Jumat, 22 November 2013

Ini satu lagi penggalan cerita gila semasa SMA dulu. Kawan-kawan memang sering berbuat gila, nakal, onar, binal. Ah semua kata itu tidak cukup menggambarkan semua. Atau mungkin memang semua kawan SMA kita gila. Atau masa SMA semua manusia memang menjadi gila.

Entahlah yang jelas SMA itu masa yang sangat menyenangkan. Penuh dengan canda, kita sering tertawa sendiri bagai orang gila waktu SMA. Bisa jadi inilah penyebab kenapa kita semua gila waktu itu. Yang gila tak cuma putra, putri juga begitu. Kadang mereka lebih gila. Bayangkan saja ada suatu masa di mana mereka______. Ah sudahlah tak usah, malah membuka aib para wanita. Nanti bisa babak belur muka ini dibuat pukulan mereka.

Jadi waktu itu kami sedang berada di kawasan Bandungan. Setiap akhir semester ada acara jalan-jalan ke tempat yang kami inginkan. Ada acara tambahan yaitu membaca buku. Atau mungkin bisa jadi jalan-jalan adalah acara tambahan, dan baca bukulah acara inti. Bagaimanapun cara melihatnya kami pergi setiap akhir semester.  

Semester itu kami tak banyak uang maka dari itu kami memutuskan untuk menginap di Bandungan saja. Di sana dekat, murah dan tidak banyak menguras pikiran dalam perencanaan. Hanya satu jam perjalanan dan banyak pemilik vila yang sudah kami kenal.


Berangkatlah kami dari asrama malam-malam. Kenapa malam? karena siang masih ada kelas. Setelah satu jam perjalanan sampailah kami di Bandungan. Oya mungkin ada dari pembaca yang tak mengetahui keberadaan Bandungan. Ia adalah desa wisata yang terletak tak jauh dari kota Semarang. Di sana banyak tempat karaoke malam. Tapi malam itu kami tidak ingin pergi ke bilik-bilik karaoke itu. Banyak wanita di sana dan kata guru kami berbahaya.

Sesampainya di vila kami langsung dihidangkan makan malam. Maklum ongkos sewa vila sudah termasuk tiga kali makan. Jadi penjaga vila sudah menyiapkan hidangan untuk 23 orang. Ya kami ber 23 plus satu Pembina dan Wali kelas kami.

Setelah makan kami tidur lalu bangun dan baca buku. Waktu SMA, kami disuruh membaca buku agama. Katanya supaya kami mengerti bagaimana cara hidup yang  baik. Agar kami jadi manusia yang berakhlak dan tidak tertarik main ke karaoke yang ada di Bandungan. Seperti yang aku bilang tadi di karaoke-karaoke itu terdapat banyak wanita dan botol-botol minuman fermentasi.

Siang kami duduk di ruang utama. Di antara kerumunan kawan yang sedang duduk manis membaca buku, muncullah Irfan berjalan menuju toilet. Tak lama setelah itu ada suaru berisik keluar dari sana. Irfan sedang berusaha membuka kait pintu. Berisiknya membuat beberapa mata melirik bertanya.

“Pintu cacat” kata Irfan menyumpah serapahi pintu kamar mandi sambil melangkah keluar

“Astaghfirullah hidung ya” kata Mirza

Irfan memang lebih akrab dengan panggilan hidung, kata teman-teman, mukanya secara kesuluruhan mirip dengan hidung.

Karena Irfan tidak keberatan maka teruslah kami panggil hidung. Selain itu kami juga memanggilnya “mambu” karena mulutnya bau. Dia jarang sikat gigi ketika SMA, entahlah sekarang. Mungkin sudah tiga kali disikat gegigiannya dalam sehari.

“Pintune kakeane, jaluk d*******. Kakeane jianc******k As*****.” Jawab Irfan.

Setelah kata “di” ia mengecilkan suara dan berbisik. Gerak mulutnya saat berbisik sontak mengundang yang lain untuk berkomentar. Ia bersumpah-serapah dalam bisik.

Mambu cacat lambemu” (Fan gak bener banget mulutmu)

“Hidung emang! Cacat!”

“Mambu”

“Hidung mambu”

“Hidung mambu cacat”

“Hidung goblok mambu cacat”

“Hidung goblok pekok mambu cacat mental binal” saut Mirza dengan mata melotot. Tak hanya itu ia menghampiri Irfan dan menunjuki hidung Irfan dengan sekeras suara.

“As**** koe mir,hahaha” kata Irfan tertawa. Entah mengapa sumpah serapah si Mirza ditanggapi Irfan dengan tawa.

“Aku matiii, kau bau sekali Irfan. Aaaaaa………….” Mirza menjatuhkan diri ke lantai dan pura pura mati

"Hahahahahahaa"

“Mambu”

“Hidung mambu”

“Hidung mambu cacat”

Semua bersautan lagi sampai akhirnya keluar suara Braja

“Sssssstt” lirik braja sambil mengisyaratkan raut muka menyuruh kami untuk diam

Kami semua segera memandangi satu sama lain dan diam. Keasyikan mengatai Irfan terhenti. Tidak semua sebenarnya, yang ada di situ saja. Mungkin sepuluh dari kami yang berhasil didiamkan oleh Braja.

Kondisi membaca kembali kondusif selama beberapa menit. Teteapi, mungkin karena kami memang tidak begitu tertarik dengan bacaan, muncullah kegaduhan lagi. Kali ini Hendra yang memainkan gelang. Ia memukul mukul perhiasannya itu ke lantai berusaha mencari perhatian. Aku memperhatikan tingkahnya namun diam saja. Biarkan dia lelah sendiri,hahaha

Karena tak ada yang menggubris ia mempercepat temponya memukuli lantai. Kemudian ia menambah kegaduhan dari mulutnya. Dia mulai membuat suara aneh dengan memainkan lidah. Lama kelamaan semua gelisah dan percakapan kembali berdatangan.

“Diam kau il, ganggu saja sukanya, orang lagi baca di sini” tegur Aswin

Selain Irfan, Hendra juga punya julukan. Kami menjulukinya Mail si Office Boy. Entah bagaimana asal usulnya pokoknya saat SMA dia lebih akrab disapa Mail.

“Bosen ndes, berat bacaannya” keluh Hendra

“Banyak dosa si kau il, panas lah baca buku begituan” canda Anggono

“As**** kamu Gon,hahaha” jawab Hendra

“Iya nih bosen cuk, siap siap buat nanti malam aja gimana? Bakar ayam” Usul Ariza

“Ah jangan ayam udah biasa, babi aja gimana” Saut Mirza dengan nada serius

"Hahahahahahaha"

“Cocotmu mir, hahaha” sautku

“Panggang babi terus kita minum jus, jus air ketuban” jawab Mirza. Kami tertawa

“Hahahahahahaahahahaha”

“Ndasmu mir, hahahahaha” kata Irfan

“Hoeeek Hoeeeek”

“Mambu”

“Hidung abab mambu” saut semua bersamaan

Kasian sebenarnya Irfan kami perlakukan seperti itu, namun karena ia tak keberatan kami lanjutkan saja.

“Bakar kelinci aja, atau sate kelinci” kata Adit

“Oh boleh boleh itu, ide bagus” tambah Ariza

“Ayo kita tanya yang lain pada mau enggak, terus kita tarikin uang iuran”

Kami lalu menghampiri Pembina kami dan meminta permisi untuk keluar ke pasar membeli sate kelinci. 300 tusuk sate kelinci kami pesan dan mulailah acara bakar-bakar. Tepat pukul 9 malam hidangan semua tersaji. Semua makan kenyang. Untung saja semua doyan.

Sudah kenyang kami berlanjut bersenang-senang. Ada yang main gitar, ada yang main dota ada pula yang main PS. Oya masih ada saja saat itu yang membaca buku. Alim sekali mereka, entah bagaimana mereka bisa betah membaca meteri seberat itu.

Satu dua jam berlalu dan pesta belum menunjukan tanda-tanda akan berhenti. Yang main gitar makin keras bernyanyi, pemain PS juga makin bernyali dengan sumpah serapah mereka. Para pemian dota juga begitu, mereka bermain dengan penuh emosi.

Di tengah keasikan itu tiba-tiba Wali Kelas kami muncul. Ia menghampiriku yang sedang asik main PS dengan si Yusa. Di sebelah kami ada Aswin yang sedang serius main dota. Ia terhubung dengan pemain dota lain yang memilih untuk bermain di kamar. Entah mengapa Aswin begitu emosional malam itu, katanya ia tak mau kalah.

Wali kelas kami mengajak diriku dan Yusa ngobrol. Seperti biasa kami berbincang sana sini. Aku lupa topiknya. Setelah berbincang dengan kami, ia mengamati Aswin sedang sibuk dengan laptopnya tanpa menghiraukan kehadiran beliau.

Beliau beranjak pergi namun beberapa langkah setelah berdiri, beliau kembali ke arah kami. Kini Wali Kelas kami mengamati Aswin yang masih sibuk dengan laptopnya. Tanpa mengisyaratkan apapun kepada kami yang ada di dekatnya, beliau menutup mata aswin dari belakang. Dengan polos reflek Aswin berkata.

“As****, bajing****n, kake****ne. Minggir anj****ng” sautnya tanpa dosa

Saat itu juga tangan Wali Kelas kami menyambar telinga Aswin dan menamparnya. Aswin yang menyadari kecerobohanya kaget dan bingung. Ekspresi marahnya belum berganti menjadi bersalah. Matanya merah gelisah, ia ingin minta maaf tapi masih tersisa luapan marah. Permainan dotanya terbengkalai sudah…

Dari kamar seberang berdatangan suara pemain dota lain. Mereka menegur Aswin yang meninggalkan area virtual perang.

“Win jangan goblok diam di situ, seranglah musuh” Saut Hendra

Sementara itu wali kelas kami sedang marah dengan Aswin. Beliau menyuruh Aswin untuk pergi ke balkon. Beliau akan menyidang berbuatan dan perkataan Aswin di sana. Saat itu Aswin masih gugup dan bingung. Satu tangannya masih menggenggam erat mouse dan satu lagi menggaruk-garuk rambut.

Aku dan Yusa yang berada di sampingnya hanya bisa diam. Kami melanjutkan permainan PS sambil mengecilkan suara. Setelah insiden itu pesta terhenti. Satu bersatu dari kami pergi dan tidur. Ending yang kurang happy. Ya secepat itulah suasana pesta ramai menjadi hening. Sayang sekali harus berakhir malam itu.

Namun beberapa bulan setelahnya, insiden ini menjadi bahan tertawaan kami kepada Aswin. Bodohnya dia menyumpah serapahi wali kelas :D

Aswin adalah yang memakai baju biru



Categories:

0 komentar:

Posting Komentar