Kamis, 14 November 2013


Padang tandus di luar Ankara
Terlambat ditinggal rombongan memang bukan hal yang menyenangkan. Apalagi ketika kau harus ditinggal di lingkungan yang cukup asing. Itulah yang terjadi hari minggu lalu pada diri ini. Hari itu Jurusan kami mengadakan observasi lapangan ke sebuah desa yang bernama Alje di luar Ankara. Perjalanan tersebut akan menjadi observasi lapangan pertama angkatan kami. Di sana kami akan menengok bebatuan dan penampakan alam yang ada lalu merangkumnya dalam sebuah laporan.

Beberapa hari sebelumnya dosen kami Pak Bora telah mengumumkan bahwa bus akan berangkat dari halaman bangunan Teknik Geologi Minggu pukul 09.00 pagi. Minggu pagi itu alarm sudah mantap terpasang pada pukul 07.00 pagi. Biasanya persiapan membersihkan badan serta sarapan akan memakan waktu sekitar satu jam. Jadi jika rencana berjalan lancar pukul 08.00 diri ini sudah beranjak ke kampus. Dan tepat pukul sembilan misi pra observasi lapangan terlaksana.

Sayangnya tak semua rencana berjalan seperti perkiraan. Perhitunganku mulai meleset sejak alarm pukul 07.00 berbunyi. Minggu dini hari jam di Turki mengalami pergantian untuk menyesuaikan pendeknya hari di musim dingin. Semua jam dimajukan sebanyak enam puluh menit. Hal ini menjadi keuntungan karena kami mendapat satu jam ekstra untuk tidur.


Namun apa daya keuntungan itu justru membuat badan ini malas hingga alarm pukul 07.00 baru benar benar membangunkan mata pada pukul 07.30. Praktis waktuku untuk bersiap siap tinggal menyisakan 30 menit. Padahal dalam rentang waktu itu aku harus mandi, menyiapakan bekal siang hari dan menyuap roti.

Rencana semakin meleset ketika di pusat kota aku harus berganti kendaraan dari bus ke minibus. Rasa buru buru harus dibayar dengan kecerobohan memilih minibus. Kampus kami terletak lumayan jauh dari pusat kota dan tak banyak kendaraan umum yang ke sana di akhir pekan. Jauhnya jarak antara gerbang komplek kampus dengan Gedung jurusan menambah sempurna kesulitan perjalanan kali ini.

Mininbus yang aku naiki ternyata hanya melewati pintu gerbang kampus dan mau tak mau masuk, akhirnya aku harus berjalan ke gedung jurusan. Sebagai gambaran, perjalanan menuju gedung jurusan biasanya memakan waktu 15 menit. Meskipun sudah terbiasa mondar mandir di area kampus dengan berkendara sepasang kaki. Pagi itu kekhawatiran akan terlambat berhasil menelanjangi semangat kakiku.

Ketika sampai di gerbang jam sudah menunjukan pukul 09.00. Segera rasa panik masuk menakuti, menggantikan si ceroboh yang sudah berhasil membimbingku ke minibus yang salah. Sekarang semua bayangan di kepala berganti dengan lamunan nasib terlantar tertinggal rombongan.

Sesampainya di jurusan tak seorang pun terlihat. Hanya ada mobil-mobil yang terparkir rapi, mendampingi gedung jurusan yang rapat terkunci. Jam pada telepon genggam sudah menunjukan pukul 09.17. Melihat kesepian yang ada, kuhubungi kawanku Jem untuk menanyakan keberadaan rombongan. Benarlah firasatku sejak tadi, bus jurusan kami sudah berangkat tepat pukul 09.00.

"Sorry my friend we left the building right at 09.00. If only you called"

Kira kira begitu bunyi smsnya ketika kutanya tentang keberadaan mereka. Lemas betul rasanya badan ini mengetahui ditinggal rombongan. Kubalikkan badan untuk berjalan kembali ke arah pintu gerbang. Mentalku yang keropos sudah menyuruhku pulang dan tidur saja. Ia kuturuti sampai suatu ketika ada yang membisiki dalam hati.

Entah mengapa niatku untuk pulang pergi dengan datangnya imajinasi mengejar rombongan yang meninggalkanku tadi. Segera rencana disusun dengan target pukul 12 sampai di lokasi. Pertama adalah menanyakan lokasi tujuan, kedua adalah mencari kendaraan menuju terminal kota, dan ketiga adalah klimaks misi menyusul rombongan jurusan.

Untung saja zaman sudah modern dan menemukan desa Alje cukup memakan 15 menit penelusuran di aplikasi peta. Segera aku stop minibus berlabel terminal kota dan bergegas ke rencana selanjutnya. Sampai di terminal, langkahku berlarian ke arah bagian informasi. Rupanya bapak yang menunggu bagian informasi tak mengerti tentang Alje.

Bagaimana pun Alje adalah sebuah desa kecil dan tak semua orang mengetahuinya. Untungnya ada seorang satpam yang sedang bertugas menghampiri. Ia rupanya berasal dari desa dekat Alje. Segera ditunjuknya tempat menunggu bus ke Polatli yang merupakan kota terdekat dari desa Alje.

Sesampainya di halte kusempatkan menengok jam untuk melihat tingkat keberhasilan misi penyusulan. Rupanya sudah satu jam berlalu sejak saat mencari peta tadi hingga tiba di halte. Tak lama menunggu, datanglah bus jurusan Polatli. Tanpa banyak tanya segera aku naik. Rupanya kursi sudah lumayan penuh dengan hanya menyisakan jatah untuk satu.
Entah mengapa di tengah jalan pak supir mengambil dua penumpang baru dan menyuruhku turun. Katanya kendaraan penuh dan dapat mengancam keselamatan. Ia mengisyaratkanku untuk turun dan naik bus yang ada di belakang. Ah ada ada saja ini supir, namun apa boleh buat karena memang tak tahu banyak tentang medan.

Lima menit berselang datanglah bus yang dijanjikan. Kali ini ada beberapa kursi kosong. Perjalanan dari Ankara ke tujuan memakan waktu setengah jam. Tepat setengah jam kemudian pak supir memanggilku dan mengatakan bahwa kita sudah sampai ke tujuan. Maka mekarlah mulut tersenyum mengetahui misi penyusulan segera selesai.

Namun ketika turun diri ini segera syok karena hanya ada padang tandus di sekitar. Ketika kuamati peta, rupanya desa Alje terletak 4 km dari jalan utama. Lebih parahnya lagi supir tadi menurunkanku di persimpangan yang salah. Sial benar diri ini turun entah di mana. Untungnya pertolongan dari Tuhan segera datang. Sebuah mobil entah milik siapa berhasil kuberhentikan dengan isyarat numpang. Mobil itu berhenti dan muncullah senyum menyapa.

“Maaf permisi saya mau ke desa Alje, gimana ya?”

“Persimpangan desa Alje masih 8 km dari sini nak, masuklah akan saya antar ke sana”

“Cok tesekkur ederim” jawabku gembira

Ah leganya diri ini menerima tumpangan. Paman ini amat ramah dan penasaran dengan rupaku yang berbeda dengan orang setempat.

“Kamu ngapain mau ke desa”

“Ada observasi lapangan Paman” jawabku “Saya tertinggal rombongan”

Sambil bertukar kata tak terasa sampailah kami di persimpangan. Di situ masih nampak padang kosong tanpa tanda kehidupan.

“Maaf ya nak, saya Cuma bisa antar sampai sini. Kau tunggu saja di persimpangan ini sampai ada kendaraan ke arah Alje”

“Baiklah Paman, terima kasih banyak sekali lagi”

Sambil menunggu kendaraan kuterawang jam lagi untuk melihat waktu. Sampai saat itu sudah dua jam berlalu. Ah capek sekali rasanya. Lima belas menit menunggu sejak diturunkan oleh paman tadi namun belum ada juga kendaraan lewat. Karena putus asa akhirnya ku putuskan untuk jalan kaki menuju desa Alje.

Jalan menuju desa Alje
Jalannya sedikit menanjak dan panas matahari memasak. Selama berjalan lewatlah beberapa kendaraan namun mereka engga

n menerima isyarat numpang yang kusodorkan. Beratus meter berlalu dan belum juga ada tanda desa. Hanya padang tandus beserta bukit batu kapur di situ. Diri sempat frustasi jangan jangan telah sampai ke tempat yang keliru.

Kaki kaki tetap berjalan dan sampailah pada puncak bukit. Di situlah riang hati menghampiri. Bus biru kampus tampak parkir di salah satu bukit seberang. Rombongan belum nampak namun paling tidak kini semangat kembali mengepak. Ketika sudah tinggal berjarak 200 meter dari bus, terlihatlah kumpulan manusia dalam bentuk titik titik hitam. Segera kupercepat kaki untuk mengakhiri misi ini. Tak sia sia rupanya perjalanan menyusulku.

Tertinggal rombongan memang merupakan masalah besar. Namun perlu selalu diingat pula bahwa setiap masalah menawarkan solusi bersama.


Categories:

3 komentar: