potongan tidak karuan. Meskipun demikian warna merahnya masih menunjukan bahwa itu tomat. Kemudian potongan tadi aku campurkan dengan tumisan. Setelah itu aku pindahkan tumisan tadi ke sebuah piring.

“Ibu, tumisannya udah jadi!”
Categories:

2 komentar: