Kamis, 23 Juni 2022
Senin, 15 November 2021
Selasa, 14 September 2021
Sabtu, 12 Juni 2021
Tapi begitulah kehidupan, arusnya mengalir mengikuti celah celah batuan yang arahnya tidak menentu. Apakah ini sebuah kesalahan? ataukah aku dalam posisi merugi karena sekian tahun yang aku habiskan meneliti berbagai jenis air panas berakhir pada usaha kuliner khas Turki.
Apakah jika aku langsung mendapatkan pekerjaan yang sesuai ilmu, hidupku akan lebih baik karena model karir yg umum berlaku, ada keterkaitan antara apa yg dipelajari dan apa yg kemudian dikerjakan?
Aku tidak pernah tahu sampai mungkin beberapa waktu ke depan. Yang jelas pengamatan sejauh ini, nasibku tak sejalan petunjuk karir seorang geolog. Tetapi aku tak ingin ambil pusing, karena toh di antara kesibukanku mengadon pide, aku tetap bisa mempelajari berbagai data sampel air panas milik kementrian ESDM. Bahkan aku sempat menyiapkan proposal ke beberapa kabupaten dan kota mengenai cara-cara pemanfaatan sumber air panas ini selain untuk listrik.
Ya begitulah perkembangan kehidupan. Sampai saat ini, aku dan istri telah memanggang seribu pide. Mungkin beberapa ribu pide kemudian, nasib akan membawaku ke ribuan pide berikutnya, atau malah ke sumber sumber air panas yg belum diperdaya. Mungkin sampai saat itu, sebaiknya kulakukan keduanya.
Sabtu, 10 Juni 2017
Siapa yang tidak merasa simpati pada kawan yang punya prestasi namun keluarganya tidak sanggup membiayainya bersekolah. Beruntunglah mereka yang lahir dari keluarga mampu. Beruntung pula mereka yang tidak mampu lalu mendapat beasiswa atau santunan. Selama enam tahun menimba ilmu di Turki, saya banyak menjumpai teman-teman yang berasal dari keluarga pas-pasan. Mereka lalu mendapatkan beasiswa dari sebuah yayasan di sini. Namun nasib yayasan tersebut berakhir tragis pada tahun 2016. Mereka dipaksa tutup karena diduga ikut serta dalam usaha kudeta Negara Turki. Nasib teman-teman ini pun menjadi pertanyaan. Pilihan mereka saat itu hanya dua, pulang ke Indonesia dan menyarah, atau bertahan sampai ada bantuan dari pihak lain datang.
Rabu, 15 Juni 2016
Imajinasi kebebasan setelah aku tumbuh dewasa tidak seseru kebebasan yang aku tahu dahulu. Ketika masih kecil, aku sering membayangkan kebebasan adalah bisa terbang ke angkasa atau bisa berlari seharian di alam liar. Sekarang pikiranku mentok di bagaimana bisa senang-senang di waktu luang atau bisa berbicara seenaknya tanpa merusak perdamaian.
Senin, 25 April 2016
Tiga tahun setelah upacara kelulusan SMA, aku, Faiq dan Lindi masih rajin ngobrol dalam percakapan digital. Kami hanya bisa bertemu langsung setahun sekali karena keberadaan kampus kami bertiga yang terpisah samudra. Faiq dan Lindi sebenarnya sama-sama kuliah di UNDIP, jadi mereka masih bisa bertemu di Semarang. Hanya diriku saja yang jauh merantau ke Turki. Waktu itu aku sedang berada di tanah air dan sedang dalam perjalanan ke Semarang. Lawatanku tak akan berlangsung lama, hanya dua malam saja. Ibu tidak rela anak sulungnya lama-lama bermain di luar kota Purwokerto.
Karena jarang pergi ke Semarang, aku sangat berharap akan ada sambutan ramai dari teman-teman SMA yang ada di sana. Dengan harapan tinggi melalui grup angkatan, mereka semua kusapa.
"Guys kumpul yuk, aku ke Semarang sore ini" ketikku di grup angkatan
Sembari menunggu tanggapan dari grup, jemariku segera mencari nama Faiq
Gagas: ik jemput di alfamart jam 6 sore.
Faiq: alfamart Purwokerto?
Gagas: janc******k!!!
Faiq: alfamart mana nyet?
.....................................
Bus yang kunaiki menurunkanku dengan sopan tepat di depan alfamart terminal Banyumanik Semarang atas. Waktu menunjukan pukul 6.15 sore, senja sudah turun mengantar matahari pulang. Terminal tampak ramai dipadati ratusan pegawai yang berusaha pulang. Lampu jalanan dan warung-warung satu per satu menyala. Meski redup, sinar mereka sudah cukup menerangi tempat pemberhentian angkutan umum itu.
Dari kejauhan nampak sesosok pemuda di atas jok motor yang sudah hampir setahun tak kujumpai. Dia terlihat sedang menelpon seseorang, dan tepat saat itu juga teleponku berbunyi. Aku sengaja mendiamkan untuk memberi kejutan.
"Heh janc****k!" Seruku menepuk punggungnya.
Tanpa disangka sosok itu membalikan badan dan memberi jawaban. Tubuhku terlempar jauh menerima kepalannya. Sambil membenarkan diri mencoba berdiri, aku tersadar kalau telepon genggam yang masih erat di tanganku masih menyala menunjukan tanda telepon masuk dan nama Faiq. Sial!
"Yang bener mas kalau manggil-manggil! Jancuk bathukmu!"
"Maaf mas saya kira anu..."
"Gak tau saya siapa sampeyan!!!"
"Ngapurane lah ya mas, sori banget!"
"Gas...!" panggil seseorang dengan sepeda motor lain dari jauh.
Aku segera berpaling dari mas di atas motor itu dan bergegas
Menghampiri Faiq yang asli.
"Heh celeng, punya hape tuh diliat! ada telepon diangkat! Kamu kira aku dukun bisa nyari kamu di terminal gelap-gelap gini?"
"Lah percuma kalau aku angkat ntar kamu tutup"
"Eh kurang ajar ya, aku wis rajin beli pulsa sekarang, banyak yang harus dihubungi"
"Yo semoga ada yang cepet mau"
"Celeng...!"
Faiq segera membawaku menyusuri keramaian jalan provinsi yang mengiris daerah Semarang atas jadi dua. Kanan kawasan mahasiswa dan kiri pemukiman warga. Tujuan kami pertama adalah warung nasi kucing. Kami belum makan malam, dan ingin menghemat untuk kegiatan esok. Setelah selesai makan, kami beranjak ke kosan Faiq. Dari sana kami akan menghubungi kawan SMA yang lain.
.............................
"Gas gak ada yang bisa kalau kamu ajak naik ginung sekarang. Cuma Lindi aja."
"Lah kan udah dikabarin dari tadi siang pas aku masih di bus. Ini udah jam 8 malam"
"Kamu tadi cuma ngajak kumpul, bukan naik gunung!"
"Lindi mau naik ke gunung Ungaran?"
"Iya dia mau, tapi masa cuma bertiga?
"Malah seru cuk, cuma bertiga menaklukan gunung Ungaran, biar yang gak mau ikut pada rugi sendiri..."
"Menaklukan ndasmu, itu cuma gunung pendek."
"Iyoo mas pendaki yang sudah menaklukan gunung Arjuna"
"Dasar celeng, makannya yang masuk akal kalau ngajak-ngajak. Kan kalau gini kita gak jadi kumpul rame!"
"Yo... besok pas turun gunung kita kumpul sama yang lain"
Tak lama kemudian Lindi datang dengan mobil suzuki splashnya.
"Gagas....! Ih parah, lama banget kita gak ketemu, udah setahun!"
"Baru setahun liiiin.." jawabku dengan nafas sesak
Lindi memelukku sangat erat. Dia sangat ekspresif sejak SMA dulu. Perasaan apapun, entah amarah maupun rindu selalu keluar dari gerak tubuhnya. Ia tak sungkan untuk berteriak marah-marah jika emosinya tersulut. Seingatku, ia pernah memarahi satpam asrama SMA karena terlalu bertele-tele menanyakan dari mana saja ia sampai larut malam. Pak satpam yang tadinya menyelidiki lalu keok tak kuat meladeni teriakan Lindi.
Kami kemudian berkemas-kemas dan berangkat ke gunung Ungaran jam 10 malam. Tujuan pertama adalah pos pendakian di lereng selatan gunung Ungaran. Suzuki splash milik Lindi melaju mantap mengarungi tanjakan lereng gunung Ungaran. Malam itu Lindi mempercayakan kemudi padaku. Ia lelah karena sudah seharian mengemudi. Lindi adalah supir yang mahir dengan koleksi jam terbang tinggi. Mobil itu sendiri sudah dua tahun berada dibawah komandonya. Selama itu, baru dua kali dia menabrak. Satu di dalam garasinya, dua di pekarangan pondok pesantren milik tantenya.
...........................
Setelah selesai urusan administrasi dengan pihak pengelola taman nasional, kami berkumpul untuk berdoa dan menentukan ketua rombongan. Faiq mendapat kehormatan malam itu. Selama 7 jam mendaki nanti, ia akan berada di depan memimpin rombongan. Kami berangkat dari titik 1100 mdpl, dan akan berjalan menuju ke puncak yang berada pada kisaran ketinggian 2050 mdpl. Kami mulai pendakian pada pukul 11 malam dan diperkirakan akan sampai subuh nanti.
Udara dingin malam itu sempat mengecilkan nyali kami. Namun setelah satu jam berjalan, badan kami mulai berkeringat. Panas yang timbul berhasil mengusir kedinginan yang ada. Di dua jam pertama, kami berjalan menyusuri deretan pepohonan tinggi yang gelap. Kami hanya dibantu oleh tiga buah senter kepala dan tongkat. Di sebelah kanan adalah jurang dalam dan di sisi lain adalah pepohonan lebat.
Selama dua jam yang gelap itu, hanya terdengar suara angin dan derap langkah kami. Kondisi ini sudah cukup membahagiakan, karena jika ada suara lain kami pasti akan segera memutar arah pendakian. Di antara kesunyian itu, sebuah percakapan kecil terjadi di antara kami.
"Gelap, sepi! Eh Lin, kalau jatuh ke kanan gimana ya?"
"Diem gas, aku pukul pake tongkat nih!aneh-aneh aja sih" ancam Lindi kesal
"Ya ya. Ngomong-ngomong ada setan gak ya di ...."
"Diem nyet, jangan keterlaluan di alam!" Teriak Faiq penuh penekanan.
"Njih mas pendaki gunung Arjuna.. eh ada suara! Sssssst, diem sebentar semua.. coba kalian denger!" Desakku
Kami semua berhenti sejenak, mengamati sekitar. Tidak ada bunyi selain teriakan jangkrik yang bersautan. Tak lama setelah diam, tongkat Lindi terbang mengarah ke tanganku.
"Aduh, sakit Lindi!"
"Gaaaaaaas!!! Bauuuuk!!!"
"Bajinguk, bocah ngentutan." Teriak Faiq.
"Hehe, tak kira suara apa tadi"
.................
Setelah dua jam berada di hutan gelap, kami memasuki kawasan kebun teh yang relatif lebih terang. Di sini, langit memamerkan ratusan bintang. Melengkapi kemeriahan langit, bulan turut datang di atas sana. Jam menunjukan pukul 01.30. Sudah dua setengah jam sejak mengawali pendakian. Kami mengambil istirahat sejenak sambil menikmati suguhan alam yang jarang terjadi.
"Makasih ya gaes udah mau aku ajak ke sini"
"Sama sama Gas, aku juga seneng bisa ndaki beneran" jawab Lindi.
Faiq hanya diam, ia tidak terbiasa dengan percakapan melankolis yang aku buka. Tapi dalam diamnya, matanya terbuka melihat langit. Mungkin ia teringat akan seorang gadis yang pernah hadir di hatinya dulu.
"Udah ik, masih ada yang lain" sautku.
"Diem celeng, ini aku sedang mencoba menikmati langit! Ini bagian paling indah dari pendakian"
"Injih, mas pendaki gunung Arjuna"
Tangan Faiq segera bergerak mencari batu kerikil untuk dilempar. Gerakannya penuh perhitungan. Benda kecil itu dalam hitungan detik sampai mengenai kepalaku.
"Ah KDRT nih kalian, tadi dipukul tongkat sekarang kerikil" kataku
"Nih satu lagi...!"
"Eh ampun ampun ik"
"Hahaha, udah Gas. Faiq jangan diganggu kalau lagi galau" kata Lindi.
"Iya iya lin, kamu masih kuat kan jalan?"
"Hmmmm, sebenernya aku punya penyakit gas."
"APA? Kenapa gak bilang dari tadi. Penyakit apa?" saut Faiq yang juga mewakili pikiranku.
"Aku kalau dingin cepet pengin ke belakang"
"LINDII! aku kira penyakit serius." Jawab Faiq lega
"Iya ini serius Faiq..."
Hahaha
..........................
Jam menunjukan pukul 5.30 dan kami akhirnya sampai di puncak. Matahari muncul menyambut kedatangan kami di atas. Sinar jingga menerpa kami dan puluhan pendaki lain yang tiba sebelumnya. Kota Semarang nampak kecil dari kejauhan. Hamparan bangunan terlihat luas, menutupi hijau alam sekitar. Jalan setapak yang kami tempuh semalaman tampak kecil membentuk garis tidak beraturan. Melengkapi pemandangan itu berjejer awan putih beterbangan. Mereka bergerak pelan ke utara menuju kota Semarang.
Kami bertiga duduk terdiam menahan sakit kaki. Tujuh jam berjalan tanpa benar-benar berhenti memaksa kami untuk diam cukup lama di sana. Meski lelah, pemandangan indah dan kebersamaan itu lunas mengganjar semua keletihan.
"Gaes, kita harus lakuin ini lagi suatu hari nanti"
"Siiiiip deh, yuk kita foto dulu..."
Kamis, 14 April 2016
Kehidupan di negeri kami banyak berputar pada sepeda motor dan asap emisi. Siang adalah waktu mengais rezeki dan malam hanyalah keheningan sekejap yang akan diselimuti siang lagi.
Alam hijau yang ada terlalu suci untuk dihuni, sehingga kami enggan datang mendekati. Surga hijau yang amat luas itu hanya jadi tempat rekreasi musiman dan tak bisa kami ikut sertakan dalam hati.
Sering kali kami mendengar berita terbakarnya hutan yang menyebabkan kebencian negara sekitar. Para tetangga tidak habis pikir dengan kelakuan kami yang membakar ribuan pohon hanya untuk dibuat menjadi meja dan kursi. Mereka kesal karena kami tidak bersyukur dengan limpahan sumber kehidupan dari hutan yang ada. Sedangkan negeri mereka selalu gersang tanpa sedikit kerindangan.
Duhai kalian ketahuilah, kami tidak pernah dekat dengan hijau yang rimbun itu. Karena sesungguhnya kehidupan di negeri kami lebih banyak berputar di sepeda motor dan asap emisi. Siang adalah waktu mengais rezeki dan malam hanyalah keheningan sekejap yang akan diselimuti siang lagi.
Sore hari itu jalanan kota padat ratusan pengemudi sepeda motor. Para penunggangnya lelah mengais rezeki siang tadi. Nafas mereka sesak menghirup asap emisi kendaraan. Tak ada waktu berpesta karena masa depan anak harus jelas terencana. Tak hanya pendidikan, anak-anak sekarang butuh berbagai perangkat elektronik dan tunggangan berkendara.
Lampu merah menghentikan laju para pengemudi sepeda motor. Pemberhentian itu menambah beban yang ada karena ia merampas waktu mereka untuk bercengkerama dengan keluarga. Tak ada lagi dongeng wayang atau bahkan waktu makan malam bersama. Semua lelah begitu tiba di rumah. Mereka harus tidur karena malam hanya datang sebentar.
Kehidupan di negeri kami terus berputar pada sepeda motor dan asap emisi. Siang adalah waktu mengais rezeki dan malam hanyalah keheningan sekejap yang akan diselimuti siang berikutnya.
Esok hari satu dari ratusan sepeda motor tadi berubah menjadi mobil. Dan esok sore itu, jalanan kota digenangi ratusan sepeda motor dan sebuah mobil. Para pengemudi masih sibuk menyiapkan masa depan anak-anak mereka.