Kamis, 27 Maret 2014

Selepas matahari terbenam dan hari jatuh dalam gelap, panggilan sembayang berkumandang. Jalanan sekitar ramai dilalui kendaraan, membawa pulang orang-orang. Klakson dan suara TOA berpapasan, saling sapa kemudian berlaluan.

Sementara itu ramai masih nempel di jalanan. Beberapa polisi berjaga, siaga apabila ramai jatuh dalam larinya. Setiap hari selama beberapa puluh tahun, ramai rutin lari-lari pada pagi dan sore. Usianya tak bisa dibilang tua namun polisi tetap berjaga pada sudut-sudut jalan yang menjadi jalur kesukaan ramai.

Aku ikut mengamati maraton tunggal ramai. Tak hanya mengamati, bahkan beberapa menit yang lalu ikut terlibat. Tadi aku turun di salah satu halte.

Sedari tadi kedua kaki diam berdiri tertopang tiang dalam bus. Kini mereka melangkah, menuju tempat istirahat. Melewati gang sepi.

Tak seperti ramai, sepi diam di antara himpitan rumah-rumah. Ia enggan memilih jalan hidup si ramai yang haru berolahraga dua kali sehari.

Sampailah aku pada suatu pohon, lalu berhenti. Di situ terduduklah badan, menikmati petang. Mengambil nafas lalu melepas kembali. Begitu berkali-kali sampai senada, irama antara mengambil dan melepas.

Lelah sekali, padahal sudah beratus hari berlalu. Lantas bagaimana bisa baru terasa lelah sekarang?

Ketika sibuk banyak tenaga kerja sana sini semua terlihat mudah. Urusan ini beres, yang itu selesai. Tiba tiba semua kacau.

Ternyata yang terlihat hanya menyenangkan mata. Organ lain tak terpuaskan pandangan. Jatuhlah satu persatu sampai seluruhnya. Kini terduduk badan, dengan kelelahan semua organ.

Menatap langit kemudian mencari Tuhan. Di antara bintang-bintang dan rembulan.

"Adakah Engkau melihat di sana, kelelahan organ-organ di bawah sini?"

Meski sunyi, sorot mata Tuhan menghujam. Memandangi hambanya yang lemah. Memancarkan harapan, yang sayangnya tak sampai pada si hamba. Pancaran itu nyata namun si hamba tak mampu mengambilnya.

Aku di sana, di antara pancaran itu diam. Pancaran itu lari ke sekitar,masih dalam jangkauan mata.

Organ-organ lelah ini belum bangkit, masih terduduk di bawah pohon tadi. Sinar rembulan dan bintang masih di sana bersama Tuhan. Memandangiku dengan keheranan.

"Ini harapan sudah terpancar, kenapa masih diam hamba itu? Selelah itukah? Selemah itukah?"

Mungkin itu yang terucap di atas sana.

Hamba dalam duduknya melanjutkan lamunan. Di antara sepi himpitan bangunan-bangunan. Di bawah pohon dan bulan bintang, masih dalam pengawasan Tuhan.

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar