Tampilkan postingan dengan label KEARIFAN FILM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KEARIFAN FILM. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Desember 2012




  Posting ini ditulis setelah tersentuh hati oleh sebuah film yang berjudul “Tanah Surga Katanya”. Film ini berkisahkan tentang kehidupan masyarakat Indonesia di perbatasan Malaysia. Tentang bagaimana susahnya hidup seribuan kilometer dari ibu kota Jakarta, tentang bagaimana tidak ratanya pembangunan di Indonesia. Selama sembilan puluh menit penonton dihidangkan kritikan-kritikan lembut berupa gambar bergerak, kepada siapa saja di Indonesia yang telah menikmati kecukupan. Bersama kritikan tersebut sang sutradara tak lupa mengingatkan para penonton akan rasa memiliki Indonesia. Isu keindahan Indonesia yang biasanya diangkat untuk menggugah hati penonton diolah dengan cara yang berbeda. Karena memang sebagaimanapun kaya dan indah Indonesia, kita masih tertinggal dari bangsa bangsa lain. Oleh karena itu mengingatkan para pemuda akan kekayaan dan keindahana Indonesia saja tidak cukup. Para pemuda harus disinggung dan dikritik agar akhirnya bergerak.

                Saya masih berada di tanah perantauan, di Turki atau sembilan ribu kilometer barat laut Indonesia untuk tepatnya. Memang kata merantau saat ini tidak membawa makna yang sebenarnya. Merantau lebih identik dengan hidup susah di tanah seberang. Merantau adalah mengadu nasib di negeri orang dengan modal seadanya. Sedangkan saya, saya masih dapat menikmati hangat pemanas dan mewahnya kopi di musim dingin. Atau roti segar pengganti nasi yang masih sukar dicari bagi saudara sendiri di tanah air. Jadi turunkanlah harga kata merantau itu di tulisan ini.

               Selama kurang lebih tujuh belas bulan saya telah berpisah secara fisik dengan Indonesia. Meskipun berita berita nasional masih terus dapat diikuti, dan  makanan makanan khas nusantara masih saja bisa ditemui, kerinduan seorang dari rumahnya tetap terasa kuat. Ketika rindu tiba obat-obatnya seperti lagu-lagu dan foto-foto masa SMA tidak cukup menawar candu akan menghirup udara lembab iklim nusantara. Kala sakau itu ada diri ini semakin menghargai akan indahnya hidup di Indonesia. Entah itu hal buruk seperti macet dan gundukan sampah atau hal indah seperti pamandangan Gunung Slamet dan sekitarnya, semua sama menjadi objek rindu perantau murah ini.

               Bukanlah berarti pelajar di luar negeri hanya belajar dan merindu. Kepekaan kami akan kewajiban membangun negeri terbangun lebih di tanah orang ini. Secara pribadi timbul keinginan lebih serius untuk beraksi untuk negeri sendiri. Apalagi jika bertemu orang setempat atau pun warga asing yang kebetulan tinggal di sini. Banyak dari mereka yang selalu mengidentifikasi Indonesia sebagai Negara sangat miskin. Ditambah lagi media setempat yang beberapa kali menggambarkan si miskin dari timur dengan cara yang cukup dramatis. Kata-kata mereka benar menampar dan menyadarkan. Kita sebagai pemuda entah belajar di bidang mana pun harus bergerak setelah selesai menempuh pendidikan nanti atau bahka dari sekarang. Jangan cuma bermimpi berdomisili di Jawa atau malah berkeinginan pindah ke Jawa.

                Dari film ini saya mengambil sebuah kutipan. “Wilayah Indonesia itu kan luas sekali ya, kamu gak cukup satu hari pake perahu untuk bisa ngelilingi Indonesia. Jadi butuh waktu lama, butuh kerja keras supaya bisa mengolah alam ini semuanya, supaya semua rakyatnya sejahtera” kata Dokter Intel kepada Salman. Memang betul sebagaimana pun kita diberitahu bahwa tanah Indonesia itu subur dan amat sangat kaya dengan sumber daya alam. Namun semua akan percuma jika tidak ada dari kita yang mengolahnya. Yang ingin Indonesia agar menjadi bangsa yang lebih baik itu bukan saya sendiri atau pun sekedar para pelajar Indonesia yang ada di luar negeri. Saya yakin ada ratusan ribu pemuda di Indonesia yang ingin hal serupa. Sudah banyak dari mereka yang bertemu dan merealisakan aksi. Ada juga mereka yang masih berkutat dalam perumusan ide menunggu pengeksekusi gagasan gagasan mereka. Jadi di manakah diri anda? 

Jumat, 27 April 2012





Türkiye’de kaldığım süre içinde sadece dört Türk filmi izledim. Birisi ‘Baba ve Oğlum’ ve üç tane Recep İvedik film seyrettim. Bence Recep İvedik Türkiye’nin Mr Bean versiyonu. Mr Bean İngiliterde yaşar. Adam çok sapık ve onun hayatı hiç bir gercek hayat gibi değildir.

Mr Bean ve Recep İvedik aslında çok benzemiyor. Sadece komiklikte eşittir. Recep’in söylediği sözcükler ve onun hareketleri daha ağırdır. Onu izlerken ‘Nasıl bir adam ya?’ diye sorarım. O kadar deli ki, ben gerçekten Recep İvedik gibi komşuyla yaşayamam. Öyle bir adam bulsam hemen ondan uzaklaşacağım.

Sabtu, 28 Januari 2012



Tiba tiba saja aku menangis sedikit di akhir adegan film Hati Merdeka. Beberapa cuplikan video perjuangan kemerdekaan diiringi lagu patriotik memaksa air mataku keluar. Otakku masih dipenuhi oleh adegan saling bunuh para aktor. Sebenarnya film ini telah lama siar namun aku baru sempat menontonnya. Tiga seri film yang bertemakan perjuangan kemerdekaan Indonesia itu akhirnya berakhir juga. Kapten Amir, Marius, Senja, Thomas dan Dayan sukses menjalankan misi mereka.


                Rasa gemetar biasanya hanya datang ketika mendengarkan lagu Indonesia Raya atau ketika melihat sang bendera berkibar. Di kota ini aku bersyukur masih bisa melihat dua bendera Negara kita yang berkibar setiap saat. Satu di wisma dan satu lagi di kantor KBRI. Namun di depan laptopku aku mulai merenungi tentang hak dan kewajibanku terhadap negaraku sendiri. Sudah seberapa berjuang aku ini? Ataukah belum sama sekali?

Rabu, 25 Januari 2012



Doğaüstü bir güç olsaydı, ben sihirli bir yüzük sahibi olmak isterim. O yüzük, ben onu taktığımda beni görünmez kılardı. Neden bunu isterim? Önemi nedir? Aslında bu fikir çok meşhur bir film ‘Lord of The Rings’den geldi. Bu film’de Froddo Bagins görünmeden düşmanının yanına gidebilir. Ama bu yüzükte kötü bir ruh vardı. Ben böyle yüzük istemem.