Sabtu, 28 Januari 2012



Tiba tiba saja aku menangis sedikit di akhir adegan film Hati Merdeka. Beberapa cuplikan video perjuangan kemerdekaan diiringi lagu patriotik memaksa air mataku keluar. Otakku masih dipenuhi oleh adegan saling bunuh para aktor. Sebenarnya film ini telah lama siar namun aku baru sempat menontonnya. Tiga seri film yang bertemakan perjuangan kemerdekaan Indonesia itu akhirnya berakhir juga. Kapten Amir, Marius, Senja, Thomas dan Dayan sukses menjalankan misi mereka.


                Rasa gemetar biasanya hanya datang ketika mendengarkan lagu Indonesia Raya atau ketika melihat sang bendera berkibar. Di kota ini aku bersyukur masih bisa melihat dua bendera Negara kita yang berkibar setiap saat. Satu di wisma dan satu lagi di kantor KBRI. Namun di depan laptopku aku mulai merenungi tentang hak dan kewajibanku terhadap negaraku sendiri. Sudah seberapa berjuang aku ini? Ataukah belum sama sekali?


                Sejak SMP aku telah banyak dijejali tentang nasionalisme. Suatu ketika aku pernah disuruh untuk mencium tanah guna menunjukkan rasa cinta tanah air. Sebagai junior aku menurut saja berlutut lalu menempelkan lidahku pada bantaran semen halaman sekolah. Kakak seniorku bukan senang justru marah, bahkan sebagian dari mereka tertawa dengan kekonyolanku.

                “Itu bukan caranya cinta tanah air dek……”

Aku hanya bisa mengingat kata-kata ini. Selebihnya aku lupa dan tidak pula mau mengingatnya. Singkat cerita aku menjalani kegiatan-kegiatan organisasi hingga pada akhirnya menjadi senior juga. Puncaknya adalah tanggal 17 Agustus 2007. Aku bersama dua orang kawanku bertugas menjadi pengibar bendera. Bukan di alun-alun kota, hanya tingkat sekolah saja. Kebetulan aku bertugas menjadi penarik bendera. Prosesi pengibaran diawali dengan pembawaan bendera, lalu pemasangan dan akhirnya pengibaran. Ketika lagu Indonesia Raya berkumandang aku tarik tali berlahan-lahan. Pengibaran sukses dengan ditandai sinkronasi antara akhir lagu dan sampainya bendera di puncak. Bangga sekali hari itu, tidak setiap saat di sekolah kami bendera sampai bersamaan dengan berhentinya lagu.

Di kalangan pelajar cara paling aplikatif untuk memupuk rasa nasionalisme memang melalui kegiatan upacara bendera. Karena dalam ritual pengerekan bendera itu kita bisa merenung dan mengenang para pahlawan Indonesia. Karena dengan memandangi kain merah putih itu kita bisa membayangkan tumpah darah pengorbanan kemerdekaan dan putih ketulusan dalam berkorban.

Kegiatan bertema nasionalisme tidak hanya berhenti di tingkat SMP. Di SMA aku juga bergabung dengan ekstrakulikuler Paskibra. Di sini kami tidak hanya bertugas di hari kemerdekaan. Hari pahlawan serta beberapa event lainnya menjadi pekerjaan tahunan kami. Aku terpilih lagi menjadi pengibar namun kali ini cukup menjadi pengiring saja.

                Setelah lulus dari SMA rasa nasionalisme itu pudar sepertinya. Jika dahulu aku hampir selalu menyediakan waktu untuk hormat kepada bendera, kali ini semua biasa saja. Jika dahulu aku marah marah kepada mereka yang tak mau hormat, sekarang masa bodoh kelakuan mereka. Bendera hanyalah kain berwarna merah putih, simbol Negara Indonesia yang berkibar di tiang-tiang.

                Kemudian suatu hari si Gea (baca juga http://igeacitta.wordpress.com/ ) memberikan sebuah link e-book milik Panji. Dia sebenarnya masih bergelut untuk ujian nasional namun masih menyempatkan diri jalan-jalan sana sini di dunia maya. Alhasil beberapa sumber bagus didapatnya mulai dari bukik.com hingga blognya Pak Dahlan Iskan. Aku terinfeksi lalu terjangkit dan untungnya bisa ikut menikmati. E-book buatan Panji isinya sangat bagus dan mengena. Jiwaku terbangun lagi, nafsu akan mencintai negeri ini bergairah lagi. Halaman demi halaman aku baca dan kecintaan itu semakin menjadi-jadi
               
                Namun pada bagian akhir buku aku disuguhi berbagai macam kontroversi sejarah yang masih menjadi misteri. Beberapa pertanyaan seperti “Benarkah Indonesia merdeka sendiri? ataukah sebuah pemberian? Mengapa Malaysia tidak bersatu dengan kita padahal mereka serumpun? Atau Belandakah yang menyatukan kita dari Sabang sampai Merauke?” membuat hati bingung. Kegalauan dan dilema akan negeri sendiri mencengkeram hingga malam ini. Dan pada malam ini aku terbangun kembali. Malam ini aku berhasil move on.

                *intermezzo

Semenjak tinggal di Turki aku sering ditanyai “Indonesia itu di mana?” atau “Indonesia itu benderanya warna apa?” atau “Indonesia banyak orang miskin ya?”. Untuk pertanyaan pertama tentu aku menerangkannnya dengan jelas hingga titik koordinat garis lintang dan garis bujur. Karena ada sebagian orang yang menganggap Indonesia ada di benua Amerika Latin. Pertanyaan kedua biasanya aku jawab dengan gambar. Dan pertanyaan ketiga aku jawab dengan volume sedang, melunakkan tekanan. Pertanyaan ketiga memang berat untuk dijawab namun begitulah kenyataannya.

                Aku cukup kecewa sebenarnya karena Negara sebesar Indonesia tidak masuk di dalam memori mereka. Kita itu punya penduduk nomor 4 di dunia, populasi muslim terbanyak serta pulau terbanyak. Kita juga masuk dalam G20 menemani Turki dan delapan belas Negara lainnya sebagai pelaku ekonomi terbesar. Tapi kenapa jarang sekali yang tahu. Lalu aku buka sumber sana sini untuk mengulas lagi tentang negeriku sendiri. Mulai dari sejarah penjajahan hingga budaya tarian yang ada. Tujuannya agar mengenalkan Indonesia setiap mereka bertanya. Memang tak semua antusias namun biarlah. Aku sudah biasa berbicara dengan lawan yang tak antusias.

                Malam ini pikiranku melayang ke belakang mengingat dialogku dengan seorang kawan berkebangsaan Turki. Kami berbagi sejarah Indonesia dan Turki. Tentu saja ia bercerita tentang Kerajaan Ustmani (Ottoman Empire) yang jaya di benua biru dahulu. Aku pun bercerita bahwa Kerajaan Ustmani sudah berhubungan baik dengan kerajaan di Indonesia dahulu ketika jaman penjajahan.

                “Indonesia itu dijajah sama Belanda ya, Eropa memang menjajah seluruh dunia waktu itu” katanya padaku dengan nada biasa datar.

                “Ya mereka menjajah kami selama lebih kurang tiga setengah abad. Lalu datang pula Jepang. Tapi kami berjuang dan akhirnya merdeka”

                Ingatan tentang penggalan dialog inilah yang membuatku bisa move on cinta Indonesia. Penggalan dialog ini menjawab semua keraguan yang bersumber dari pertanyaan Panji di akhir e-booknya. Persatuan negeri ini mungkin saja adalah sebuah pemberian. Jalan jalan dan rel kereta memang Belanda yang buat. Namun bagaimanapun juga pahlawan-pahlawan saat itu telah berjuang. Ribuan bahkan jutaan mati dalam kurun waktu tiga setengah abad. Tujuan mereka untuk bebas!

                Jika dipikir lagi kita memang bersatu karena senasib menjadi jajahan Belanda. Tentang Malaysia yang tidak bergabung dengan kita itu urusan lain. Penjajah mereka adalah Inggris bukan Belanda. Betul adanya bahwa kita masih satu rumpun. Wajah kita mirip bahasa pun demikian. Tapi jika kita membawa persamaan itu lebih luas lagi, sebenarnya Filipina juga mirip dengan kita. Bahasa mereka masih memilik struktur yang sama dengan bahasa bahasa di Indonesia. Masalah persamaan ini tidak bisa kita jadikan alasan bahwa Indonesia itu bersatu karena Belanda. Kita tidak bisa serta merta melupakan tumpah darah para pahlawan saat itu yang memperjuangkan kemerdekaan.

                Kawanku semua, tidak semua Negara yang dahulu dijajah bisa berjuang hingga akhirnya merdeka. Saya yakin perjuangan melawan Inggris juga terjadi di Malaysia namun akhir cerita saja yang berbeda. Berbanggalah disertai syukur, janganlah berbangga untuk sombong karena kenyataannya kita bukan Negara maju yang kaya raya. Jika pun kita nantinya menjadi macan Asia lagi, rasanya tidak pantas rasa sombong itu dipelihara.

                Seperti kata guru guru kita di masa SD, SMP dan SMA “Pahlawan zaman dahulu itu berjuang mati matian untuk mendapatkan kemerdekaan, marilah kita isi kemerdekaan itu dengan hal hal yang berguna. Hanya itulah yang bisa kita berikan untuk Indonesia sekarang !”

                 

                  
Categories:

2 komentar:

  1. saya juga meneteskan air mata di saat menonton film itu. saya setuju dengan pernyataan anda "Berbanggalah disertai syukur, janganlah berbangga untuk sombong karena kenyataannya kita bukan Negara maju yang kaya raya" namun menurut saya, benar kita bukan negara maju tapi kita negara yang kaya, hanya saja belum bisa menggunakan kekayaannya dengan efektif dan efisien.

    BalasHapus