Minggu, 20 Maret 2011



Siang itu saya iseng-iseng membuka koleksi video-video saya selama 2010. Kala itu jemari-jemari saya membawa saya pada folder ‘Semesta Day’. Total 40 video dari awal pembukaan acara hingga bagian drama yang dimainkan tim drama putri. Tepat saat menonton video yang terakhir saya teringat akan kejadian hari itu.



Tim drama putri amat marah pada jadwal drama yang molor sehingga waktu mereka banyak yang dipotong. Keadaan semakin tidak enak karena beberapa lobby mereka sebelum acara banyak yang tidak terpenuhi. Mereka merasa sangat dipermalukan pada acara tersebut. Tentunya saya sebagai ketua panitia bertanggung jawab atas ketidakpuasan tersebut. Beberapa perwakilan tim drama kemudian mengungkapkan keluhan mereka langsung pada saya. Saya meminta maaf dan bersedia untuk dihukum. Saya adalah orang yang percaya akan hukum karma dan saya tahu karma akan menghampiri saya karena peristiwa ini. Permintaan hukuman saya anggap sebagai sesuatu yang sepadan agar karma itu cepat terjadi.

Ternyata setelah beberapa hari hukuman tak kunjung diputuskan. Mereka telah memaafkan dan hanya menyarankan agar kejadian seperti itu tidak terulang kembali. Pernyataan ini tak hanya membuat lega hati dan pikiran saya, tetapi juga membawa saya pada pandangan baru bahwa karma bisa hilang setelah kedua belah pihak saling bermaafan.

Namun ternyata karma tetaplah karma. Tak hanya saya seorang melainkan seluruh tim drama putra akhirnya kena imbas pada perayaan 17 agustus 2010. Sudah menjadi tradisi tim drama putra untuk tampil pada setiap hari perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia. Kala itu kami begitu siap dengan cerita dan property yang akan kami kenakan. Kami juga telah menyiapkan metode baru yang ditawarkan oleh pembimbing kami Pak Jumiko. Beliau mengusulkan bahwa pada acara 17-an kali ini drama akan ditampilkan melalui rekaman (dubbing). Alasan utama beliau adalah karena pada hari tersebut kami juga melaksanakn ibadah puasa.

Awalnya ada beberapa anggota yang kurang setuju dengan metode ini. Mereka lebih memilih tampil live dangan mulut mereka langsung. Setelah beberapa kali dirapatkan akhirnya kami setuju untuk rekaman. Lambat laun keraguan akan metode dubbing hilang seiring dengan kemajuan kami saat latihan. Sekarang tak ada lagi salah kata karena yang perlu kami lakukan hanyalah lipsync.

Tanggal 17 Agustus tiba dan tepat setelah upacara bendera selesai, seluruh siswa berkumpul di lapangan sekolah untuk manyaksikan drama tahunan ini. Drama yang telah kami persiapan secara matang ternyata mendapat respon yang berbeda. Pada saat kami tampil jarang ada penonton yang bersorak. Mereka diam karena sound system yang kami gunakan kurang memadai sehingga apa yang dikatakan para pemain tidak dapat dimengerti. Para pemain juga terlihat pucat mukanya tanpa ada dukungan moril dari penonton. Saya yang bertugas menjadi operator tak dapat berbuat apapun. Kami malu dan amat kecewa apalagi beberapa kalangan guru mengatakan bahwa drama kali ini jelek.

Hampir semua anggota tim drama kesal. Saya meminta maaf karena memang sejak awal sayalah yang mengawali metode dubbing tersebut. Di sinilah saya sadar kembali bahwa hukum karma tetap berlaku meskipun sudah saling memaafkan. Apa yang dialami tim drama putri pada saat Semesta Day kami alami pada 17 Agustus 2010. Rasanya humiliasi memang pantas dibalas dengan humiliasi.
Categories:

2 komentar:

  1. admitting the false is a good point. keep up the positive aspect, mate!

    BalasHapus