Jumat, 20 Maret 2015


Bandara Lombok malam hari (dari gembolransel.com)

Gabriel dan Garcia melambaikan tangan. Mereka telah dijemput seseorang, meninggalkanku sendiri di antara kerumunan pelataran bandara. Kami baru saja berkenalan di bangku pesawat terbang tadi. Kami duduk bersebelahan sejak memulai perjalanan dari Yogyakarta. Mereka pasangan muda dari Spanyol yang sedang melancong, menikmati sebagian keindahan Indonesia. Saat masih di udara mereka bercerita tentang perjalanan mereka selama lima hari di Jakarta dan lima hari lainnya di Yogyakarta. Kata mereka Indonesia bagus dan murah, sangat cocok untuk dijadikan tujuan liburan. Selain itu orangnya ramah-ramah dan selalu sumringah ketika melihat mereka. Ini membuat liburan mereka lebih indah, karena di tempat asal sana, mereka hanyalah penduduk biasa. Tiada pernah didapat oleh mereka perhatian sedemikian rupa.

Betapa senangnya mereka, yang terbiasa hidup mahal lalu menemukan Indonesia. Ah Indonesia, negeri indah nan jauh di timur sana. Tak hanya murah, matahari pun bersinar indah tanpa lelah. Kalau orang Jepang menyebut negara mereka tempat terbitnya matahari, maka Indonesia adalah tempat nongkrongnya matahari. Sepanjang tahunnya mentari tak banyak pindah dari garis edarnya. Dipandangnya Indonesia tepat di muka, dan hanya sedikit tolehnya, yaitu pada permulaan dan pertengahan jalan edarnya.

Malam itu lambaian tangan kami mengakhiri pertemanan yang baru terjalin di pesawat tadi. Setelah ini, sangat mustahil kami kembali bersua. Alangkah bahagianya dua sejoli itu, menikmati sisa liburan mereka di pesisir pantai pulau terbarat Nusa Tenggara. Semoga Lombok bisa menutup akhir cerita indah mereka. Sebelum rutinitas mereka kembali menelan tawa, yang telah terbangun sejak di Jakarta hingga esok lusa. Kata mereka hati-hati, dan semoga kita bertemu lagi.

Senyum mereka hilang, ditelan pulau Lombok malam-malam. Inilah salah satu indah perjalanan, kita akan dihadapkan beberapa pertemanan instan. Meski tak lama, pertemanan macam ini tetap membekas. Ia kelak akan menjadi bahan cerita pada sanak famili atau pada kekasih hati. Cerita pertemanan singkat tadi akan ikut memberi warna, pada kehidupan kita yang mulai tak punya nuansa. Biarkan ia menambahkan sedikit arti, pada corak kehidupan yang kini lebih banyak diwarnai berburu harta, berjualan tahta dan hura hura.

Di antara kerumunan tadi tiada pos ojek kudapati. Pikirku, di bandara selain Sukarno-Hatta akan ada banyak tawaran ojek menanti. Rupanya aku salah asumsi, karena Lombok telah naik kelas alias go international. Tiada lagi ojek punya nyali, menawari jasa antar jemput sana sini. Yang ada hanya taksi, dengan tarif lumayan tinggi. Tak lama setelah hilang bayangan dua sejoli tadi datanglah bapak Surdi. Seorang bapak yang mulai bertanya hendak ke mana malam-malam begini.

"Saya mau ke Sembalun Pak, ingin menengok gunung Rinjani"

"Wah Sembalun jauh, tidak ada siapa pun yang ke sana, apalagi sudah jam segini"

"Baik Pak, biarkan saya menanti, siapa tahu akan ada orang lain yang mau ke Rinjani"

Satu jam setelah jawaban tadi, tiada seorang pun yang mau ke sana. Sementara itu jam telah menunjuk angka 21.40 WITA. Pak Surdi yang sedari tadi masih mengamati akhirnya datang lagi menghampiri.

"Kalau sudah jam segini, tidak ada lagi orang ke Sembalun"

Maka mulailah kami tawar-menawar. Pak Surdi terlalu tinggi menetapkan harga padahal diri ini hanya seorang mahasiswa. Meski berlangsung alot, akhirnya aku mengangguk mau karena sudah tak mungkin lagi Pak Surdi diajak negosisasi. Ia pun sudah paham, siapa yang sebenarnya lebih membutuhkan.

Segera kami berangkat ke Sembalun. Kata Pak Surdi perjalanan akan memakan waktu dua setengah jam. Ada yang aneh dengan Pak Surdi ketika duduk dalam kemudi. Ia mengemudi tidak seperti laki-laki. Kaki kananya terlalu dalam menempel pedal gas, sementara kaki kirinya terlalu kasar memindah gigi percepatan. Mengetahui ini segeralah aku minta berhenti. Saat itu di samping jalan ada warung makan remang-remang. Kami berhenti sejenak untuk bersantap gorengan ayam. Saat makan kecurigaanku menemui jawaban. Benarlah kegugupan Pak Surdi, beliau belum genap satu tahun memulai profesi ini.

"Hahaha, Bapak ini, yaudah kalau gitu biar saya saja yang mengemudi"

Tawaku bersautan, dikatakannya "iya" dan "tidak apa apa mas". Awalnya ia sedikit malu, karena seharusnya bersama ialah mobil berpacu. Namun malam itu keselamatan kami lebih penting, karena jalan ke Sembalun akan menanjak dan berkelok. Belum lagi kabut pegunungan, yang dengan mudah dapat menghilangkan penglihatan. Ini akan sangat berbahaya jika yang mengemudi belum banyak mengoleksi jam terbang.

Tak lama kami menjadi akrab bersama sedikit kepulan asap. Rupanya Pak Surdi pernah tiga tahun merantau ke negeri Jiran. Ia lebih fasih berbahasa melayu dari pada berbahasa Indonesia. Anaknya dua, satu SD satu SMA dan sangat disayangnya. Kami bertukar cerita di tengah gelap jalanan malam. Menertawai kehidupan, merindukan cerita lama dan saling bertanya pada masa depan. Ini merupakan pertemanan instan kedua sejak meninggalkan Yogyakarta sore tadi.

Pukul 00.00 sampailah kami di kawasan taman nasional Gunung Rinjani. Kami disambut lebat pepohonan dna kabut pegunungan. Sesekali monyet lompat menyeberangi muka jalanan yang nampak basah tersentuh embun. Celoteh kami berkurang, karena baik pengemudi dan penumpang kini harus mulai lebih waspada.

Medan jalan yang naik dan berliku serta kehadiran mobil dari arah berlawanan menguji kemampuan mengemudi. Pada beberapa kesempatan, aku harus menekan gas pelan-pelan karena kabut pekat. Hanya putih terlihat dan jarak pandang tertutup hampir rapat. Jika teledor sedikit saja, masuk jurang jadi taruhan. Kami beruntung karena setengah jam kemudian kami sampai di Sembalun Lawang. Indah betul malam di Sembalun Lawang dengan ramai kerumunan bintang. Aku belum pernah menemui kerumunan bintang seramai di sana. Di tambah lagi megah pantulan bulan, yang putih memancar bersinar.

Tak lama setelah gerbang desa tibalah kami di Pos Pengawasan Gunung Api Rinjani. Di sana kami disambut oleh Pak Yuli yang kebetulan bertugas malam itu. Sembari mengemas barang-barang, aku dan Pak Surdi bercakap-cakap untuk terakhir kali.

"Tidak pernah ada malam penuh bintang seperti ini di pulau Jawa Pak Surdi'

"Mungkin mas tinggal di kota"

"Ini seperti mimpi Pak Surdi, saya kira mustahil ada pemandangan seperti ini di Lombok"

"Memang bagus mas, belum banyak lampu di sini."

"Pak Surdi ikutlah menginap malam ini, berbahaya sendirian ke Mataram"

"Tidak apa mas, saya rindu anak istri"

Begitulah tutur Pak Surdi menolak tawaranku. Baginya kerumunan bintang malam itu tak lebih indah dari senyum keluarganya di Mataram. Di situ pertemananku dengan Pak Surdi berakhir. Seperti pertemanan instan sebelumya, ia tak awet dan hanya berlangung sebentar. Namun pertemanan itu tetap memberi warna, pada corak kehidupan yang mulai kehilangan nuansa.

bersambung.....................

Pemandangan malam di Sembalun Lawang, Lombok



Categories:

0 komentar:

Posting Komentar