Minggu, 30 Desember 2012



Sore malas di kamar 301 berjalan seperti hari hari sekolah lain. Petidur siang di alam mimpi, para pemain dota yang berserakan di lantai dan musisi gadungan yang terbaring di atas ranjang ranjang biru. Panorama kamar kami semakin indah dengan gundukan cucian serta gantungan baju pada pilar pilar dipan. Ujian-ujian sebentar lagi berlangsung, baik itu nasional, lokal maupun internasional. Namun kami sudah mulai muak dengan soal soal dari buku tes. Sebenarnya tidak banyak yang kami kerjakan hanya saja kami butuh alasan agar bisa bersantai.

Jadi begitulah sore ini, santai. Kebetulan Liga Semesta sedang dalam jeda karena lapangan yang sudah berubah menjadi ladang basah. Tiada rumput hijau tersisa, hampir seluruhnya terselimut pekat coklat. Untuk itu para siswa membiarkan sehari dua hari jeda agar rumput-rumput itu membersihkan diri mereka sendiri. Cukup masuk akal jika dipikir tetapi ide tersebut tidak pernah benar-benar terwujud. Satu dua hari kemudian tetap saja lapangan kebanggaan di depan halaman sekolah itu tertutup tanah.

Kembali ke kamar, petidur siang perlahan kebangunan. Jam menunjukan pukul empat sore, waktunya untuk ibadah sholat ashar. Jam dinding kamar kami rusak beberapa hari yang lalu. Jarumnya berhenti berputar dan ketika kami hendak mengganti baterenya, ia lepas dari pegangan Endo lalu membahana. Tutup kacanya lepas dan pecah. Sebenarnya ada aturan yang berkata bahwa barang siapa memecah sebuah kaca jam dinding maka seluruh anggota kamar harus membayar puluhan ribu rupiah. Karena semester dua hampir berakhir peraturan tak begitu ditegakkan lagi. Alhasil kami tetap aman saja dengan jam pecah tadi. Jadi jam yang mengingatkan kami akan waktu sholat kala itu adalah jam handphone si Irfan.

Irfan bangun dari mimpi siangnya lalu disusul oleh Aswin dan Braja. Diriku masih terpaku pada alunan instrumental grup band Dream Theater. Biasanya Aswin akan berkomentar “Lagu sing ono lirike to ndes”. Siang ini dia tidak sempat karena langsung pulas sehabis kelas. Yang terakhir bangun sore itu adalah Anggono.

“Sholat yok ndes” Ajak Braja pada yang lain.

Kamar diam dan hanya ada lirik lirik terjadi antara kami yang mendengar.

“Sholat yok cok” Ajan Irfan kali ini.

Barulah kami menanggapi. Braja memang sering kami kerjai, namun sebenarnya ia adalah kawan yang baik. Hanya saja ide ide yang ia sampaikan sering tidak sejalan dengan yang lain.

“Yo yo” Jawab Hendra tetap sibuk dengan mouse dan laptop toshibanya. Ia hanya ingin memuaskan ajakan Irfan tanpa harus melakukannya. Di sampingnya ada Huda yang sama sama sedang main dota.

Meninggalkan Hendra dan Huda kami keluar kamar menuju mushola yang hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari kamar kami. Sebenarnya ada sholat jamaah jam tiga tadi dan adzan pun jelas terdengar karena alat pengeras suara diletakkan di lorong depan pintu kamar kami. Sebagai kakak senior seharusnya kami mencontohkan adik adik kelas dengan baik.

“Halah sing penting ki berjamaah, telat syitik rakpo” saut Redhy seolah mengerti dengan isi kepala ini.

Keluar pintu kami mampir ke kamar seberang lorong untuk mengajak mereka yang belum sholat. Dari kamar itu kami mendapat dua jamaah. Mereka adalah Nonos dan Mirzandi. Rombongan lalu melanjutkan perjalanan sepuluh meter ke arah mushola. Sesampainya di sana kami bertemu dua kawan lain yaitu Ariza dan Djomi. Mereka bergegas lari ke kamar mengambil sarung kemudian menyusul kami di mushola. Satu per satu selesai wudhu dan sampailah kami pada ritual memilih imam. Ritual ini selalu seru karena melibatkan sedikit keberuntungan. Sore itu kami menyeleksi imam melalui berbagai tes.

“Yang duduk terakhir jadi imam” kata Mirza

Semua duduk dan tak ada yang tertinggal. Belum sempat mengambil nafas salah satu dari kami segera berkata.

“Yang paling depan imam” pinta Djomi

Segera semua mundur perlahan. Namun semua kemudian mundur, maka terpaksa kami berlari ke arah tembok belakang mushola. Lagi lagi taka da yang terseleksi menjadi imam. Kemudian,

“Yang paling belakang imam” tegurku

Lagi lagi kami berlarian berlomba meraih tembok depan mushola. Tak ada yang tertinggal dan seleksi imam terus berlanjut.

“Yang ga pegang Nonos jadi imam”

Semua bergegas menggenggam kepala Nonos. Permainan semakin tak masuk akal namun sampai pada titik ini sang imam belum juga terseleksi.

“Ojo ngene lah rak adil” Saut Anggono

“Yowes, yang jongkok terakhir imam” teriak Ariza

Semua langsung pada posisi jongkok dan untuk kesekian kalinya imam belum juga terseleksi.

“Wes wes, aku aja sini yang jadi imam” kata Aswin menjadi pahlawan.

“Wedyan, Aswin imam ndes” kata Braja. Semua terdiam dan hanya tatap mata yang terjadi di antara kami.

Irfan membaca komat dan mulailah ibadah sholat asar kami. Semua berjalan khusyuk sampai rakaat terakhir. Ketika kami sedang duduk tahiyat akhir tiba tiba saja Aswin menengok ke belakang.

“Ndes aku lali wudhu ndes” katanya lirih menyesali kebodohannya.

Berbagai reaksi muncul dari semburan kata kasar hingga luapan tawa.

“Ola pekok”

“Kriting Cacat”

“Mental”

“Wakakakaka”

“Win win, iso ngono lho”

“Ass…….”

“Ngene iki imam”

“Idiot”

“Very clever”

“Ola pinter imame”

“Bahahahahaa” 

Kami tak mengira seseorang yang menawarkan diri menjadi imam melakukan kesalahan yang amat konyol. Konsentrasi ibadah kami buyar dan musholla berubah menjadi ruang tawa. Bukan amarah justru candaan yang lahir dari peristiwa ini.

“Bhihihihi” tawa Braja bergemuruh, kami tiba tiba diam dan kondisi kembali normal. Untukng saja ia bersuara, kalau tidak mungkin saja luapan emosi kami baru berakhir ketika waktu maghrib tiba. Kami semua kembali pada posisi masing masing namun kali ini Nonos lah yang menjadi imam. Selamat Nos kamulah imam hari ini.


Aswin adalah orang aneh yang berdiri paling kanan

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar