Senin, 23 Mei 2011




“Keparat ternyata si Roni main api!” Bastian menggerutuk melihat Roni makan mie bersama Tasya di sebuah kedai sore itu. Tanpa lama menunggu dihampirinya Roni lalu dengan segenap tenaga tangan kulinya, Roni terkapar jatuh. Tasya yang kaget melompat menghindar melihat Bastian ngamuk mengumpat-umpat. Baik asu maupun segawon keluar semua dari mulut mengiringi pukulan demi pukulan. Roni tak sadar menutup mata tapi nafasnya masih ada. Mukanya tampak merah memar sedikit berdarah.


“Bastian kita kan udah putus!” rengek Tasya

“Diam kamu Tasya, ini urusanku sama dia” teriak Bastian.

Bastian mengambil nafas sebentar setelah enam puluh sembilan detik memukul Roni tanpa henti. Roni kemudian berangsur-angsur sadar, namun tak lama setelah matanya terbuka, tangan kuli Bastian beraksi lagi. Tasya segera pergi mencari satpam agar mantannya segera ditangkap dan diadili. Malang kepalang ternyata tepat saat itu satpam kedai telah kena PHK semua. Kedai mie tersebut memutuskan untuk melangsingkan pengeluaran semenjak industri mie Nusantara mengalami krisis akhir bulan lalu. Pemilik kedai juga tak mau ikut membantu karena ia tahu, berurusan dengan Bastian sama dengan muka memar biru. Bastian terus mengamuk mabuk menghajar Roni. Kali ini kaki-kaki kudanya ikut diundang pesta tangan-tangannya. Pukul tendang pukul pukul, pukul tendang pukul pukul, begitulah irama pestanya.

“Makan tu Ron, Asu we, ngene iki konco, maine soko mburi!” umpat Bastian.

Tasya makin tak tahan melihat kekasih barunya hancur lebur diremuk Bastian. Diambilah pisau lalu ia melompat ke sisi depan Bastian. Ditampari muka Bastian sekali menginterupsi menarik atensi.

“Kalo kamu ga berhenti, aku bunuh diri. Aku lebih baik mati.” ancam Tasya.

“Tunggu Tasya, don’t even think about it! please” pinta Bastian.

“Not until you stop punching him” jawab Tasya.

“Aku gaterima kamu jalan sama dia, dia kan temenku masa . . . ” Bastian mencoba mengelak.

Melihat Bastian yang mulai ngeyel, Tasya segera mempertemukan ujung pisau dengan pergelangan tangannya.

“Dasar keras kepala, nyesel aku pernah jadi pacarmu, Saklek!” bentak Tasya

“Okok Tasya, aku ga akan hajar dia, tapi tu aku ...”

“Menengo Bas, tapi tapi mulu dari tadi . . . !” jawab Tasya lantang.

Pisaunya telah menggores 0,0005 centimeter kulit mulus tangannya. Segera Bastian meraih Tasya merebut pisau dari genggamannya.

“Tasya please, I still love. I love you so much, so so much” pinta Bastian

“Then why don’t you stop arguing, I only want you to leave me and Roni alone. Kita udah ga ada hubungan apa-apa lagi Bastian” jawab Tasya sedikit kesal.

“I know, memang benar kita udah ga ada apa-apa lagi, tapi Tasya ...”

Tasya meloloskan diri dari genggaman Bastian lalu melompat meraih pisau kembali. Terbang sesaat lalu mendarat tepat pada pegangan pisau. Guling kanan kiri ala parkour lalu berhenti pada tumpuan kedua lututnya. Tasya berdiri dan kali ini tanpa basa basi diselipkan pisau itu ke dalam perutnya. Darah merah segar mengucur banyak tak terkira. Setelah itu Tasya meraih pisaunya lagi lalu dicabutnya dari perut dan menusukannya pada paha kanan. Darah mengucur lagi, dan jauh lebih deras dari perut. Persis hukum Bernouli di mana lubang yang memiliki jarak terdekat dengan permukaan tanah memiliki tekanan paling tinggi.

Tasya kini jatuh dan mati, kulit terangnya jadi putih pucat ngeri. Bastian hanya terdiam membisu menyaksikan mantan kekasihnya tak bernyawa lagi. Tiba-tiba Roni bangun dari pingsannya.

“Tasya, oh Tasyaku, kenapa kamu seperti ini” tangis Roni, ia kemudian berbalik badan

“Kau Bastian, gara-gara kamu, apa yang kau lakukan?” bentak Roni.

“Aku hanya tak suka kalian jalan berdua” jawab Bastian sedikit menangis.

“Kau kan sudah putus dengannya, apa urusanmu?” tanya Roni keras.

“Aku tahu itu, memang benar aku tak ada apa-apa lagi dengan Tasya, hanya saja aku . . .”

“Asu we Bas, hanya saja hanya saja!” bentak Roni. Dengan segenap tenaga ditendanglah Bastian tepat pada mulutnya .
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar